Rabu, 06 Januari 2021

(Ngaji of the Day) Hukum Hubungan Badan Suami dan Istri di Hadapan Orang Lain

Islam memerhatikan adab perihal hubungan badan suami dan istri. Islam memberikan keterangan terkait adab hubungan badan yang membedakan manusia dan hewan. Dengan adab-adab tersebut, Islam mengantarkan praktik hubungan seksual suami dan istri pada tujuan dari praktik tersebut.


Imam Al-Ghazali dalam karyanya Al-Adab fid Din menyebut sejumlah adab yang perlu diperhatikan pasangan suami dan istri terkait hubungan seksual.


آداب الجماع- طيب الرائحة ولطافة الكلمة وإظهار المودة وتقبيل الشهوة والتزام المحبة ثم التسمية وترك النظر إلى الفرج فإنه يورث العمى والستر تحت الإزار وترك استقبال القبلة


Artinya, “Etika berhubungan badan dengan istri antara lain mengenakan wangi-wangian, menggunakan kata-kata yang lembut, mengekspresikan kasih-mesra, memberikan kecupan menggelora, menunjukkan sayang senantiasa, baca bismillah, tidak melihat kemaluan istri karena konon menurunkan daya penglihatan, mengenakan selimut atau kain (saat bercinta), dan tidak menghadap kiblat,” (Lihat Imam Al-Ghazali, Al-Adab fid Din, [Beirut, Al-Maktabah As-Sya‘biyyah], halaman 175).


Pada Kitab Ihya Ulumiddin, Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa di antara adab Islam dalam hubungan seksual adalah merendahkan suara, serta mengadakan cumbu rayu sebelumnya. Selain itu, kedua pasangan dianjurkan untuk bertutup dengan kain, tidak terbuka begitu saja.


Adab dalam hubungan seksual suami dan istri juga mengharuskan keduanya untuk melakukan praktik tersebut dalam ruangan tertutup, dalam arti tidak dihadiri oleh orang lain dalam ruangan tersebut selain keduanya.


Islam melarang praktik seksual suami dan istri dalam ruangan yang dihadiri oleh orang lain baik laki-laki maupun perempuan. Islam melarang hubungan seksual terbuka dalam arti dilihat oleh orang lain karena sangat tidak baik dipandang dari pelbagai segi.


ويحرم وطء زوجته بحضرة أجنبي أو أجنبية


Artinya, “Hubungan badan suami dan istri haram dilakukan di hadapan orang lain baik laki-laki maupun perempuan,” (Syekh M Nawawi Banten, Uqudul Lujain fi Bayani Huquqiz Zaujain, [Semarang, Thaha Putra: tanpa catatan tahun], halaman 9).


Keharaman dalam praktik seperti ini di mana orang lain hadir di hadapan suami dan istri dapat dimaklumi. Bahkan, hubungan seksual suami dan istri kalau bisa dilakukan tanpa kehadiran siapa pun termasuk anak atau keponakan sendiri meskipun mereka belum baligh. Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar