Islam Ditelikung oleh Kelompok Elitenya
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Telikung (bahasa Jawa) diberi awalan me menjadi menelikung berati
“mengikat kaki dan tangan” sehingga tidak bisa bergerak bebas, apakah itu
manusia, hewan, atau pun sesuatu yang bersifat abstrak, seperti agama,
ideologi, dan sebagainya. Maka Islam menjadi sesuatu yang tersandera karena
ditelikung oleh kelompok elite umatnya sendiri yang telah berhenti berfikir
kreatif.
Akibatnya, agama ini telah berubah menjadi fosil, membeku, tidak
lagi menawarkan solusi bagi penyelesaian masalah-masalah sosial kemanusiaan.
Adapun diktum Alquran tentang misi kenabian sebagai “rahmat bagi alam semesta”
(s. al-Anbiyâ’: 107) telah menjadi hampa di tangan elite Muslim yang tuna
kejujuran, tuna kreativitas, dan tuna inisiatif.
Diktum ini masih dikutip berulang-ulang oleh berbagai kalangan,
tetapi tanpa pemahaman yang benar dan dalam. Diktum ini telah kehilangan
dinamika pemahaman yang segar akibat telikungan yang demikian dahsyat dalam
baju teologis, faham politik, sukuisme, dan sektarianisme. Benar, secara
teoretik, Islam adalah agama pembela keadilan dan persaudaraan sejati sebagai
wujud ajaran tauhid dalam kehidupan kolektif manusia. Lain teori, lain pula
kenyataan. Godaan duniawi berupa benda dan kekuasaan yang melingkari kelompok
elite ini (penguasa dan ulama) dalam kurun yang panjang telah menjadikan umat
ini seperti ayam kehilangan induk. Bukti yang teranyar, tengoklah tanah Suria
dan Irak, tak ubahnya seperti kepingan neraka yang dipindahkan ke bumi.
Ulama yang biasa menyebut dirinya sebagai “ahli waris para nabi”
tidak jarang bersekongkol dengan penguasa yang busuk sekalipun. Untaian tasbih
dan jubah panjang tidak jarang dipakai sebagai tameng suci untuk mengelabui
umat yang buta politik, buta agama, dan minus pendidikan. Munculnya ulama
sunni, ulama syi’ah, ulama khawarij dengan klaim kebenarannya masing-masing
adalah akibat belaka dari perseteruan elite Arab Muslim yang berebut kuasa di
masa awal, sebagaimana yang pernah ditulis di ruang ini.
Jalan ke luarnya adalah agar Islam kenabian dipisahkan dari
sektarianisme Arabisme politik kekuasaan yang telah menelikung agama ini tanpa
perasaan dosa. Tidak ada yang perlu dicemaskan, selama al-Qur’an dijadikan
pedoman pertama dan utama. Nabi Muhammad sebagai pelanjut risalah nabi Ibrahim
dengan susah payah telah meruntuhkan norma-norma sektarisnisme, sukuisme, dan
kebanggaan atas ajaran leluhur yang lepas dari kawalan tauhid dan cita-cita tentang
keadilan. Adalah sebuah ironi yang sangat melelahkan, ajaran yang begini
universal, anggun, dan humanis, telah dicemari oleh daki-daki sektarianisme dan
sukuisme yang membunuh cita-cita suci Islam.
Semestinya elite Arab Muslim menyadari bahwa Islam itu bukan hanya
untuk mereka, tetapi untuk kemanusiaan sejagat. Tidak ada hak mereka untuk
memenopoli kebenaran Islam sebagaimana yang terkesan dari faham Wahabisme,
bentuk ekstrem sunnisme, dan syi’sme. Gerakan al-Qaedah dan ISIS tidak lain
dari Wahabisme radikal yang kini sedang menggali kuburan masa depan Islam.
Adapun pihak Barat yang ikut bermain untuk melumpuhkan dunia Arab Muslim yang
telah mereka peras selama ini adalah akibat belaka dari suasana internal Arab
yang semakin merapuh dan tak kunjung sadarkan diri. Islam yang dibungkus dalam
mantel sektarianisme dan sukuisme jelas berkhianat terhadap al-Qur’an dan
cita-cita kenabian.
Memang tidaklah mudah mengurai benang kusut yang sudah berusia
berabad-abad, tetapi jika Alquran difahami secara benar dan tulus, benang
kusut itu pasti bisa diurai. Masalahnya tidaklah rumit amat dan bahkan
sederhana: bersediakah kita menundukkan egoisme dan subjektivisme kita kepada
perintah Alquran tentang kesatuan dan persaudaraan umat beriman? Selama egoisme
dan subjektivisme yang jadi sesembahan, selama itu pulah malapetaka dan palu
godam sejarah akan senantiasa mengejar kita sehingga umat ini luluh
berkeping-keping. Saya teringat ucapan Prof. Fazlur Rahman: “Jika bahan bakar
lenyap dari bumi pasti akan ada gantinya. Tetapi jika Islam yang hilang, tidak
akan ada gantinya.” Ucapan ini teramat dalam dan tajam yang menembus
relung-relung saraf mereka yang masih punya kepekaan ruhani.
Akhirnya, Alquran dalam surat al-Shaff (61):4 menggambarkan mereka
yang berjuang di jalan Allah dalam barisan yang rapi, “mereka seperti sebuah
bangunan yang kokoh dan kompak.” Sekarang tengoklah situasi dunia Muslim,
jangankan penaka bangunan yang kokoh, bangunan itu sendiri telah roboh di
tangan elitenya yang merasa benar di jalan yang sesat. Lalu, siapa kita
sebenarnya? Inilah peta global umat Muhammad yang mesti diubah dengan pemahaman
agama yang benar dan perbuatan yang konkret. Jalan lain adalah jalan
kehancuran! []
REPUBLIKA, 27 September 2016, 06:00 WIB
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar