Selasa, 05 Januari 2021

Haedar Nashir: Kerumitan Dunia

Kerumitan Dunia

Oleh: Haedar Nashir

 

Bila berkunjung ke Kota Madrid dijumpai tiga air mancur yang menarik di Ibu Kota Spanyol itu. Air mancur pertama La Fuente de Cibeles, berada di pusat alun-alun dekat istana Buenavista. Simbolnya Dewi Cibeles, sosok dewi bumi lambang kesuburan.

 

Air mancur kedua, Fuente de Neptuno. Terletak di komplek Plaza de Canovas del Castillo. Lokasi tidak seberapa jauh dari Cibeles. Simbolnya Neptunus, dewa air yang tangannya memegang trisula dan ular laut. Sama dengan air mancur Neptunus di alun-alun Piazza del Nettuno Bologna, Italia.

 

Namun, di balik dua air mancur bersimbol dewi-dewa yang melegenda itu terdapat perseteruan abadi antara kesebelasan sekota Real Madrid versus Atletico Madrid. Ketika Real Madrid juara La Liga, Copa del Rey, dan Liga Champions; Sergio Ramos dan kawan-kawan merayakannya di Air Mancur Cibeles. Sebaliknya, Air Mancur Neptunus tempat Atletico Madrid merayakan juara.

 

Betapa hanya air mancur, justru menjadi tempat yang rumit dalam kehidupan manusia. Sebagai arena konflik sepak bola, yang membelah lima juta penduduk Kota Madrid menjadi dua pendukung fanatik. 

 

Di antara keduanya terdapat air mancur ketiga, Fuente de Apolo. Apollo dewa cahaya dalam mitologi Yunani dan Romawi. Posisinya berada di antara dua air mancur itu. Cahaya sang surya menjadi kekuatan pembeda yang menerangi bumi.

 

Dunia ternyata rumit. Hal sederhana pun sering dijadikan rumit. Manusialah pencipta kerumitan. Dunia politik, ekonomi, budaya, hukum, dan agama tentu lebih rumit karena begitu banyak tafsir dan kepentingan yang diperebutkan melebihi sepak bola.

 

Dunia keagamaan

 

Dunia sepak bola memang makin rumit karena kini dikuasai rezim industri. Perseteruan El Clasico antara Real Madrid dan Barcelona tersimpan bara politik yang membelah Spanyol dengan rakyat Catalan yang ingin merdeka. Sepak bola malah telah menjelma bagai agama, tulis pendeta ternama Afrika Selatan, Desmond Tutu.

 

Dewa-dewi pun dilibatkan dalam perseteruan manusia seperti dalam perang Mahabarata. Padahal, dia simbol supranatural yang berurusan dengan ranah ketuhanan. Manusia sebagai Homo Deus justru "menaklukkan dunia berkat kemampuan uniknya untuk percaya pada mitos-mitos kolektif tentang dewa, uang, kesetaraan, dan kebebasan,” tulis sejarawan mutakhir Yuval Noah Harari. 

 

Agama dengan relasi ketuhanan, kitab suci, dan para nabi bagi pemeluknya merupakan ajaran dan jalan kehidupan hakiki yang suci menuju keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Semua agama mengajarkan kebenaran, kebaikan, dan keutamaan hidup sesuai dengan doktrin masing-masing. Tidak ada agama yang mengajarkan keburukan. 

 

Namun dalam pemahaman dan praktik yang bias atau salah disertai nafsu dan kepentingan inderawi manusia yang memeluknya, tidak jarang agama disalahgunakan dan mengalami pembelokan makna dan fungsi. Agama dikorupsi dan diperjualbelikan oleh pemeluknya yang menyalahi ajaran luhur agama itu sendiri, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Mereka memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga murah, lalu mereka menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah. Sungguh, betapa buruknya apa yang mereka kerjakan.” (QS at-Taubah: 9).

 

“Radikalisme agama” atau tepatnya “ekstremisme beragama”, selain nyata ada dalam kehidupan sebagian umat beragama, pada saat sama dijadikan komoditas meraih materi dan kursi politik paling laris saat ini. "Kita hidup di dunia di mana agama sering kali disalahgunakan. Akibatnya, agama sering kali disalahpahami, tidak terkecuali Islam," kata almarhum KH Hasyim Muzadi (4/3/2009).

 

Mereka itulah para penjaja agama yang mengubah “ketuhanan yang Maha Kuasa” menjadi “keuangan yang maha kuasa,” tegas Ketua Umum PBNU itu.

 

Agama dan isu keagamaan sering digunakan sebagai instrumen sakral kekerasan. Mark Juergensmeyer, Hans Kung, Karen Amstrong, dan lain-lain menulis tentang kekerasan atas nama agama. Bukan agamanya yang mengajarkan kekerasan, tetapi pemahaman dan penyalahgunaan ajaran agama itulah yang melahirkan kekerasan.

 

Kekarasan yang sama terjadi atas nama apa pun. Bedanya kekerasan atas nama agama biasanya disakralisasi atas nama Tuhan dan kitab suci.

 

Paradoks terjadi pada umat beragama yang menjadi korban kekerasan dan teror oleh rezim kekuasaan yang antiagama dan memendam kebencian terhadap kaum beragama. Sebutlah tragedi Auschwitz dalam Perang Dunua II oleh Nazi dan nestapa bangsa Palestina oleh rezim Israel dan sekutunya dalam tragedi panjang sejarah mutakhir. Semoga kekejaman Neokolonialis Israel itu tidak dilupakan pihak manapun demi meraih investasi dan dalil semu keagamaan rahmatan lil ’alamin.

 

Dunia kehidupan

 

Dunia kehidupan manusia memiliki wajah "mata al-ghurur”, tempat permainan (QS Al-An’am: 32). Dunia hukum makin rumit karena banyak kepentingan. Satu kasus dengan mudah diproses hukum, sementara kasus lain diambangkan dan malah lenyap ditelan bumi. Tindakan sewenang-wenang yang menelan korban nyawa manusia dapat diproses hukum atau tidak bergantung pada kepentingan aktor yang memainkannya. 

 

Dunia terorisme sama rumit. Ada teroris yang mungkin diproduksi, tidak sedikit dibentuk oleh ideologi. Para aktor dan ahli berebut tafsir tentang terorisme untuk kepentingan tertentu. Isu teorisme dan radikalisme cukup laris sebagai komoditas meraih kursi dan materi.

 

Teroris ada yang dikutuk, tidak sedikit yang dibela. Lupa, teror atas nama apa pun tetap teror yang menebar ketakutan, kekerasan, dan fasad fil ‘ardl.

 

Dunia ekonomi berlaku hukum Darwinian, siapa kuat mereka menang. Sekelompok kecil menguasai bagian terbesar kekayaan negeri hingga mayoritas anak Ibu Pertiwi tak menikmati kemakmuran yang berarti.

 

Jangan sampai terjadi karena godaan bisnis dan investasi dibuka pintu hubungan dengan Israel, yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi dan jiwa kejuangan para pendiri negeri yang anti kolonialisme harga mati.

 

Dunia politik makin rumit dan sarat transaksi. Politik negeri sepenuhnya mempraktikkan hukum Lasswellian “who gets what, when and how” dan kontestasi Hobbesian “homo homini lopus” yang melahirkan liberalisasi dan praktik oligarki. Politik liberal dan sarat transaksi itu sadar atau tidak berinduk pada legasi amendemen UUD 1945 karya agung reformasi. Sebagian pihak protes nyinyir di hilir, tapi lupa merujuk ke hulu reformasi.

Apa ada jalan positif bagi masa depan negeri ini? Kaum beriman terlarang untuk pesimistis dan patah harapan. Niscaya optimistis dan membuka cakrawala luas. Syaratnya semua bermushabah dan bersedia berdialog menemukan jalan bersama Indonesia yang cerah masa depan.

 

Kunci utamanya kejujuran dan visi yang benar dalam mengurus negara, disertai ikhtiar menyatukan seluruh potensi keindonesiaan. Suatu negeri itu rusak karena ada orang yang dibiarkan bertualang mengurus segala hal seolah dirinya paling digdaya dan pemilik legasi negara.

 

Karenanya, berhentilah merumitkan urusan keagamaan, hukum, politik, ekonomi, dan ranah dunia lainnya agar kehidupan bersama tidak semakin sarat beban. Masalah umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta makin berat karena perebutan segala kepentingan.

 

Jika tidak mampu memberi solusi, maka janganlah menambah rumit negeri. Berhentilah rakus dan menyalahgunakan kekuasaan. Pemeluk dan elite agama mesti hadir sebagai teladan kehidupan. Tuhan mengajarkan umat menempuh jalan kemudahan dan menjauhi kesulitan (QS Al-Baqarah: 185). 

 

Jadi, jangan bikin dunia makin rumit dan sulit. Ketika berkuasa, gunakanlah untuk kebaikan dan tidak disalahgunakan. Kedigdayaan manusia itu fana. Ingatlah, di atas kuasa manusia terdapat kuasa Allah yang absolut.

 

“Katakanlah, 'Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan! Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu'.” (QS Ali ‘Imrân: 26). []

 

REPUBLIKA, 26 Desember 2020

Prof Haedar Nashir | Ketua Umum PP Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar