Kamis, 29 September 2016

Dahlan: Penantian Besar di Akhir Bulan September



Penantian Besar di Akhir Bulan September
Oleh: Dahlan Iskan

INILAH penantian besar yang sangat ditunggu masyarakat akhir bulan ini: siapa saja di antara nama-nama besar di negeri ini yang ikut tax amnesty. Juga ini: seberapa banyak pejabat dan mantan pejabat yang ikut serta. Mulai tingkat mantan direktur jenderal (Dirjen) ke atas. Atau, untuk instansi tertentu, mulai tingkat mantan kepala seksi ke atas. Misalnya instansi pajak, bea cukai, dan sejenisnya. Publik tahu mereka ini tidak kalah gendutnya.

September memang bukan akhir masa tax amnesty. Namun, akhir bulan ini adalah batas periode dengan tarif tebusan termurah. Hanya 2 persen. Setelahnya akan naik. Jadi 3 persen sampai Desember 2016. Lalu 5 persen hingga Maret 2017. Lazimnya pemilik dana besar akan memilih ikut di masa tarif tebusan terkecil.

Saya tahu kemampuan Dirjen Pajak saat ini, Ken Dwijugiasteadi. Terutama dalam "menghasut" atau "mendorong" seseorang untuk menyukseskan tax amnesty. Saya mengenal kejagoan dan kebongolan Pak Ken sejak puluhan tahun lalu. Beliau punya cara. Punya taktik. Punya jurus yang banyak. Termasuk silat yang dikombinasi dengan kungfu sekalipun.

Karena itu, ketika Jenderal Luhut Pandjaitan menggambarkan amnesti pajak ini akan menghasilkan penerimaan negara Rp 60 sampai 80 triliun, Dirjen Pajak keluar dengan kebongolannya: Rp 165 triliun! Kalau gagal bersedia ditembak. Atau dihukum apa pun. Maka jadilah angka Rp 165 triliun itu resmi sebagai target pemerintah.

Dari pengalaman masa lalu maupun pengalaman negara lain, amnesti pajak memang mengecewakan hasilnya. Tapi, masa itu beda dengan sekarang. Waktu itu tidak ada ancaman dari kesepakatan global tentang persembunyian uang. Kini ancaman itu nyata. Orang tidak akan bisa lagi bersembunyi di balik tax haven. Waktunya pun nyata: tahun 2018. Siapa yang tidak memanfaatkan tax amnesty akan kena batunya saat itu.

Sejarah persembunyian uang di luar negeri sebenarnya sangat dalam. Terutama di Indonesia. Ada yang awalnya bisa dipahami. Tapi, ada yang tidak bisa dipahami. Yang bisa dipahami adalah alasan ini: adanya perasaan tidak aman yang melanda golongan minoritas. Mereka itu setiap ada gejolak politik selalu jadi korban. Hartanya dirusak atau dibakar.

Keberadaan mereka sebagai warga negara pun tidak terlalu diakui. Masa depannya selalu dihantui ketidakpastian. Mereka ini menyimpan sebagian hartanya di tempat yang aman. Sebagai jaga-jaga kalau ada gejolak yang membahayakan, masih punya simpanan yang aman.

Yang seperti itu terjadi di hampir semua belahan dunia. Golongan minoritas di Vietnam, Kamboja, India, dan banyak lagi melakukan hal yang sama. Bahkan, mereka sering menanam perhiasan di dalam tanah. Banyak pengungsi Vietnam, setelah aman, kembali ke negaranya untuk menggali simpanannya.

Ketakutan seperti itu seharusnya tidak ada lagi sekarang ini. Memang masih sering terbaca ancaman yang berbau rasialis di media sosial. Atau pidato tokoh tertentu yang menebar kebencian. Lalu videonya tersebar luas di internet. Ada juga yang beralasan begini. Di zaman Pak Harto yang begitu kuat dan sepenuhnya didukung tentara saja, masih terjadi kerusuhan Mei 1998. Trauma lama terus terngiang. Untuk yang seperti itu sebenarnya sudah kurang relevan lagi. Di zaman Pak Harto tidak ada demokrasi. Sekarang sudah ada demokrasi.

Saya percaya demokrasi akan menyelesaikan persoalan mayoritas-minoritas. Semakin matang kita berdemokrasi, semakin terjamin hak-hak minoritas. Semakin dewasa demokrasi, semakin sama hak-hak warga negara. Bahwa masih ada perasaan kurang aman di sebagian golongan minoritas, itu karena demokrasi kita memang belum sepenuhnya dewasa. Tapi, kita yakin kita sedang menuju kedewasaan.

Jadi, alasan menyimpan sebagian harta di luar negeri untuk jaga-jaga masa depan mestinya tidak relevan lagi. Masa depan kita di Indonesia. Kita perkuatlah negara yang jadi masa depan kita itu. Mendewasakan demokrasi adalah agenda kita bersama. Memang demokrasi yang dewasa memerlukan syarat lain: tegaknya hukum. Ini doktrin. Seperti uang tidak bisa disebut uang kalau tidak punya dua sisi. Tidak bisa untuk belanja kalau gambarnya hanya ada di satu sisi. Demokrasi dan tegaknya hukum. 

Karena itu, dewasanya hukum harus jadi prioritas pemerintah. Untuk merebut kepercayaan rakyat dan untuk melengkapi syarat dewasanya demokrasi. Itulah yang terjadi di Amerika. Inilah yang saya dalami selama enam bulan terakhir saat saya lebih banyak tinggal di Amerika. Minoritas tidak merasa terancam di sana. Kecuali, he he he, gara-gara satu orang bernama Donald Trump. Tapi, dia pun tidak akan laku. Kalaupun terpilih nanti, itu karena kelemahan Hillary Clinton. Dan Trump setelah terpilih pun juga tidak akan begitu.

Memang ada keraguan lain. Melemahnya rupiah dari waktu ke waktu merangsang orang menyimpan dana di luar negeri. Agar nilai kekayaan tidak merosot. Selalu saja terbukti, yang menyimpan dalam bentuk dolar lebih baik nasibnya. Dibanding saya, misalnya, yang tidak pernah menyimpan uang dalam dolar.

Pengusaha tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Pemerintah yang tidak menjaga nilai tukar rupiah ikut bersalah. Tapi, pemerintah akan selalu menyadari ini. Dan akan selalu berusaha memperkuat rupiah. Saya tahu teman-teman pengusaha besar adalah pendukung Presiden Jokowi. Kini saatnya mereka menunjukkan dukungan mereka itu lebih ikhlas. Dengan cara ikut tax amnesty.

Kalau minggu ini ada dua saja nama besar yang secara terbuka menyatakan ikut amnesti pajak, dampak WOW-nya akan sangat heroik. Akan jadi panutan. Yang bisa menggeret gerbong yang panjang. Lalu minggu depannya dua nama besar lagi. Dan lagi. Dan lagi. 

Sayangnya, saya tidak punya simpanan di luar negeri. Kalau ada, saya mau jadi pendaftar yang pertama. Bahkan, meski tidak punya pun, saya akan ikut. Namanya fasilitas. Sayang jika tidak dimanfaatkan. Tinggal Dirjen Pajak yang benar-benar menjamin kerahasiaan angka-angka mereka. Juga satu jaminan bahwa yang tidak mau ikut akan terkena batunya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar