Managemen
keAdaman dan keHawaan
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Sebelum kisah kecil tentang Yu Sumi, tolong anak cucuku dan para
jm memastikan pemahaman bahwa “empat huruf” itu tidak sama dengan Mukhonnats,
Wandu atau Banci. Sama sekali berbeda.
Banci itu
keadaan, yang menjadi identitas. Sepanjang tidak ditulari secara budaya, maka
Banci Mukhonnats Wandu adalah kehendak alamiah Tuhan. Di empat nomor tulisan
ini kita belajar pengelolaannya, ke dalam diri yang bersangkutan, maupun
penanganan secara sosial.
Tetapi
“gay”, “lesbi”, “bisex” dan “transgender” bukan keadaan, bukan identitas,
melainkan perbuatan atau perilaku sosial. Jadi “empat huruf” itu tidak
menjelaskan identitas, melainkan perilaku.
Tidak ada
masalah kita lelaki, perempuan atau banci. Yang menjadi masalah adalah ketika
lelaki dan perempuan berhubungan seks tidak dalam pernikahan. Apalagi
berhubungan seks sesama jenis, dengan benda, dengan hewan, batang pisang atau
tiang kayu, atau beramai-ramai berjenis-jenis.
Kalau
masalah yang timbul hanya terhadap hukum, moral atau norma sosial, masih tidak
terlalu mengancam kehidupan. Tapi kalau masalahnya adalah konflik dengan
kemauan Tuhan, anak cucuku dan para jm tolong jangan anggap ringan.
***
Yu Sumi,
wanita yang kelelaki-lekakian, adalah seniorku dulu di desa. Guk Urip, lelaki
yang kewanita-wanitaan, juga senior era berikutnya. Dan Mas Bardi, lelaki gagah
berbadan besar gempal tapi kewanita-wanitaan, adalah juga senior hidupku di
salah satu tempat perantauanku.
Tuhan
menginformasikan bahwa Ia menciptakan makhluknya dengan potensi maskulinitas
dan feminitas dalam kadar yang berbeda-beda. Bahkan Ia sebut “syu’uban wa
qaba’il”, yang selama ini diterjemahkan menjadi “bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa”, meskipun ketika ayat itu turun belum ada konsep atau
perumusan tentang bangsa.
Syu’ub
dan qaba’il tidak harus bermakna hanya suku atau tribe dan bangsa atau rumpun
bangsa. Penduduk negeri Benelux disebut tiga bangsa karena negaranya pun tiga,
padahal sesungguhnya mereka satu qabilah, atau satu bangsa, atau bahkan satu
suku atau sub-bangsa. Semua itu sangat relatif. Dan bagaimana pemetaan ciptaan
Tuhan itu dipahami tidak dengan mempelajari konsep dasar dari Tuhan, tetapi
disimpulkan berdasarkan paham-paham temporer ilmu manusia. Yang besok
dibatalkan sendiri. Lusa dilanggar sendiri. Seminggu berikutnya diingkari,
dibantah dan dikutuk sendiri.
Mohon
diingat oleh anak cucuku dan para jm, ini bukan tafsir, dan aku pun tak
memenuhi syarat untuk menjadi mufassir. Ini sekedar pesan pribadi kepada
kalian, yang lebih baik tak usah didengar oleh khalayak umum, agar tidak
menambahi potensi perbedaan dan pertentangan.
Demikianlah
ummat manusia bermain-main dengan arca dan patung-patung pemikiran dan
khayalannya sendiri. Patung bukan satu-satunya bentuk berhala. Justru mayoritas
berhala dan pemberhalaan bertebaran di peta pengetahuan dan pilihan ilmu kaum
cendekiawan. Terutama di hamparan hasil teknologi kebudayaannya. Abad 20-21
adalah peradaban ummat manusia yang jumlah Latta-Uzzanya hampir tak bisa
dihitung. Hampir seluruh arca yang diberhalakan itu dikostumi dengan
pakaian-pakaian agama, dijubahi dikerudungi dengan performa kesucian Tuhan dan
Nabi-Nabi.
***
Karena
kemalasan berpikir, meneliti dan menganalisis, maka kumpulan-kumpulan manusia
bisa suatu hari keluar rumah dengan senjata tajam dan acungan tangan-tangan
serta teriakan pekikan yang menyebut nama Tuhan — dengan penuh kegagahan dan
keperkasaan membakar sebuah patung, karena mereka tidak belajar untuk
mengetahui bahwa arca yang perlu dibakar sesungguhnya terletak di dalam
dismanagemen berpikir mereka sendiri.
Apa yang
kutuliskan ini mutlak tidak diperlukan oleh teman-teman kita sesama makhluk
hidup yang hampir mustahil memahami bahwa letak berhala-berhala yang mereka
musuhi itu berada di dalam akal mereka sendiri. Maka aku hantarkan nilai-nilai
ini kepada anak-anak cucu-cucuku agar jangan kelak menjadi keledai zaman yang
mengulang-ulang ketidakmengertian dan memasuki lobang-lobang ketidakpahaman
sampai ratusan kali, mungkin ribuan kali, dan seperti tak ada kemungkinan
bahwa ribuan kali itu akan tidak bertambah dan diteruskan.
Anak-anak
cucu-cucuku sudah hafal bahwa letak kekufuran, kemusyrikan, bid’ah,
keterpelesetan aqidah dan kesesatan dari garis tauhid, tidaklah berada di luar
diri. Tidak di kota ataupun desa. Tidak di bunyi ataupun sepi. Tidak di
perempatan jalan atau di toko-toko besar. Tidak di perkampungan atau
gedung-gedung tinggi. Tidak di negara atau di rumpun suku-suku hutan belantara.
Tidak di dalam atau di luar masjid dan tempat-tempat ibadah ataupun
persangkaan-persangkaan ubudiyah yang lain.
Melainkan
terletak di dalam akal dan hati masing-masing. Terletak di dalam ketidaktepatan
atau ketepatan tujuan utama kehidupan. Terletak di dalam lingkup niat dan
hajat. Terletak di dalam diri. Terletak di dalam diri. Jadi ambil pedang dan
obor, berlarilah menghamburlah ke dalam diri sendiri, tebas kebatilan akalmu
dengan pedang dan bakar kebodohan pikiran diri sendiri dengan api.
***
Yu Sumi
di dusunku, seorang Hawa yang keAdam-Adaman, sampai akhir hayatnya tidak bisa
menemukan kepenuhan Hawa dalam dirinya, tapi juga hal itu tidak lantas
membuatnya berprasangka bahwa dirinya adalah Adam.
Tuhan
menciptakan di dalam diri Adam terdapat potensi Hawa, yakni kelembutan, kasih
sayang, keluwesan. Adam melambai hatinya kepada Hawa dan anak-anaknya,
bahkanpun kepada Qabil sesudah membunuh Habil kakaknya. Tetapi hati melambai
Adam tidak diekspresikan keluar melalui tangan dan gerak tubuh yang melambai.
Karena Adam diajari Tuhan untuk waspada dan mengerti bahwa hidup adalah menata
batas-batas.
Hawa juga
memiliki unsur ke-Adam-an di dalam dirinya. Dan sebagaimana Adam, Ibu Hawa
menjaga batas bahwa ekspresi sosialnya harus mengutamakan ke-Hawa-annya dan
mengelola ke-Adam-annya untuk konteks-konteks tertentu di dalam metode
pergaulan sosial.
Semua
lelaki adalah Adam yang mengandung Hawa. Semua wanita adalah Hawa yang
mengandung Adam. Keduanya dan masing-masing adalah Khalifah, dan yang
pertama-tama mereka khalifahi adalah managemen internal dirinya sendiri,
sebelum banyak omong dan menghamburkan orasi-orasi tentang negara, demokrasi
dan apapun keluar dirinya.
Lelaki
bukan hanya kegagahan dan kekerasan, karena ia juga dibekali Tuhan kelembutan
dan kasih sayang. Wanita bukan hanya kelembutan dan kasih sayang, karena Tuhan
juga membekalinya dengan ketegasan dan kekerasan. Tidak ada anti-kekerasan.
Yang ada adalah anti-kekejaman. Tulang belulang wajib keras. Daging, otak,
jantung dan paru-paru wajib lembut. Darah wajib cair.
Tidak ada
radikalisme, yang ada adalah radikalitas pada batas dan ukurannya. Kalau karena
sakit tertentu kaki harus diamputasi, maka harus diterapkan tindakan radikal
memotong kaki. Kalau api menguasai cahaya hati, maka dibutuhkan keputusan
radikal untuk memadamkan api. Kekerasan diperlukan untuk prosedur membuat anak
dan mengabdi kepada sunnah regenerasi. Tetapi kekerasan kelamin laki-laki harus
diperjodohkan dengan kelembutan hatinya kepada istri.
Managemen
keAdaman dan keHawaan di dalam diri setiap manusia memerlukan sekaligus
kelembutan dan kekerasan. Kepada nafsu syahwat harus keras dan radikal
untuk mengatur batasan-batasannya. Itulah sebabnya aku tuturkan kepada
anak-anak cucu-cucuku tentang Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi. []
Dari CN
kepada anak-cucu dan JM
24 Februari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar