Membaca Trend Globalisasi (29)
Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Antara Dekadensi & Pembengkakan Kualitas
Oleh: Nasaruddin Umar
Globalisasi yang semakin tak terbendung melahirkan berbagai perubahan sosial keagamaan di dalam masyarakat. Tentu saja ada yang pesimis dan ada yang optimis menanggapi perubahan tersebut. Setidaknya ada tiga golongan yang merespon persoalan ini. Pertama kelompok yang optimistik menganggap perubahan sosial adalah sebuah keniscayaan Islam dan umat Islam tidak perlu dikhawatirkan karena Islam memang sebagai agama akhir zaman yang harus mampu menerobos keunikan zaman yang dilaluinya. Kedua. Kelompok yang pesimistik, yang cemas jika tidak segera dilakukan proteksi dan jihad (dalam konotasi eksklusif, maka Islam dan umat Islam sangat terancam. Kelompok inilah yang melancarkan berbagai strategi yang dikesankan sebagai kelompok radikal, bahkan teroris. Kelompok ketiga, kelompok moderat. Dalam hal tertentu memang harus dilakukan pembenahan dan pembinaan umat sesuai dengan perkembangan yang ada tetapi secara umum tidak menganggap keadaan terakhir sudah sangat genting Kelompok ini merekomendasikan perjuangan kritis dengan meninggalkan cara-cara kekerasan.
Perkembangan kehidupan masyarakat seolah muncul dua sikap. Pertama kelompok yang pesimistik menilai perkembangan masyarakat mengalami stagnan bahkan dekaden. Hal ini ditandai lahirnya masyarakat yang cenderung meninggalkan tata karma dan keadaban publik. Kedua, kelompok yang optimis beranggapan yang terjadi di dalam masyarakat bukan sesuatu yang stagnan sehingga mengharuskan kita pesimistik, akan tetapi yang terjadi sesungguhnya ialah pembengkakan kualitas umat, sehingga daya kritis mereka semakin berkembang.
Pencapaian indeks kualitas hidup rata-rata bangsa Indonesia semakin bagus yang ditandai peningkatan angka pertumbuhan berbagai penilaian bangsa yang mengesankan. Indonesia termasuk Negara G-21 dengan skala pertumbuhan ekonomi sekitar 5%, di samping angka pengangguran yang cenderung terkoreksi secara positif.
Satu fenomena sering memicu pandangan kritis masyarakat seolah-olah di kalangan masyarakat terjadi pergeseran nilai. Akhlak dan kesantunan publik dinilai terjadi stagnan dan dekaden. Dari sisi lain kelompok ini menampakkan rasa pesimistiknya di dalam mendayuh perjalanan bangsa di masa depan. Mereka menilai bangsa ini sudah mengalami disorientasi dan kehilangan identitas aslinya. Nilai-nilai luhur budaya dan agama ditenggelamkan oleh nilai-nilai pragmatisme dan kepentingan jangka pendek. Musyawarah ditentukan oleh kepentingan dan uang. Dalam dunia suksesi kepemimpinan, baik dalam lingkup pemimpin formal seperti pemerintahan maupun dalam lingkup swasta dan paguyuban, di mana-mana uang ikut berbicara. Ironisnya, dalam ormas-ormas keagamaan pun sering kita mendengarkan faktor uang ikut berbicara dalam even penggantian pengurus. Kelompok ini mengarahkan kesimpulannya pada tanda-tanda hari kiamat sudah dekat, sebagaimana disinggung di dalam hadis bahwa tanda-tanda kecil (shugra) ialah manakala akhlak dan lingkungan hidup masyarakat sudah mengalami kerusakan parah.
Kelompok optimistik beranggapan bahwa yang terjadi dewasa ini bukanlah dekadensi moral secara fatal seperti yang digambarkan tadi. Akan tetapi yang terjadi saat ini ialah terjadinya pembengkakan kualitas umat dan warga bangsa. Akibatnya budaya membeo dan yes man sudah mulai ditinggalkan orang. Mereka membedakan secara kritis antara dekadensi moral dan pembengkakan kualitas umat.
Yang terjadi di dalam masyarakat kita bukan krisis keadaban publik tetapi meningkatnya daya kritis masyarakat sebagai akibat dari peningkatan kualitas pendidikan yang berbanding lurus terbukanya kebebasan berpendapat di dalam masyarakat. Pandangan kritis yang disampaikan seseorang atau kelompok orang tidak mesti harus diartikan sebagai ketidakberadaban. Situasi batin dan mental sebagian di antara kita yang belum bersedia menerima perubahan drastis ini. []
DETIK, 05 September 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar