Dana
Aspirasi Anggota DPR
Oleh:
Azyumardi Azra
Presiden
Joko Widodo setidaknya dalam dua kali kesempatan (10/5/2016 dan 16/9/2016)
menegaskan agar kementerian dan lembaga negara mematuhi mekanisme pembahasan
anggaran dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden menggariskan agar permintaan
usulan anggaran tambahan yang diajukan tetap harus sesuai dengan ketentuan dan
mekanisme.
Penegasan
Presiden Jokowi ini menggariskan agar pejabat tinggi lembaga negara dan menteri
tidak menyisipkan anggaran sesuai permintaan anggota DPR di luar yang telah
ditetapkan. Memang, Presiden Jokowi tak menyebut eksplisit pihak yang menjadi
sasaran tembaknya. Namun, segera bisa dipastikan pernyataan Presiden tersebut
terkait kehebohan publik ketika sejumlah anggota DPR dalam rapat kerja dengan
dua menteri kabinet berusaha menyisipkan anggaran Usulan Program Pembangunan
Daerah Pemilihan (UP2DP). UP2DP lebih dikenal sebagai ”dana aspirasi”. Dengan
alasan memperjuangkan kepentingan daerah pemilihan (dapil), anggota DPR
berusaha mengegolkan anggaran negara untuk mereka salurkan.
Kehebohan
terjadi ketika anggota Komisi XI DPR yang menganggap tidak atau belum pernah
mendapat jatah proyek pembangunan di dapil masing-masing berusaha menyi- sipkan
kesimpulan rapat menyetujui usulan dana aspirasi dalam rapat kerja dengan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Selasa (13/9). Namun, Menkeu yang
berlaku seperti perempuan besi (iron lady) menolak tegas dengan alasan hal itu
mengandung masalah etika dan moral hazard.
Gagal
dengan Sri Mulyani, anggota DPR ini menempuh usaha lain melalui Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro. Entah
karena alasan apa, Bambang Brodjonegoro menerima penyisipan dana aspirasi dalam
kesimpulan rapat.
Dengan
adanya perbedaan sikap kedua menteri, ditambah pernyataan keras Presi- den
Jokowi, kita tidak tahu pasti bagaimana realisasi dana aspirasi itu nanti.
Perdebatan dan kontroversi bakal terus berlanjut karena DPR juga senantiasa
memperjuangkan dana aspirasi—yang bagi mereka sangat penting untuk kelanjutan
karier politik masing-masing. Namun, boleh jadi tidak terlalu urgen bagi
konstituen mereka.
Poin
terakhir ini bisa dilihat dari kenya- taan bahwa usaha anggota DPR untuk
mendapatkan dana aspirasi bukan hal baru. Pada Juni 2010, semua fraksi DPR
menyepakati usul Fraksi Partai Golkar tentang dana aspi- rasi. Beberapa fraksi
yang keukeuh menolak akhirnya juga menerima. Dana aspirasi disepakati setiap
anggota DPR senilai Rp 15 miliar sehingga total anggarannya Rp 150 triliun. KPK
dan organisasi masyarakat menolak manuver anggota DPR itu.
Namun,
anggota DPR (dan juga fraksi dan komisi) tampaknya belum menyerah. Bayangkan,
di tengah pengetatan ikat pinggang dan pemotongan APBN-P, anggota DPR malah
kembali berusaha mengusulkan dana aspirasi. Besarnya dana aspirasi 2015
meningkat menjadi Rp 20 miliar per anggota. Artinya, jika disetujui, harus
disiapkan dana sekitar Rp 200 triliun.
Lagi-lagi,
dilihat dari kondisi keuangan negara yang cukup mencemaskan, jelas keinginan
anggaran dana aspirasi tidak sensitif, baik secara keuangan maupun sosial. Jika
menerima usulan ini, pemerintah harus menambah utang dalam negeri dan luar
negeri; atau menambah beban kewajiban pajak—selain amnesti pajak—bagi warga.
Jika hal
ini terjadi, sungguh sangat ironis. Tajuk Rencana Kompas, Jumat (16/9),
mengungkapkan ironi itu dalam kisah bocah penjual tisu di lampu merah gedung
DPR seharga Rp 20.000 untuk dua pak. Ketika diberi uang Rp 20.000 dan diambil
hanya satu pak, dia tetap memberi dua pak.
”Apa yang
terjadi di luar gedung DPR itu justru terasa berbanding terbalik dengan (hal)
yang terjadi di dalam gedung. Anggota Dewan yang terhormat justru terus berburu
anggaran UP2DP atau sering disebut dana aspirasi,” tulis Tajuk Rencana Kompas.
Memang,
jika anggota DPR berargumen, adanya semacam dana aspirasi di sejumlah negara,
itu adalah benar. Di Amerika Serikat disebut sebagai pork barrel budget (dana
gentong babi). Anggaran pork barrel memungkinkan ”penggunaan dana negara untuk
membiayai proyek-proyek yang bertujuan menarik dukungan konstituen guna
memenangi pemilu berikutnya”.
Meski
praktik pork barrel budget berlaku di AS dan beberapa negara lain, tidak
berarti warga menerimanya. Warga di mana praktik ini berlaku selalu memandang
negatif (derogatory) praktik anggaran gentong babi. Karena itu, kalangan
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat sipil tetap
menolaknya.
Alasan
penolakan sudah jelas. Dana pork barrel alias dana aspirasi mengandung banyak
moral hazard sejak dari tidak ada akuntabilitas, penyimpangan penyaluran,
percaloan anggaran, dan berbagai bentuk penggunaan dana secara koruptif.
Dengan
banyaknya praktik koruptif dalam pork barrel budget, hal sama juga sangat bisa
terjadi dalam dana aspirasi. Karena itu, sepatutnya para anggota DPR,
fraksi-fraksi, dan komisi-komisi menghentikan bermacam upaya mendapatkan dana
aspirasi.
Pada saat
sama, sikap tegas Presiden Jokowi perlu mendapatkan dukungan dari KPK dan
masyarakat sipil (LSM dan ormas) agar ironi yang membuat sulit kehidupan rakyat
dan negara-bangsa Indonesia dapat dicegah. Cukup sudah beban dan ironi pahit
yang terus dihadapi rakyat hari demi hari. []
KOMPAS,
20 September 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta; Mantan Anggota Dewan Penasihat International Institute
for Democracy and Electoral Assistance, Stockholm; dan United Nations Democracy
Fund, New York
Tidak ada komentar:
Posting Komentar