Mencium tangan saat bersalaman merupakan salah satu bentuk penghormatan dalam tradisi masyarakat Indonesia. Mencium tangan biasanya dilakukan oleh anak kepada orang tuanya, istri kepada suaminya, murid kepada gurunya, santri kepada kiainya, dan anak muda kepada orang yang lebih tua.
Hanya saja, sebagaian orang tidak bersedia, atau bahkan menyalahkan tradisi ini, dengan asumsi bahwa mencium tangan merupakan salah satu bentuk kepatuhan dan ketundukan mutlak kepada orang yang dicium, sementara kepatuhan dan ketundukan mutlak seharusnya hanya untuk Allah subhanahu wata’ala. Lalu, bagaimanakah pendapat para ulama tentang hukum mencium tangan saat bersalaman?
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum permasalahan ini. Pertama, ulama mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali menegaskan, hukum mencium tangan saat bersalaman adalah mubah. Seorang ulama mazhab Hanafi bernama Syekh Al-Hashkafi menerangkan:
(وَلَا بَأْسَ بِتَقْبِيلِ يَدِ الرَّجُلِ الْعَالِمِ) وَالْمُتَوَرِّعِ عَلَى سَبِيلِ التَّبَرُّكِ، (والسُّلْطَانِ الْعَادِلِ).
“Dan tidak apa-apa mencium tangan orang alim dan orang wara’ untuk tujuan mendapatkan keberkahan. Begitu pula (mencium tangan) pemimpin yang adil” (Muhammad bin Ali Al-Hashkafi, Ad-Durrul Mukhtar Syarh Tanwirul Abshar, juz 2, h. 577).
Senada dengan Al-Hashkafi, Syekh Al-Mushili menuturkan:
وَلَا بَأْسَ بِتَقْبِيلِ يَدِ الْعَالِمِ والسُّلْطَانِ الْعَادِلِ
“Dan tidak apa-apa mencium tangan orang alim dan pemimpin yang adil” (Abdullah bin Mahmud Al-Mushili, Al-Ikhtiyar li Ta’lilil Mukhtar, juz 1, h. 659).
Tidak jauh berbeda dari kedua ulama mazhab Hanafi di atas, seorang ulama mazhab Hanbali bernama Syekh Al-Bahuti menulis:
فَيُبَاحُ تَقْبِيْلُ الْيَدِ وَالرَّأْسِ تَدَيُّنًا وَإِكْرَامًا وَاحْتِرَامًا مَعَ أَمْنِ الشَّهْوَةِ
“Maka dibolehkan mencium tangan dan kepala karena alasan keagamaan dan penghormatan, disertai rasa aman dari syahwat” (Mansur al-Bahuti, Kasysyaful Qina’ an Matnil Iqna’, juz 2, h. 182).
Sedangkan Ibnu Muflih menyebutkan dalam kitabnya Al-Adab Al-Syariyyah:
فَأَمَّا تَقْبِيلُ يَدِ الْعَالِمِ وَالْكَرِيمِ لِرِفْدِهِ وَالسَّيِّدِ لِسُلْطَانِهِ فَجَائِزٌ
“Adapun mencium tangan orang alim dan orang dermawan karena pemberiannya, serta pemimpin karena kekuasaannya, maka diperbolehkan” (Ibnu Muflih, Al-Adab Al-Syariyyah, juz 2, h. 179).
Kedua, menurut ulama mazhab Syafi’i, cium tangan saat bersalaman hukumnya sunnah. Imam Al-Qazwini menulis:
وَأَمَّا تَقْبِيْلُ الْيَدِ، فَإِنْ كَانَ لِزُهْدِ صَاحِبِ الْيَدِ وَصَلَاحِهِ، أَوْ عِلْمِهِ أَوْ شَرَفِهِ وَصِيَانَتِهِ وَنَحْوِهِ مِنَ الْأُمُوْرِ الدِّيْنِيَّةِ، فَمُسْتَحَبٌّ
“Adapun mencium tangan, jika karena kezuhudan pemilik tangan dan kebaikannya, atau karena ilmunya, atau kemuliannya, keterjagaannya, dan sebagainya; berupa urusan-urusan agama, maka disunnahkan” (Abdul Karim bin Muhammad Al-Qazwini, Al-Aziz Syarh Al-Wajiz, juz 12, h. 378).
Senada dengan Al-Qazwini, Imam Nawawi menyebutkan:
وَأَمَّا تَقْبِيْلُ الْيَدِ، فَإِنْ كَانَ لِزُهْدِ صَاحِبِ الْيَدِ وَصَلَاحِهِ، أَوْ عِلْمِهِ أَوْ شَرَفِهِ وَصِيَانَتِهِ وَنَحْوِهِ مِنَ الْأُمُوْرِ الدِّيْنِيَّةِ، فَمُسْتَحَبٌّ
“Adapun mencium tangan, jika karena kezuhudan pemilik tangan dan kebaikannya, atau karena ilmunya, atau kemuliannya, keterjagaannya, dan sebagainya; berupa urusan-urusan agama, maka disunnahkan” (Yahya bin Syaraf Annawawi, Raudhatut Thalibin, juz 7, h. 438).
Bahkan Imam Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin menulis salah satu babnya dengan judul:
بَابُ اسْتِحْبَابِ الْمُصَافَحَةِ عِنْدَ اللِّقَاءِ وَبَشَاشَةِ الْوَجْهِ وَتَقْبِيْلِ يَدِ الرَّجُلِ الصَّالِحِ
Bab kesunnahan berjabat tangan saat berjumpa, menampakkan wajah ceria, dan mencium tangan orang shaleh. (Lihat: Yahya bin Syaraf Annawawi, Riyadhus Shalihin, juz 1, h. 271).
Ketiga, ulama mazhab Maliki menyatakan, hukum mencium tangan saat bersalaman adalah makruh. Syekh Al-Manufi menyebutkan:
(وَكَرِهَ مَالِكٌ) رَحِمَهُ اللهُ (تَقْبِيْلَ الْيَدِ) أَيْ: يَدِ الْغَيْرِ ظَاهِرِهِ، سَوَاءٌ كَانَ الْغَيْرُ عَالِمًا، أَوْ غَيْرَهُ، وَلَوْ أَبًا أَوْ سَيِّدًا أَوْ زَوْجًا
“Imam Malik – rahimahullah – menyatakan kemakruhan mencium tangan, yaitu tangan orang lain bagian luar, baik orang tersebut alim atau tidak, walaupun seorang ayah, pemimpin, atau suami. (Ali bin Khalaf Al-Manufi, Kifayatut Thalib Arrabbani, juz 2, h. 620).
Imam Annafrawi juga menyebutkan:
وَظَاهِرُ كَلَامِهِ الْكَرَاهَةُ وَلَوْ كَانَ ذُو الْيَدِ عَالِمًا أَوْ شَيْخًا أَوْ سَيِّدًا
“Dhahir ucapan Imam Malik (terkait cium tangan) adalah makruh, meskipun pemilik tangan adalah orang alim, syekh, atau pemimpin” (Ahmad bin Ghanim Annafrawi, Al-Fawakih Addawani, juz 2, h. 326).
Akan tetapi, salah satu ulama mazhab Maliki bernama Syekh Al-Abhary, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, menjelaskan bahwa sesungguhnya hukum makruh mencium tangan, menurut Imam Malik, hanya berlaku jika cium tangan itu dilaksanakan untuk tujuan kesombongan. Namun, jika hal itu dilakukan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, dan didasari agama, ilmu, atau kemuliaan pemilik tangan, maka hukumnya diperbolehkan (lihat: Ibnu Hajar Al-Atsqalani, Fathul Bari, juz 11, h. 57).
Dari paparan di atas dapat disimpulkan, ulama berbeda pendapat soal hukum mencium tangan saat bersalaman. Ulama mazhab Hanafi dan Hanbali menghukuminya mubah. Ulama mazhab Syafi’i menganggapnya sunnah. Sedangkan ulama mazhab Maliki menghukuminya makruh, jika tujuannya untuk kesombongan. Namun, jika tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan didasari agama, ilmu, atau kemuliaan pemilik tangan, maka hukumnya mubah.
Adapun asumsi sebagian orang bahwa mencium tangan merupakan bentuk kepatuhan dan ketundukan mutlak kepada orang yang dicium adalah kurang tepat. Mencium tangan lebih tepat diartikan sebagai penghormatan kepada orang yang dicium, atas dasar ilmu dan kemuliaan yang Allah subhanahu wata’ala titipkan kepadanya.
Karena itu, para sahabat dahulu terbiasa mencium tangan Rasulullah shallallahu a’laihi wasallam, sebagaimana diceritakan dalam hadis riwayat Usamah bin Syarik:
قُمْنَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَدَهُ
“Kami menuju (bertemu) Nabi shallallahu a’laihi wasallam, lalu kami mencium tangannya” (Ibnu Hajar Al-Atsqalani, Fathul Bari, juz 11, h. 59).
Semoga keragaman pendapat para ulama soal hukum mencium tangan saat bersalaman membuat kita semakin dewasa dalam menyikapi setiap perbedaan. Wallahu A’lam. []
Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung, dan Dosen IAIN Tulungagung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar