Penantian
Besar di Akhir Bulan September
Oleh:
Dahlan Iskan
INILAH penantian besar yang sangat
ditunggu masyarakat akhir bulan ini: siapa saja di antara nama-nama besar di
negeri ini yang ikut tax amnesty. Juga ini: seberapa banyak pejabat
dan mantan pejabat yang ikut serta. Mulai tingkat mantan direktur jenderal
(Dirjen) ke atas. Atau, untuk instansi tertentu, mulai tingkat mantan kepala
seksi ke atas. Misalnya instansi pajak, bea cukai, dan sejenisnya. Publik tahu
mereka ini tidak kalah gendutnya.
September
memang bukan akhir masa tax amnesty. Namun, akhir bulan ini adalah batas
periode dengan tarif tebusan termurah. Hanya 2 persen. Setelahnya akan naik.
Jadi 3 persen sampai Desember 2016. Lalu 5 persen hingga Maret 2017. Lazimnya
pemilik dana besar akan memilih ikut di masa tarif tebusan terkecil.
Saya tahu
kemampuan Dirjen Pajak saat ini, Ken Dwijugiasteadi. Terutama dalam
"menghasut" atau "mendorong" seseorang untuk menyukseskan tax amnesty.
Saya mengenal kejagoan dan kebongolan Pak Ken sejak puluhan tahun lalu. Beliau
punya cara. Punya taktik. Punya jurus yang banyak. Termasuk silat yang
dikombinasi dengan kungfu sekalipun.
Karena
itu, ketika Jenderal Luhut Pandjaitan menggambarkan amnesti pajak ini
akan menghasilkan penerimaan negara Rp 60 sampai 80 triliun, Dirjen Pajak
keluar dengan kebongolannya: Rp 165 triliun! Kalau gagal bersedia ditembak.
Atau dihukum apa pun. Maka jadilah angka Rp 165 triliun itu resmi sebagai
target pemerintah.
Dari
pengalaman masa lalu maupun pengalaman negara lain, amnesti pajak memang
mengecewakan hasilnya. Tapi, masa itu beda dengan sekarang. Waktu itu tidak ada
ancaman dari kesepakatan global tentang persembunyian uang. Kini ancaman itu
nyata. Orang tidak akan bisa lagi bersembunyi di balik tax haven.
Waktunya pun nyata: tahun 2018. Siapa yang tidak memanfaatkan tax amnesty akan
kena batunya saat itu.
Sejarah
persembunyian uang di luar negeri sebenarnya sangat dalam. Terutama di
Indonesia. Ada yang awalnya bisa dipahami. Tapi, ada yang tidak bisa dipahami.
Yang bisa dipahami adalah alasan ini: adanya perasaan tidak aman yang melanda
golongan minoritas. Mereka itu setiap ada gejolak politik selalu jadi korban.
Hartanya dirusak atau dibakar.
Keberadaan
mereka sebagai warga negara pun tidak terlalu diakui. Masa depannya selalu
dihantui ketidakpastian. Mereka ini menyimpan sebagian hartanya di tempat yang
aman. Sebagai jaga-jaga kalau ada gejolak yang membahayakan, masih punya
simpanan yang aman.
Yang
seperti itu terjadi di hampir semua belahan dunia. Golongan minoritas di
Vietnam, Kamboja, India, dan banyak lagi melakukan hal yang sama. Bahkan,
mereka sering menanam perhiasan di dalam tanah. Banyak pengungsi Vietnam,
setelah aman, kembali ke negaranya untuk menggali simpanannya.
Ketakutan
seperti itu seharusnya tidak ada lagi sekarang ini. Memang masih sering terbaca
ancaman yang berbau rasialis di media sosial. Atau pidato tokoh tertentu yang
menebar kebencian. Lalu videonya tersebar luas di internet. Ada juga yang
beralasan begini. Di zaman Pak Harto yang begitu kuat dan sepenuhnya didukung
tentara saja, masih terjadi kerusuhan Mei 1998. Trauma lama terus terngiang.
Untuk yang seperti itu sebenarnya sudah kurang relevan lagi. Di zaman Pak Harto
tidak ada demokrasi. Sekarang sudah ada demokrasi.
Saya
percaya demokrasi akan menyelesaikan persoalan mayoritas-minoritas. Semakin
matang kita berdemokrasi, semakin terjamin hak-hak minoritas. Semakin dewasa
demokrasi, semakin sama hak-hak warga negara. Bahwa masih ada perasaan kurang aman
di sebagian golongan minoritas, itu karena demokrasi kita memang belum
sepenuhnya dewasa. Tapi, kita yakin kita sedang menuju kedewasaan.
Jadi,
alasan menyimpan sebagian harta di luar negeri untuk jaga-jaga masa depan
mestinya tidak relevan lagi. Masa depan kita di Indonesia. Kita perkuatlah
negara yang jadi masa depan kita itu. Mendewasakan demokrasi adalah agenda kita
bersama. Memang demokrasi yang dewasa memerlukan syarat lain: tegaknya hukum.
Ini doktrin. Seperti uang tidak bisa disebut uang kalau tidak punya dua sisi.
Tidak bisa untuk belanja kalau gambarnya hanya ada di satu sisi. Demokrasi dan
tegaknya hukum.
Karena
itu, dewasanya hukum harus jadi prioritas pemerintah. Untuk merebut kepercayaan
rakyat dan untuk melengkapi syarat dewasanya demokrasi. Itulah yang terjadi di
Amerika. Inilah yang saya dalami selama enam bulan terakhir saat saya lebih
banyak tinggal di Amerika. Minoritas tidak merasa terancam di sana. Kecuali, he
he he, gara-gara satu orang bernama Donald Trump. Tapi, dia pun tidak akan
laku. Kalaupun terpilih nanti, itu karena kelemahan Hillary Clinton. Dan Trump
setelah terpilih pun juga tidak akan begitu.
Memang
ada keraguan lain. Melemahnya rupiah dari waktu ke waktu merangsang orang
menyimpan dana di luar negeri. Agar nilai kekayaan tidak merosot. Selalu saja
terbukti, yang menyimpan dalam bentuk dolar lebih baik nasibnya. Dibanding
saya, misalnya, yang tidak pernah menyimpan uang dalam dolar.
Pengusaha
tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Pemerintah yang tidak menjaga nilai tukar
rupiah ikut bersalah. Tapi, pemerintah akan selalu menyadari ini. Dan akan
selalu berusaha memperkuat rupiah. Saya tahu teman-teman pengusaha besar adalah
pendukung Presiden Jokowi. Kini saatnya mereka menunjukkan dukungan mereka itu
lebih ikhlas. Dengan cara ikut tax amnesty.
Kalau
minggu ini ada dua saja nama besar yang secara terbuka menyatakan ikut amnesti
pajak, dampak WOW-nya akan sangat heroik. Akan jadi panutan. Yang bisa
menggeret gerbong yang panjang. Lalu minggu depannya dua nama besar lagi. Dan
lagi. Dan lagi.
Sayangnya,
saya tidak punya simpanan di luar negeri. Kalau ada, saya mau jadi pendaftar
yang pertama. Bahkan, meski tidak punya pun, saya akan ikut. Namanya fasilitas.
Sayang jika tidak dimanfaatkan. Tinggal Dirjen Pajak yang benar-benar menjamin
kerahasiaan angka-angka mereka. Juga satu jaminan bahwa yang tidak mau ikut
akan terkena batunya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar