Rabu, 06 Januari 2021

Nasaruddin Umar: Membaca Trend Globalisasi (30) Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Globalisasi Sufi Dancing (1)

Membaca Trend Globalisasi (30)

Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Globalisasi Sufi Dancing (1)

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Tarian sufi (sufi dancing) semakin menjadi fenomena global. Di manapun dan etnik manapun di muka bumi ini sudah familiar dengan tarian sufistik. Di antara tarian sufi paling fenomenal ialah tarian Sema. Di suatu pagi di kota Konya, Turki, cuacanya betul-betul drop. Hari-hari sebelumnya matahari hampir tidak kelihatan ditutup awan dan hujan turun sepanjang hari membasahi tempat penyelenggaraan Festival Jalaluddin Rumi yang berlangsung pada tanggal 11-21 Desember 2005. Seusai azan shalat Dhuhur berkumandang di kota 1000 menara ini, tiba-tiba cuaca berubah drastis. Hujan berhenti turun dan mataharipun memancarkan sinar terangnya membuat cuaca Rumi ini menjadi hangat. Para pengunjung gedung Konya Cultural Center berduyun-duyun mengantri di loket karcis untuk menyaksikan International Festival for Mystical Musics dengan menampilkan berbagai karya langka dari berbagai negara. Negara-negara yang tampil pada festival itu antara lain Iran, negara-negara Balkan, Pakistan, India, Yordan, Mesir, AS, dan tuan rumah sendiri.

 

Di antara yang menarik perhatian pengunjung ialah penampilan tuan rumah yang menampilkan Sema, yaitu zikir diiringi alunan musik dan tari memutar yang biasa juga dikenal dengan tari sufi (whirling dervishes) yang sudah lama menjadi ciri khas kota ini.


Sema bukan sekedar musik dan tari, bukan pula sekedar hiburan dan tontonan, tetapi lebih merupakan upacara ritual. Sema diinspirasi oleh Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273), seorang sufi senior yang di atas makamnya tertulis kaligrafi besar al-Imam al-Auliya' (imam para wali).


Sema merupakan ungkapan rasa cinta yang amat mendalam di dalam hati kepada Sang Kekasih, sehingga sang pencinta dan Yang Dicintai seolah-olah menyatu, larut, dan hanyut seiring dengan alunan musik.


Alat-alat musik yang dominan adalah seruling bambu. Seruling sendiri mempunyai falsafah tersendiri. Sebuah seruling baru dapat menghasilkan bunyi yang merdu jika di dalamnya terbebas dari sumbatan. Sama dengan kalbu, tidak akan melahirkan kesucian jika di dalamnya terdapat kotoran, dan hanya dengan kalbu yang bening yang dapat berjumpa (liqa) dengan Tuhan. Bunyi gendang atau tambur diillustrasikan sebagai perintah suci (Divine order) "Kun=jadilah", maka ciptaan suci menyerupai sang Maha Suci terjadi. Syair-syair dalam lagu diawali dengan pujian terhadap Rasulullah (Nat-i Serif) sebagai lambang cinta sejati, sebagaimana pula nabi-nabi sebelumnya. Memuji mereka berarti memuji Tuhan yang menciptakan mereka. Keseluruhan paduan indah irama musik, lagu, dan gerakan lembut yang berputar merupakan persembahan suci (ta'dhim) yang kemudian menghasilkan nafas suci (The Divine Breath) dalam kehidupan ini.


Kombinasi pakaian yang terbentuk dari bahan putih kemilau semula dibungkus dengan bahan berwarna hitam-gelap. Setelah satu persatu melakukan sungkeman (tawajjuh) kepada seorang Syekh yang didampingi seorang Mursyid, terus para penari yang berjumlah 25 orang duduk membanjar di sebelah kiri Syekh. Sambil musik mengalun, perlahan-lahan mereka melepaskan jubah hitam, sebagai simbol pelepasan segala dosa dan maksiat dan yang tertinggal adalah warna putih. Kemudian satu persatu berdiri berbaris lembut menghampiri Syekh. Selepas melakukan penghormatan kedua kali terhadap Syekh maka satu persatu mereka mulai berputar seperti gasing. Tangan kanan lurus ke samping dengan telapak tangan menengadah ke atas sebagai simbol hamba ('abid) yang memohon kedekatan diri kepada Sang Khalik, sementara tangan kiri lurus ke samping menengadah ke bawah sebagai simbol khalifah, yang menyalurkan kasih kepada para makhluk lainnya. Kaki kiri seolah menancap (istiqamah) sambil berputar di tempat dan kaki kanan yang sering terangkat sambil berputar. Pakaian yang mirip rok panjang melebar bagai kipas yang terhampar.


Gerakan memutar yang biasa disebut tari sufi ini berputar di tempat dan saling memutari satu sama lain, melambangkan sirkulasi dan rutinitas kehidupan (Devri Veldi). Ini mengingatkan kita ketika para malaikat merasa bersalah mempertanyakan kebijakan Tuhan untuk menciptakan manusia (Adam) lalu mereka ditegur "Aku lebih tahu daripada kalian" (Q.S.al-Baqarah/2:30). Malaikat lalu berputar mengililingi "Istana Tuhan" ('Arasy) selama berhari-hari. Planet dan galksi bimasakti (milky way) juga melakukan hal yang sama. Sama seperti Nabi Adam setelah melanggar perintah Tuhan juga melakukan pertobatan dengan cara yang sama, berthawaaf mengelilingi ka'bah. Makna lain dari shema (berputar) ini untuk menyaksikan dan menikmati "wajah" Tuhan yang ada di mana-mana, sebagaimana diisyaratkan dalam Q.S.al-Baqarah/2:115: "Kepunyaan Allah yang ada di barat dan di timur, kemanapun engkau menghadap di situ engkau menjumpai wajah Tuhanmu".
[]

 

DETIK, 06 September 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar