Membaca Trend Globalisasi (30)
Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Globalisasi Sufi Dancing (1)
Oleh: Nasaruddin Umar
Tarian sufi (sufi dancing) semakin menjadi fenomena global. Di manapun dan etnik manapun di muka bumi ini sudah familiar dengan tarian sufistik. Di antara tarian sufi paling fenomenal ialah tarian Sema. Di suatu pagi di kota Konya, Turki, cuacanya betul-betul drop. Hari-hari sebelumnya matahari hampir tidak kelihatan ditutup awan dan hujan turun sepanjang hari membasahi tempat penyelenggaraan Festival Jalaluddin Rumi yang berlangsung pada tanggal 11-21 Desember 2005. Seusai azan shalat Dhuhur berkumandang di kota 1000 menara ini, tiba-tiba cuaca berubah drastis. Hujan berhenti turun dan mataharipun memancarkan sinar terangnya membuat cuaca Rumi ini menjadi hangat. Para pengunjung gedung Konya Cultural Center berduyun-duyun mengantri di loket karcis untuk menyaksikan International Festival for Mystical Musics dengan menampilkan berbagai karya langka dari berbagai negara. Negara-negara yang tampil pada festival itu antara lain Iran, negara-negara Balkan, Pakistan, India, Yordan, Mesir, AS, dan tuan rumah sendiri.
Di antara yang menarik perhatian pengunjung ialah penampilan tuan rumah yang menampilkan Sema, yaitu zikir diiringi alunan musik dan tari memutar yang biasa juga dikenal dengan tari sufi (whirling dervishes) yang sudah lama menjadi ciri khas kota ini.
Sema bukan sekedar musik dan tari, bukan pula sekedar
hiburan dan tontonan, tetapi lebih merupakan upacara ritual. Sema diinspirasi
oleh Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273), seorang sufi senior yang di atas
makamnya tertulis kaligrafi besar al-Imam al-Auliya' (imam para wali).
Sema merupakan ungkapan rasa cinta yang amat mendalam
di dalam hati kepada Sang Kekasih, sehingga sang pencinta dan Yang Dicintai
seolah-olah menyatu, larut, dan hanyut seiring dengan alunan musik.
Alat-alat musik yang dominan adalah seruling bambu.
Seruling sendiri mempunyai falsafah tersendiri. Sebuah seruling baru dapat
menghasilkan bunyi yang merdu jika di dalamnya terbebas dari sumbatan. Sama
dengan kalbu, tidak akan melahirkan kesucian jika di dalamnya terdapat kotoran,
dan hanya dengan kalbu yang bening yang dapat berjumpa (liqa) dengan Tuhan.
Bunyi gendang atau tambur diillustrasikan sebagai perintah suci (Divine order)
"Kun=jadilah", maka ciptaan suci menyerupai sang Maha Suci terjadi.
Syair-syair dalam lagu diawali dengan pujian terhadap Rasulullah (Nat-i Serif)
sebagai lambang cinta sejati, sebagaimana pula nabi-nabi sebelumnya. Memuji
mereka berarti memuji Tuhan yang menciptakan mereka. Keseluruhan paduan indah
irama musik, lagu, dan gerakan lembut yang berputar merupakan persembahan suci
(ta'dhim) yang kemudian menghasilkan nafas suci (The Divine Breath) dalam
kehidupan ini.
Kombinasi pakaian yang terbentuk dari bahan putih
kemilau semula dibungkus dengan bahan berwarna hitam-gelap. Setelah satu
persatu melakukan sungkeman (tawajjuh) kepada seorang Syekh yang didampingi
seorang Mursyid, terus para penari yang berjumlah 25 orang duduk membanjar di
sebelah kiri Syekh. Sambil musik mengalun, perlahan-lahan mereka melepaskan
jubah hitam, sebagai simbol pelepasan segala dosa dan maksiat dan yang
tertinggal adalah warna putih. Kemudian satu persatu berdiri berbaris lembut
menghampiri Syekh. Selepas melakukan penghormatan kedua kali terhadap Syekh
maka satu persatu mereka mulai berputar seperti gasing. Tangan kanan lurus ke
samping dengan telapak tangan menengadah ke atas sebagai simbol hamba ('abid)
yang memohon kedekatan diri kepada Sang Khalik, sementara tangan kiri lurus ke
samping menengadah ke bawah sebagai simbol khalifah, yang menyalurkan kasih
kepada para makhluk lainnya. Kaki kiri seolah menancap (istiqamah) sambil
berputar di tempat dan kaki kanan yang sering terangkat sambil berputar.
Pakaian yang mirip rok panjang melebar bagai kipas yang terhampar.
Gerakan memutar yang biasa disebut tari sufi ini
berputar di tempat dan saling memutari satu sama lain, melambangkan sirkulasi
dan rutinitas kehidupan (Devri Veldi). Ini mengingatkan kita ketika para malaikat
merasa bersalah mempertanyakan kebijakan Tuhan untuk menciptakan manusia (Adam)
lalu mereka ditegur "Aku lebih tahu daripada kalian"
(Q.S.al-Baqarah/2:30). Malaikat lalu berputar mengililingi "Istana
Tuhan" ('Arasy) selama berhari-hari. Planet dan galksi bimasakti (milky
way) juga melakukan hal yang sama. Sama seperti Nabi Adam setelah melanggar
perintah Tuhan juga melakukan pertobatan dengan cara yang sama, berthawaaf
mengelilingi ka'bah. Makna lain dari shema (berputar) ini untuk menyaksikan dan
menikmati "wajah" Tuhan yang ada di mana-mana, sebagaimana
diisyaratkan dalam Q.S.al-Baqarah/2:115: "Kepunyaan Allah yang ada di
barat dan di timur, kemanapun engkau menghadap di situ engkau menjumpai wajah
Tuhanmu". []
DETIK, 06 September 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar