NU sebagai Penentu
Langkah Kembali ke UUD 1945
Terjadi perdebatan
berbulan-bulan antara kelompok pro Islam dengan kelompok pro Pancasila sebagai
dasar negara dalam sidang Konstutuante antara tahun 1958-1959. Sebenarnya NU
telah melihat persoalan ini akan mengalami kebuntuhan. Oleh karena itu ketika
pemerintah secara tertulis mengirim surat pada ketua sidang Konstituante untuk
kembali pada Pancasila dan UUD 1945 yang disampaikan pada 19 Februari 1959,
NUtertarik dengan tawaran itu. Pada rapat NU 20 Februari 1959 dengan
menawarkan jalan tengah yaitu Pancasila Islam, bukan Pancasila ala Komunis,
yakni Pancasila dan UUD 1945 yang dijiwai Piagam Jakarta.
Tetapi susulan itu
ditolak oleh pihak nasionalis, sehingga jalan tenah itu juga buntu.Melihat
kenyataan itu maka pada 22 April Presiden mengambil langkah untuk
mengatasi kebuntuan itu dengan mendatangi sidang Konstutuante dengan
mendesak agar kembali ke UUD 1945. Dalam arti kembali menempatkan
Pancasila sebagai dasar negara seperti semula, tanpa ada amandemen sedikitpun
baik pada Mukadimah dan batang tubuh, sebagaimana yang dikehendaki kalangan
Islam yang menghendaki kembali ke UUD 1945 dengan disertai amandemen.
Sebenarnya Idham
Chalid sebagai Wakil Perdana menteri dari NU telah menyetujui langkah Kembali
ke UUD 1945 tanpa amandemen, hanya saja Fraksi Islam termasuk NU di
Konstituante memiliki dinamika lain, yaitu pada 26 Mei 1959 kelompok Fraksi
Islam mengajukan amandemen UUD 1945. Akhirnya dilakukan pemungutan suara
untuk memilih setuju atau tidak setuju, kembali pada UUD 1945 tanpa amandemen.
Pungutan suara pertama pada 30 Mei 1959 dengan suara 269 setuju dan 199
tidak setuju. Kedua, 1 Juni 1959 dengan 264 setuju dan 204 menolak.
Ketika pada 2 Juni 1959 dengan suara 263 setuju dan 203 tidak setuju. Dalam
ketiga pemungutan suara itu tidak pernah mencapai jumlah dua pertiga yang diperlukan
yaitu 312 suara. Ternyata pemungutan suara juga mengalami kebuntuan.
Melihat kenyataan
yang gawat itu Wilopo sebagai ketua Konstituante menemui Perdana Menteri
Djuanda. Dalam diskusi itu mereka melihat peluang untuk melancarkan agenda
kembali ke UUD 1945 dengan cara mendekati NU. Kalau NU setuju dengan gagasan
Bung Karno itu dan ada jaminan NU untuk mengikutinya, maka langkah ini akan
lancar dan aman. Tetapi sebaliknya kalau NU sebagai salah satu anggota Kabinet
menentang akan diikuti oleh fraksi Islam yang lain, NU di sini berperan sebagai
bandul penentu arah politik nasional. Kalau NU mendukung maka semuanaya beres
dan dua pertiga suara bisa diperoleh oleh kelompok pro kembali ke UUD 1945.
Hasil diskusi dengan
Ketua Konstituante Wilopo itu disampaiakan oleh Perdana Menteri Djuanda kepada
Bung Karno yang baru datang dari luar negeri, Bung Karno mendukung agar
pemerintah segera melobi NU, maka dalam sidang Kabinet, Perdana Menteri Djuanda
segera menemui Idham Chalid wakil perdana menteri dan ditanya soal kesediaannya
mendukung anjuran pemerintah kembali ke UUD 1945. Menjawab desakan Djuanda itu
KH Idham Chalid menganggukkan kepala, yang dianggap oleh Djuanda sebagai bentuk
persetujuan. Setelah itu Djuanda melaporkan hasil lobinya pada Wilopo dan Bung
Karno.
Wilopo kurang yakin
bila jawaban dibetrikan hanya dengan bahasa isyarat, karena ini persoalan gawat
harus jawaban lisan yang meyakinkan. Akhirnya Djuanda dan Wilopo menemui Bung
Karno, karena memandang hanya Bung Karno yang dengan kharisma dan wibawanya
mampu mempengaruhi sikap NU dan meyakinkan mereka. Hal itu terpaksa harus
dilakukan karena UUD 1945 dalam posisi sedang dipertaruhkan, akhirnya Bung
karno menuruti saran keduanya dan menemui Idham Chalid serta beberapa pimpinan
NU lainnya. Kepada Bung Karno KH. Idham Chalid mengatakan, sebenarnya pendiran
NU sudah jelas, jalan keluar yang diberikan NU telah sisampaikan dalam Sidang
Konstituante yang lalu. Bagaimana sikap dan pendirian NU tolong dijelaskan
kembali.
“Sebagaimana kami
jelaskan sebelumnya bahwa NU menghendaki ditempuh jalan tengah. Jalan tengah
bagaimana tanya Bung karno, ini persoalan mendesak soal keamana negara, coba
segera ketengahkan jalan tengah yang dirancang NU. Kami tidak menuntut
diberlakukannya syariat Islam secara formal sebagaimana tertera dalam Piagam
Jakarta, kami juga tidak ingin dasar Pancasila itu dibiarkan tanpa roh
agama. Piagam Jakarta tidak perlu diterapkana secara formal seperti
tuntutan Fraksi Islam, tetapi juga jangan sekedar dianggap sebagai dokumen
historis (yang pasif) seperti yang dikehendaki kelompok Nasionalis.”
“Lalu usul jalan
tengah NU seperti apa?” desak Bung Karno. “NU menghendaki Piagam Jakarta
menjiwai UUD 1945, sehingga walaupun dasar negara kita Pancasila tetapi
memiliki dasar keislaman yang kokoh. Kalau itu yang dilakukan tidak hanya NU
seluruh umat Islam akan menerima Pancasila dengan sepenuh hati dan siap
mempertahankan dari gangguan apa saja.”
“Bagus, bagus, ini
jalan tengah itu cerdas. Kalau itu yang diamaksud NU saya sangat setuju, dengan
demikian Piagam Jakarta tidak sia-sia kami rumuskan. Piagam Jakarta
tidak dibuang tetapi menjadi Jiwa UUD 1945. Ini berarti NU
menghargai perjuangan tim sembilan dan itu berarati menghargai jasa saya pula
sebagai salah satu perumusnya. Kalau begitu tidak ada masalah kita kembali ke
UUD 1945 dengan dukungan penuh dari NU. Terima kasih atas jalan keluar yang
diberikan oleh NU dan terimakasih atas persetujuan NU, sebab kita ini
sedang menyelamatkan negara dari keterpecahan.’
Pertemuan Bung Karno
dengan Idham Chalid itu kemudian disampikan Bung Karno kepada Wilopo dan
Djuanda, ketiganaya puas dan merasa yakin gagasan kembali ke UUD 1945 akan
berjalan lancar. Maka dengan adanya dukungan dan solusi dari NU dengan argumen
yang sangat meyakinkan itu beberapa Fraksi Islam seperti PSII, Perti termasuk
Masyumi menyetujui pemikiran NU. Mengetahui perkembangan itu Presiden
Soekarno semakin yakin dan lebih percaya diri untuk mengumumkan
Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Dengan gagasan
kembali ke UUD 1945 yang berarati kembali menempatkan Pancasila sebagai dasar
negara itu menjadi wacana umum dalam bangsa ini. Pada saat Bung Karno
menghadiri Seminar Pancasila di Universitas Gadjah Mahada Yogya karta, sehabis membuka
acara ditanya oleh para wartawan, bagaimana langkah teknis kembali ke UUD 1945
dan menempatkan Pancasila sebagai dasar negara. Dengan diplomatis Bung Karno
menjawab, urusan Pancasila dan langkah kembali ke UUD 1945 sudah bukan menjadi
urusan saya. Sedangkan sebagai pelaksanya adalah di tangan NU dan PNI, kalau
ingin tahu prosesnya tanyakan pada NU yang saat ini sedang mengatur langkah
proses penerapan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara dan konstitusi
Indonesia.
Dekrit itu diterima
oleh bangsa Indonesia, termasuk semua kelompok Islam, semuanya mengikuti
langkah NU. Walaupun ada beberapa elemen Masyumi yang menentang, tetapi saat
itu Masyumi telah sangat lemah dan kehilangan pengaruh setelah terlibat dalam
pemberontakan PRRI, sehingga keberadaannya menjadi bulan-bulanan partai kiri
terutama PKI, bahkan tidak lama setelah itu Masyumi dibubarkan karena terlibat
pemberontakan PRRI. Akhirnya kendali politik Islam dipegang oleh NU, saat itu
NU menjadi imamnya umat Islam. Dengan tidak melupakan usulan NU tentang jalan
tengah itu, maka dalam Dekrit Presiden yang diumumkan Bung Karno itu ditegaskan
bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945.
Sumber: Muhammad
Yamin, Naskah Persiapann UUD 1945 dan Biografi Wilopo 70 Tahun, serta beberapa
sumber lainnya.
(Abdul Munim DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar