Saat akad musaqah sudah disepakati berdua antara petani penggarap dan pemilik kebun, maka dalam pada itu langsung berlaku hak dan kewajiban petani penggarap atas lahan yang sudah diserahkan. Hak dan kewajiban yang dimaksud di sini, adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan masalah pembagian tugas pekerjaan terkait pengolahan lahan.
Terkait masalah pembagian pekerjaan, umumnya para ulama dari kalangan mazhab 4,
memilah pekerjaan itu menjadi dua, yaitu pekerjaan yang bersifat mempengaruhi
terhadap hasil panen secara langsung dan pekerjaan yang tidak secara jelas
mempengaruhi hasil panen.
Terkait dengan sifat hasil kerja, para ulama juga kadang memilahnya menjadi
dua, yaitu permanen dan tidak permanen. Masing-masing klasifikasi ini
didasarkan pada kebiasaan urf yang berlaku di masyarakat.
Nah, dalam tulisan kali ini, kita akan uraikan tentang rincian pembagian tugas
itu menurut versi kalangan Hanafiyah dan Malikiyah. Mengingat banyaknya kupasan
tentang hal itu, maka dalam tulisan ini, penulis akan sajikan secara ringkas,
sementara kitab rujukannya, para pembaca bisa langsung membuka masing-masing
referensi yang sudah diikutsertakan oleh penulis.
Mazhab Hanafi
Kalangan Hanafiyah memperkenalkan adanya dua batasan umum mengenai pembagian tugas antara petani penggarap (‘Amil) dengan pemilik kebun, antara lain sebagai berikut:
Pertama, semua pekerjaan yang berhubungan dengan tanaman sebelum diproduksinya
buah, termasuk di dalamnya adalah memberikan irigasi pada tanaman,
mengawinkannya (talqih), menjaga dan merawatnya, semuanya adalah tanggung jawab
‘amil untuk mengerjakannya. Adapun ketika buah sudah siap petik, maka tanggung
jawab penjagaan dan perawatan tanaman beralih menjadi tanggung jawab berdua,
antara petani penggarap dan pemilik kebun.
Pendapat ini diambil dengan mendasarkan diri pada riwayat yang secara zhahir
menyebutkan mengenai pembagian tugas dan tanggung jawab itu. Oleh karenanya,
menurut Mazhab Hanafi, pemilik kebun tidak boleh menetapkan syarat dalam akad
musaqah, bahwa tugas memetik merupakan tanggung jawab petani penggarap.
Alasan yang dipergunakan adalah, bahwa keberadaan mensyaratkannya pemilik kebun
ke ‘amil dalam memetik tanaman, adalah tidak sesuai dengan ‘urf yang berlaku
dan dikuatkan oleh riwayat. (Hasyiyah Ibn Abidin, juz V, halaman 185).
Kedua, segala pekerjaan yang tidak memiliki manfaat langsung terhadap tanaman
dan dilakukan di kebun, setelah berjalannya akad, adalah tanggung jawab ‘amil
seorang dan tidak boleh dikaitkan dengan pemilik. Pensyaratan pemilik terhadap
petani penggarap dengan hal-hal yang sedemikian ini tidak menyebabkan rusaknya
akad.
Lain halnya bila yang disyaratkan adalah hal yang kelihatan ada manfaatannya
langsung dengan tanaman, yaitu proses menanam, mencari sari untuk mengawinkan
tanaman, pengobatan, pemupukan dan lain sebagainya, maka pensyaratan
pemilik kepada amil agar semua pekerjaan itu dilakukan oleh amil dapat merusak
akad.
Mazhab Maliki
Kalangan Malikiyah umumnya mengembalikan pola pembagian tugas ini kepada ‘urf (tradisi) yang berlaku di mana keduanya tinggal. Mereka menyatakan bahwa segala tindakan yang berkaitan dengan upaya menghasilkan buah secara urf adalah menjadi kewajiban amil, meski tindakan itu dilakukan setelah buah bisa dipetik. Tidak ada ketentuan harus memerinci pekerjaan, seluruhnya dikembalikan pada urf yang berlaku manakala urf tersebut secara jelas diketahui secara bersama-sama oleh pemilik dan amil.
Lain halnya bila masyarakat tempat kedua pihak ini berada, tidak ada ‘urf yang
dapat dijadikan acuan, maka menjelaskan duduk rincian tugas dan pekerjaan
masing-masing pihak adalah menjadi tanggung jawab mereka berdua. (Mawahibul
Jalil, juz V, halaman 375).
Dalam hal ini, pendekatan yang digunakan oleh kalangan Malikiyah menyerupai
pendekatan yang dilakukan oleh Hanafiyah, antara lain sebagai berikut: Pertama,
pekerjaan yang tidak ada hubungannya secara langsng dengan produksi buah dan
tidak ada kaitannya dengan upaya menjaga sehatnya tanaman, maka bukan merupakan
tanggung jawab petani penggarap. Contoh lainnya adalah tugas membikin pagar
kebun, atau memperbaiki saluran irigasi. Kecuali kalau tugas semacam ini hanya
seperlunya, dan tidak berat bagi petani penggarap untuk melakukannya. Namun,
jika sampai membuat saluran air, atau memagari keliling kebun, maka itu adalah
tanggung jawab pemilik kebun itu sendiri. (Bidayatul Mujtahid, juz II, halaman
319).
Kedua, semua pekerjaan yang berhubungan dengan upaya menghasilkan buah, namun
hasil pekerjaannya kelak bersifat permanen, contohnya menggali sumur atau
membangun saluran irigasi, atau membangun tempat penyimpanan hasil panen, maka
semua pekerjaan ini tidak boleh dimasukkan atau dikaitkan dengan akad yang
sudah berjalan. Pemilik kebun juga tidak boleh menetapkan syarat keharusan bagi
petani penggarap untuk menyediakannya, kecuali jika petani tersebut diikat
dengan akad ijarah yang lepas dari akad musaqah yang sudah berjalan.
(Al-Qawaninul Fiqhiyyah, halaman 184).
Namun agaknya Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid memiliki pandangan lain. Ia meyatakan bahwa “pekerjaan apa pun, asalkan memiliki pengaruh langsung terhadap kondisi sehatnya tanaman dan hasil panen,” bisa dicakupkan dalam bagian syarat akad musaqah, tidak dengan akad terpisah dan berdiri sendiri,” (Bidayatul Mujtahid, juz II, halaman 317-318).
Ketiga, semua pekerjaan yang berhubungan langsung dengan upaya produksi buah,
dan tidak bersifat permanen, maka pekerjaan ini merupakan tanggung jawab dari
amil sebagai kelaziman dari akad yang sudah dibangun. Contohnya adalah
pekerjaan menyiangi tanaman, membuat lubang tempat pupuk, dan lain sebagainya.
Sifat hasil dari pekerjaan ini tidak bersifat permanen dan hanya berlangsung
insidental (ketika diperlukan).
Kupasan mengenai pembagian tugas antara pemilik dan amil dalam akad musaqah
versi kedua ulama mazhab lainnya, insya Allah akan disajikan pada tulisan
mendatang. Akhirnya semoga tulisan ini dapat menambah wawasan kita mengenai
akad muamalah dalam dunia pertanian. Wallahu ‘alam bis shawab. []
Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah–Aswaja NU Center PWNU Jawa
Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar