Rabu, 14 September 2016

Cak Nun: Managemen keAdaman dan keHawaan



Managemen keAdaman dan keHawaan
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Sebelum kisah kecil tentang Yu Sumi, tolong anak cucuku dan para jm memastikan pemahaman bahwa “empat huruf” itu tidak sama dengan Mukhonnats, Wandu atau Banci. Sama sekali berbeda.

Banci itu keadaan, yang menjadi identitas. Sepanjang tidak ditulari secara budaya, maka Banci Mukhonnats Wandu adalah kehendak alamiah Tuhan. Di empat nomor tulisan ini kita belajar pengelolaannya, ke dalam diri yang bersangkutan, maupun penanganan secara sosial.

Tetapi “gay”, “lesbi”, “bisex” dan “transgender” bukan keadaan, bukan identitas, melainkan perbuatan atau perilaku sosial. Jadi “empat huruf” itu tidak menjelaskan identitas, melainkan perilaku.

Tidak ada masalah kita lelaki, perempuan atau banci. Yang menjadi masalah adalah ketika lelaki dan perempuan berhubungan seks tidak dalam pernikahan. Apalagi berhubungan seks sesama jenis, dengan benda, dengan hewan, batang pisang atau tiang kayu, atau beramai-ramai berjenis-jenis.

Kalau masalah yang timbul hanya terhadap hukum, moral atau norma sosial, masih tidak terlalu mengancam kehidupan. Tapi kalau masalahnya adalah konflik dengan kemauan Tuhan, anak cucuku dan para jm tolong jangan anggap ringan.

***

Yu Sumi, wanita yang kelelaki-lekakian, adalah seniorku dulu di desa. Guk Urip, lelaki yang kewanita-wanitaan, juga senior era berikutnya. Dan Mas Bardi, lelaki gagah berbadan besar gempal tapi kewanita-wanitaan, adalah juga senior hidupku di salah satu tempat perantauanku.

Tuhan menginformasikan bahwa Ia menciptakan makhluknya dengan potensi maskulinitas dan feminitas dalam kadar yang berbeda-beda. Bahkan Ia sebut “syu’uban wa qaba’il”, yang selama ini diterjemahkan menjadi “bersuku-suku dan berbangsa-bangsa”, meskipun ketika ayat itu turun belum ada konsep atau perumusan tentang bangsa.

Syu’ub dan qaba’il tidak harus bermakna hanya suku atau tribe dan bangsa atau rumpun bangsa. Penduduk negeri Benelux disebut tiga bangsa karena negaranya pun tiga, padahal sesungguhnya mereka satu qabilah, atau satu bangsa, atau bahkan satu suku atau sub-bangsa. Semua itu sangat relatif. Dan bagaimana pemetaan ciptaan Tuhan itu dipahami tidak dengan mempelajari konsep dasar dari Tuhan, tetapi disimpulkan berdasarkan paham-paham temporer ilmu manusia. Yang besok dibatalkan sendiri. Lusa dilanggar sendiri. Seminggu berikutnya diingkari, dibantah dan dikutuk sendiri.
Mohon diingat oleh anak cucuku dan para jm, ini bukan tafsir, dan aku pun tak memenuhi syarat untuk menjadi mufassir. Ini sekedar pesan pribadi kepada kalian, yang lebih baik tak usah didengar oleh khalayak umum, agar tidak menambahi potensi perbedaan dan pertentangan.

Demikianlah ummat manusia bermain-main dengan arca dan patung-patung pemikiran dan khayalannya sendiri. Patung bukan satu-satunya bentuk berhala. Justru mayoritas berhala dan pemberhalaan bertebaran di peta pengetahuan dan pilihan ilmu kaum cendekiawan. Terutama di hamparan hasil teknologi kebudayaannya. Abad 20-21 adalah peradaban ummat manusia yang jumlah Latta-Uzzanya hampir tak bisa dihitung. Hampir seluruh arca yang diberhalakan itu dikostumi dengan pakaian-pakaian agama, dijubahi dikerudungi dengan performa kesucian Tuhan dan Nabi-Nabi.

***

Karena kemalasan berpikir, meneliti dan menganalisis, maka kumpulan-kumpulan manusia bisa suatu hari keluar rumah dengan senjata tajam dan acungan tangan-tangan serta teriakan pekikan yang menyebut nama Tuhan — dengan penuh kegagahan dan keperkasaan membakar sebuah patung, karena mereka tidak belajar untuk mengetahui bahwa arca yang perlu dibakar sesungguhnya terletak di dalam dismanagemen berpikir mereka sendiri.

Apa yang kutuliskan ini mutlak tidak diperlukan oleh teman-teman kita sesama makhluk hidup yang hampir mustahil memahami bahwa letak berhala-berhala yang mereka musuhi itu berada di dalam akal mereka sendiri. Maka aku hantarkan nilai-nilai ini kepada anak-anak cucu-cucuku agar jangan kelak menjadi keledai zaman yang mengulang-ulang ketidakmengertian dan memasuki lobang-lobang ketidakpahaman sampai ratusan kali, mungkin ribuan kali, dan seperti tak  ada kemungkinan bahwa ribuan kali itu akan tidak bertambah dan diteruskan.

Anak-anak cucu-cucuku sudah hafal bahwa letak kekufuran, kemusyrikan, bid’ah, keterpelesetan aqidah dan kesesatan dari garis tauhid, tidaklah berada di luar diri. Tidak di kota ataupun desa. Tidak di bunyi ataupun sepi. Tidak di perempatan jalan atau di toko-toko besar. Tidak di perkampungan atau gedung-gedung tinggi. Tidak di negara atau di rumpun suku-suku hutan belantara. Tidak di dalam atau di luar masjid dan tempat-tempat ibadah ataupun persangkaan-persangkaan ubudiyah yang lain.

Melainkan terletak di dalam akal dan hati masing-masing. Terletak di dalam ketidaktepatan atau ketepatan tujuan utama kehidupan. Terletak di dalam lingkup niat dan hajat. Terletak di dalam diri. Terletak di dalam diri. Jadi ambil pedang dan obor, berlarilah menghamburlah ke dalam diri sendiri, tebas kebatilan akalmu dengan pedang dan bakar kebodohan pikiran diri sendiri dengan api.
***
Yu Sumi di dusunku, seorang Hawa yang keAdam-Adaman, sampai akhir hayatnya tidak bisa menemukan kepenuhan Hawa dalam dirinya, tapi juga hal itu tidak lantas membuatnya berprasangka bahwa dirinya adalah Adam.

Tuhan menciptakan di dalam diri Adam terdapat potensi Hawa, yakni kelembutan, kasih sayang, keluwesan. Adam melambai hatinya kepada Hawa dan anak-anaknya, bahkanpun kepada Qabil sesudah membunuh Habil kakaknya. Tetapi hati melambai Adam tidak diekspresikan keluar melalui tangan dan gerak tubuh yang melambai. Karena Adam diajari Tuhan untuk waspada dan mengerti bahwa hidup adalah menata batas-batas.

Hawa juga memiliki unsur ke-Adam-an di dalam dirinya. Dan sebagaimana Adam, Ibu Hawa menjaga batas bahwa ekspresi sosialnya harus mengutamakan ke-Hawa-annya dan mengelola ke-Adam-annya untuk konteks-konteks tertentu di dalam metode pergaulan sosial.

Semua lelaki adalah Adam yang mengandung Hawa. Semua wanita adalah Hawa yang mengandung Adam. Keduanya dan masing-masing adalah Khalifah, dan yang pertama-tama mereka khalifahi adalah managemen internal dirinya sendiri, sebelum banyak omong dan menghamburkan orasi-orasi tentang negara, demokrasi dan apapun keluar dirinya.

Lelaki bukan hanya kegagahan dan kekerasan, karena ia juga dibekali Tuhan kelembutan dan kasih sayang. Wanita bukan hanya kelembutan dan kasih sayang, karena Tuhan juga membekalinya dengan ketegasan dan kekerasan. Tidak ada anti-kekerasan. Yang ada adalah anti-kekejaman. Tulang belulang wajib keras. Daging, otak, jantung dan paru-paru wajib lembut. Darah wajib cair.

Tidak ada radikalisme, yang ada adalah radikalitas pada batas dan ukurannya. Kalau karena sakit tertentu kaki harus diamputasi, maka harus diterapkan tindakan radikal memotong kaki. Kalau api menguasai cahaya hati, maka dibutuhkan keputusan radikal untuk memadamkan api. Kekerasan diperlukan untuk prosedur membuat anak dan mengabdi kepada sunnah regenerasi. Tetapi kekerasan kelamin laki-laki harus diperjodohkan dengan kelembutan hatinya kepada istri.

Managemen keAdaman dan keHawaan di dalam diri setiap manusia memerlukan sekaligus kelembutan dan kekerasan. Kepada nafsu syahwat harus keras dan radikal untuk mengatur batasan-batasannya. Itulah sebabnya aku tuturkan kepada anak-anak cucu-cucuku tentang Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi. []

Dari CN kepada anak-cucu dan JM
24 Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar