Buta di
Sini, Buta di Sana (1)
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Judul ini
didasarkan pada Alquran surat al-Isrâ’(17) ayat 72 yang makna lengkapnya
adalah: “Barangsiapa yang buta di sini [di dunia], maka dia akan buta pula di
akhirat, bahkan perjalanannya lebih sesat lagi.” Saya sudah buka beberapa
tafsir, Arab, Indonesia, dan Inggris, tidak satu pun yang mengaitkan ayat itu
dengan kejatuhan peradaban Muslim, saat umat ini terkapar dengan hina di depan
umat lain, seperti yang tengah berlaku sekarang. Semuanya mengartikan perkataan
buta (a’mâ) sebagai buta hati terhadap kebenaran yang datang dari Allah melalui
wahyu. Tentu tidak salah tafsiran itu, tetapi apakah bukan karena buta terhadap
realitas sejarah, umat ini telah kehilangan jati-dirinya sebagai manusia
beriman yang tulus?
Atau
apakah ungkapan buta itu tidak dapat dikaitkan dengan kelumpuhan Muslim dalam
perlombaan hidup duniawi di tengah persaingan global yang tunakasih-sayang dan
tunakeadilan? Sebagian kita cenderung menghibur diri dengan asyik mendengarkan
para da’i yang meninabobokkan, sambil mengusap airmata. Tahukah
tuan dan puan, dalam situasi kejatuhan sebuah peradaban, curahan airmata
bukanlah dewa penolong, gunanya sekadar obat penenang. Dan hanya akan semakin
mempertinggi tempat jatuh.
Jika
tafsiran yang saya ajukan dimungkinkan, maka logikanya menjadi: “Lumpuh di
sini, lumpuh di sana, atau tersungkur di sini, tersungkur di sana.” Dalam
bacaan saya, kelumpuhan umat ini sama sekali tidak masuk di nalar jika Alquran
dijadikan rujukan dalam ungkapan “kuntum khaira umma ukhrijat li al-nâs” (kamu
adalah umat terbaik yang ditampilkan untuk manusia), seperti yang tersebut
dalam surat Âli ‘Îmrân ayat 110. Tidak nalar, tetapi itulah yang berlaku,
semata-mata karena kebodohan dan kecerobohan kita sebagai umat yang hobinya berpecah-belah
sambil menguras energi untuk sesuatu yang sia-sia.
Syarat
untuk merebut posisi umat terbaik itu menurut lanjutan ayat adalah: kemampuan
memerintahkan kebaikan (al-ma’rûf), kesigapan mencegah yang buruk (al-munkar),
dan beriman kepada Allah. Tiga kualitas itu harus berjalan bersama dalam
susunan gerak yang menyatu, tidak boleh dipisah-pisahkan. Iman sebagai landasan
spiritual yang teramat kokoh mesti membuahkan kemampuan menegakkan kebaikan dan
keberanian mencegah keburukan. Jika tidak demikian, maka iman itu sedang berada
pada posisi mandul, tak bertenaga. Bagaimana mungkin orang akan dapat
memerintahkan kebaikan sementara kondisi dirinya jauh kebaikan. Bagaimana
mungkin orang akan mampu mencegah yang buruk, jika dirinya berkubang dalam keburukan
dan kebodohan.
Kebaikan
itu bisa berupa tegaknya keadilan dan nilai-nilai kemanusian yang luhur,
terwujudnya persaudaraan sejati dalam lingkungan iman yang sama atau dalam
lingkungan iman yang berbeda. Bahkan persaudaraan itu juga harus tampak dalam
komunitas orang beriman dan komunitas orang tidak beriman, karena kita semua
melangsungkan hidup di atas planet bumi yang satu. Tidak seorang pun punya hak
monopoli di planet yang satu ini. Ini di antara hasil bacaan saya dalam
memahami benang-merah Alquran, kumpulan wahyu terakhir sebagai pedoman hidup
manusia sejagat.
Dalam
Resonansi, 30 Agustus, telah diungkapkan betapa tajamnya kesenjangan
sosial-ekonomi pada tataran global dan pada tataran nasional. Kemudian,
tengoklah penduduk Muslim dengan jumlah sekitar 1,6 miliar manusia di seluruh
dunia adalah di antara umat yang lumpuh dan hina, tidak mampu berbuat apa-apa
untuk mempertautkan kesenjangan itu, karena masalah internal mereka benar-benar
sangat memprihatinkan. Secara teologis, umat ini terpecah-pecah dalam berbagai
sekte sebagai buah pahit dari sengketa politik elite Arab Muslim di abad-abad
permulaan. Adalah sebuah ironi yang memalukan, mengapa kemudian dalam bilangan
kurun yang panjang, sengketa elite Arab itu diekspor ke seluruh komunitas Muslim
di muka bumi sampai hari ini, termasuk ke Indonesia?
Logika
Alquran memastikan bahwa sebuah perubahan ke arah perbaikan dan kemajuan hanya
mungkin berlaku jika umat ini cerdas dalam mengambil inisiatif. Ayat yang
sering dikutip oleh banyak orang: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
kondisi sebuah kaum, sampai kaum itu sendiri mau mengubah apa yang ada pada
diri mereka” (surat al-Ra’d (13): 11). []
REPUBLIKA,
13 September 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar