Kamis, 15 September 2016

Kang Komar: Berkurban, Yuk!



Berkurban, Yuk!
Oleh: Komaruddin Hidayat

HARI raya haji juga disebut Idul Adha atau Idul Qurban, yaitu menyembelih hewan untuk dibagi-bagi pada fakir miskin. Secara historis, Idul Adha mengenang kembali kemenangan Ibrahim  ketika dinyatakan lulus ujian oleh Allah SWT saat diperintah untuk menyembelih putranya yang bernama Ismail, yang sudah puluhan tahun ditunggu-tunggu kelahirannya. Sebuah ujian yang maha berat. Jangankan mengurbankan putra tersayang, banyak dari kita yang diperintah memotong sebagian hartanya untuk berzakat dan bersedekah saja sangat berat.

Rupanya yang diminta Allah pada Ibrahim itu bukannya menyembelih anak manusia, melainkan memotong berhala yang bersemayam di hati agar kebanggaan dan kecintaan pada anak itu jangan sampai mengalahkan kecintaan dan ketaatan pada Allah. Ternyata Ibrahim lulus, sehingga doanya dikabulkan, yaitu diganjar keturunan yang unggul, hebat dan saleh, yang menurunkan sekian banyak nabi, termasuk Isa dan Muhammad. Nabi Ibrahim pun memperoleh gelar kholilullah. Kekasih Allah.  Kalau saja berita dan cerita perintah penyembelihan itu tidak tertulis dalam Alquran, nalar saya sulit mempercayainya.

Melaksanakan perintah kurban itu semata karena Allah dan untuk Allah, namun wujud material dagingnya disampaikan dan dinikmati fakir miskin. Di sini muncul formula bahwa dalam Islam yang namanya pengabdian atau penghambaan pada Alah yang bersifat vertikal itu mesti membawa dampak nyata untuk kebaikan kehidupan sosial yang bersifat horisontal. Ini juga tercermin dalam berbagai ibadah lain. Misalnya ibadah puasa, kualitas puasa itu mesti juga diwujudkan dalam sikap menjaga diri jangan sampai menyakiti orang lain. Yang ikut puasa adalah pikirannya, lisannya, kakinya, matanya, telinganya yang semua itu berlangsung dalam konteks sosial, jangan merugikan orang lain.

Jadi, kata kurban sendiri artinya dekat, telah menjadi bahasa Indonesia seperti dalam kata teman karib  atau kekerabatan. Dengan menyembelih hewan kurban, maksudnya untuk mendekatkan diri pada Allah, namun dengan jalan mendekati dan menyayangi fakir miskin yang disimbolisasikan  dengan pemberian daging hewan kurban. Dalam Alquran disebutkan, yang sampai pada Allah itu ketaqwaannya, adapun dagingnya untuk dinikmati manusia. Allah maha suci, tidak makan dan tidak  minum. Ajaran kurban dalam Islam ini sekaligus juga mengoreksi tradisi kurban yang menyembahkan sesaji berupa makanan atau manusia untuk para dewa atau makhluk-makhluk gaib. Itu dilarang dalam Islam.

Mesti kita beri apresiasi, tradisi dan latihan berkurban ini semakin menyebar di kalangan anak-anak sekolah. Oleh gurunya mereka diajari menabung selama setahun, sedikit demi sedikit, lalu setelah terkumpul uangnya dibelikan kambing atau sapi menjelang idul kurban. Pendidikan berkurban ini juga dilakukan di lingkungan keluarga.

Ini pendidikan yang  bagus agar anak-anak memiliki sikap kepedulian pada orang lain sebagai rasa syukur pada Allah sejak kecil. Dan agar tertanam nilai serta keyakinan bahwa dalam harta kita itu terdapat milik fakir miskin yang dititipkan Allah pada kita. Karena itu hak milik fakir miskin, mesti kita berikan pada yang berhak. Jika hak orang lain tidak dikeluarkan, ibarat susu sebelanga dibuat rusak oleh setitik racun sianida.

Jadi, semangat berkurban adalah semangat berbagi, mengeluarkan harta orang lain yang menempel pada harta kita. Makanya menjadi ironis menyaksikan orang sudah berhaji dan sering berumrah melakukan korupsi. Mengambil hak orang lain. Tak ubahnya mengoleksi sampah dan bangkai untuk dijadikan  tempat tidurnya dan makanannya. Ironis dan tragis, retorika dan simbol agama ditonjol-tonjolkan setiap menjelang pilkada dan pemilu, tetapi setelah menang perilakunya menodai dan melecehkan agama, yang juga melecehkan kehormatan diri dan keluarganya. []

KORAN SINDO, 09 September 2016
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar