Kisah Nabi Musa dan Pendosa yang Mulia di Mata
Allah
Pada zaman Nabi Musa, pernah terjadi
masyarakat ramai-ramai menolak memandikan dan menguburkan jenazah seorang
laki-laki. Di mata orang-orang, lelaki ini tak lebih dari sampah masyarakat.
Perilakunya fasiq. Gemar melakukan dosa besar ataupun dosa kecil secara
terus-menerus. Tak hanya menolak mengurus jenazahnya, masyarakat bahkan
menyeret kaki mayat lelaki tersebut lalu membuangnya di gundukan kotoran hewan.
Atas kejadian ini, Allah memberikan wahyu
kepada Nabi Musa.
“Hai Musa. Di kampung Fulan, ada seorang
laki-laki meninggal dunia, sedang ia dibuang pada tumpukan kotoran hewan.
Masyarakat tidak ada yang mau memandikan, mengafani dan menguburkannya. Padahal
yang mati itu adalah satu di antara kekasih-Ku. Datangilah dia. Kamu mandikan,
kafani, shalatkan, dan kebumikan orang itu.”
Usai mendapatkan perintah demikian, Nabi Musa
menuju lokasi yang dikehendaki. Nabi Musa mencoba bertanya tentang siapa
sebenarnya orang yang baru saja meninggal tersebut kepada warga sekitar.
“Oh, itu dia sikapnya begini, begini. Dia
adalah orang fasiq. Suka menampakkan perilaku dosa besarnya kepada masyarakat
dengan terus terang,” jelas warga sekitar mengomentari si mayat yang dimaksud.
“Bisakah saya ditunjukkan di mana letak mayat
itu berada? Allah menyuruhku datang ke sini semata-mata karena lelaki itu,”
pinta Musa.
Nabi Musa bersama orang-orang sekitar pun
akhirnya sampai di lokasi keberadaan mayat. Beliau melihat ada janazah terbuang
di atas kotoran hewan serta mendengar keterangan buruknya perilaku si mayat
seolah-olah si mayat memang di masa hidupnya menjadi sampah masyarakat. Nabi
Musa kemudian bermunajat kepada Allah.
“Wahai Tuhanku. Engkau telah menyuruhku
menshalati dan mengebumikan mayat lelaki ini. Namun masyarakat sekitar
jelas-jelas menyaksikan bahwa mayat ini adalah orang buruk. Engkaulah yang
paling tahu apakah janazah ini patut dipuji atau dicela.”
Mendapat aduan demikian, Allah menjawab, “Ya
Musa, memang benar apa yang diceritakan masyarakat sekitar tentang perilaku
buruk mayat tersebut semasa hidupnya. Namun, saat akan wafat, dia telah meminta
pertolongan kepadaku dengan tiga hal. Andai saja tiga hal ini semua orang
yang berlumur dosa memimntanya kepadaku, pasti aku akan mengabulkannya.
Bagaimana mungkin aku tidak mengasihi dia, sedang ia sudah meminta belas
kasihan kepadaku, padahal Aku adalah Dzat yang Mahakasih dari semua yang bisa
berbelas kasih.”
Nabi Musa kembali bertanya kepada Allah. “Apa
tiga hal tersebut, ya Allah?.”
Allah menjawab, pertama, saat mendekati waktu
wafatnya, lelaki ini berkata, “Ya Tuhan, Engkau Mahatahu tentang kepribadianku.
Aku adalah pelaku aneka macam maksiat. Meski begitu, hatiku begitu benci
terhadap kemaksiatan. Aku melakukan maksiat karena tiga hal, yaitu dorongan
hawa nafsuku yang membara. Aku tidak kuat mengendalikannya, sehingga aku
terjerumus melakukan maksiat. Selain itu, teman-teman, komunitas, serta
lingkunganku yang buruk, pengaruh godaan iblis, semuanya menjadikan aku jatuh
ke lembah kemaksiatan. Sungguh, Engkau mengetahui tentang diriku ini atas apa
yang telah aku adukan. Maka, ampunilah hamba-Mu ini.”
Kedua, sebelum wafat, lelaki tersebut juga
berkata, “Ya Tuhan, sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku pelaku aneka macam
kemaksiatan. Kedudukanku, derajatku, pasti setara dengan orang-orang fasiq.
Namun, meski begitu, dalam hatiku, aku lebih suka berteman dengan orang-orang
shalih. Aku suka cara-cara mereka menjauhkan hati dari gebyar gemerlap duniawi
(zuhud). Sejatinya aku suka duduk bersama mereka. Hal tersebut lebih aku cintai
daripada hidup bersama para pelaku dosa.”
Ketiga, dia juga berkata begini, “Ya Tuhan.
Engkau pastinya tahu bahwa orang-orang shalih lebih aku cintai daripada
orang-orang fasiq. Sehingga andai saja ada dua orang yang satu shalih dan yang
satu buruk di depan mataku, pasti aku akan mendahulukan kebutuhan orang shalih
daripada orang jelek.”
Riwayat dari Wahb bin Munabbah mengatakan,
lelaki itu juga berkata kepada Allah, “Ya Allah, jika Engkau mengampuni semua
dosa-dosaku, para kekasih dan nabi-Mu pasti akan bangga. Mereka akan
bergembira. Setan yang menjadi musuhku dan musuh-Mu pasti akan bersedih hati.
Jika Engkau menyiksaku sebab aneka macam dosa yang aku perbuat, setan dan
teman-temannya akan bergembira ria. Sedangkan para nabi dan wali-wali-Mu akan
menjadi sedih. Padahal aku yakin, kebahagiaan kekasih-Mu lebih Engkau sukai
daripada kebahagiaan setan-setan. Ampunilah dosaku, Tuhan. Engkau sangat tahu
atas apa yang aku sampaikan. Berikan aku belaskasihan-Mu.”
“Dengan demikian,” kata Allah, “Aku
belas-kasihani dia. Aku ampuni dosa-dosanya, karena Aku Maha-pengasih dan
penyayang terlebih kepada orang yang mengakui atas dosanya di hadapan-Ku. Nah,
orang ini telah mengakui dosanya, aku ampuni dia. Hai Musa, lakukan apa yang
aku perintahkan. Atas kehormatannya, Aku ampuni siapa pun yang menyalati
janazahnya dan hadir pada pemakamannya.” (Muhammad bin Abu Bakar, al-Mawâ’idh
al-Ushfûriyyah, halaman 3)
Pada cerita di atas, dapat kita ambil
pelajaran, pertama, kita tidak boleh memvonis siapa pun sebagai ahli neraka.
Karena urusan surga dan neraka merupakan urusan Allah. Kita hanya perlu
menyikapi satu hal secara lahiriyahnya saja.
Kedua, orang yang meninggal dalam keadaan
Islam, walaupun semasa hidupnya bergelimang kemaksiatan, ia tetap harus dirawat
sebagaimana janazah orang Muslim pada umumnya.
Ketiga, kita perlu waspada kepada siapa saja
untuk tidak berprasangka buruk kepada mereka. Sehingga kita menjadi merasa
lebih baik daripada mereka. Siapa tahu, orang yang buruk itu karena mereka
pandai mengolah hati serta rasa, mereka lebih dicintai Allah daripada
kita.
Keempat, sikap kita, saat bertemu dengan
orang yang nyata melakukan kemungkaran adalah bukan dengan cara mencaci
makinya. Namun, ingkar di hati seraya mendoakan kepada Allah supaya diberikan
hidayah-Nya. Andai saja ternyata dia lebih baik dari kita, kita berharap, doa
tersebut menjadi pintu Allah mengampuni kita sebab kita mengasihi sesama
saudara kita.
Kelima, berpikir, bermunajat, berbisik,
berusaha berkomunikasi dengan Allah akan membukakan banyak jalan kita kepada
Allah subhânahu wa ta’âlâ. []
(Ahmad Mundzir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar