Krisis Ekonomi-Politik sebagai Krisis Moral
Oleh: Yudi Latif
Indonesia adalah cermin yang pecah. Ada retakan yang lebar antara
”ode” kemajuan pembangunan dan realitas krisis kehidupan. Di sejumlah
kesempatan, pembesar negara memuji dan memuja pertumbuhan ekonomi Indonesia
sebagai salah satu yang tertinggi di dunia. Dalam kenyataan, bangsa ini
mengalami krisis fiskal yang parah. Kita rayakan kehebatan Indonesia sebagai
negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun, perkembangan demokrasi
tersebut pada kenyataannya ditandai krisis wibawa pemerintahan yang
mengenaskan. Otoritas negara tunduk di bawah kendali modal, bahkan tak segan
bersimpuh di bawah kaki para pengemplang pajak.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kehidupan ekonomi-politik sebagai
bagian integral dari sistem sosial tak bisa mengelak dari imperatif moral. Jika
imperatif moral itu tidak dipenuhi, perkembangan yang terjadi bersifat
destruktif bagi kelangsungan perekonomian dan demokrasi itu sendiri.
Seorang begawan ekonomi Amerika Serikat, Jeffrey Sachs, lewat
keahliannya dalam ekonomi klinis mendiagnosis musabab keterpurukan AS dan
menyimpulkan dalam bukunya, The Price of Civilization (2011). Menurut dia, pada
akar tunjang krisis ekonomi AS saat ini terdapat krisis moral: pudarnya
kebajikan sipil di kalangan elite politik dan ekonomi. Suatu masyarakat pasar,
hukum, dan pemilu tidaklah memadai apabila orang-orang kaya dan berkuasa gagal
bertindak dengan penuh hormat, kejujuran, dan belas kasih terhadap sisa
masyarakat lainnya dan terhadap warga dunia. ”Tanpa memulihkan etos tanggung
jawab sosial, tidak akan pernah ada pemulihan ekonomi yang berarti dan berkelanjutan,”
demikian Jeffrey menulis.
Krisis moral itu bermula ketika peran negara dilucuti hanya
sekadar ”penjaga malam”, membiarkan ekonomi dikendalikan mekanisme pasar.
Dengan menjadikan negara sebagai pelayan pasar, neoliberalisme memberi terlalu banyak
pada kebebasan individu, melupakan bahwa individualisme yang bersifat predator
juga bisa membawa sumber-sumber penindasan dan ketidakadilannya tersendiri.
Penekanan yang terlalu berlebihan pada daulat pasar menimbulkan apa yang
disebut ekonom Joseph Stiglitz ”inkompetensi dari pihak pengambil keputusan dan
merangsang ketidakjujuran dari pihak institusi finansial”.
Perilaku pasar yang tak terkendali melahirkan apa yang disebut
Robert Reich sebagai supercapitalism, yang menggambarkan perluasan kompetisi di
dunia bisnis yang merengkuh dunia politik. Persaingan bisnis mengakibatkan dana
dalam jumlah besar mengalir dari korporasi dan badan-badan keuangan guna
membiayai dan mengarahkan politik dan kebijakan publik guna kepentingan
korporasi.
Tatkala kapitalisme memperluas jejaringnya dalam rengkuhan harta,
demokrasi yang semestinya mampu mengendalikan dikte-dikte perseorangan dan
menjamin distribusi harta itu tersendat. Semakin kapitalisme menguat, semakin
ketidakadilan merebak, semakin demokrasi tergerus. Demokrasi menjadi ajang
transaksi persekongkolan jahat antara pemodal hitam dan politisi busuk.
Untuk keluar dari krisis ekonomi dan krisis otoritas tersebut,
Sachs merekomendasikan perlunya meninggalkan kecenderungan fundamentalisme
pasar dengan memulihkan kembali peran negara yang berjejak pada nilai kebajikan
sipil (civic virtues) dan jalan karakter bangsa. Seturut dengan itu, jalan
kemaslahatan Indonesia berarti jalan kembali pada nilai-nilai dasar Indonesia
dalam ekonomi dan politik, yang menekankan semangat gotong royong dalam
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Dalam terang kesadaran seperti itu, kita harus keluar dari
miskonsepsi yang sering kali melekat pada istilah ”ekonomi”. Dalam kesan umum,
”ekonomi” seolah dimaknai sebagai aktivitas bebas nilai untuk memenuhi hajat
hidup dengan segala cara. Untuk masa yang panjang, bisnis didefinisikan sebatas
usaha untuk memaksimalkan keuntungan; dengan modal/pengeluaran sekecil-kecilnya
untuk mendapatkan hasil/keuntungan yang sebesar-besarnya.
Dengan prinsip keserakahan yang hegemonik, keberlangsungan
kebanyakan perusahaan ternyata tidak bisa bertahan lebih dari 100 tahun. Pada
akhirnya, ahli dan pebisnis mulai menyadari pentingnya mempertimbangkan
kepentingan banyak orang dalam perusahaan. Definisi bisnis kemudian bergeser
menjadi usaha ”menumbuhkan dan mendistribusikan kemakmuran” (growing wealth and
distributing welfare). Semangat ini terartikulasikan secara baik dalam Pasal 33
UUD 1945: ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan”.
Dalam peribahasa Indonesia disebutkan, berat sama dipikul, ringan
sama dijinjing. Peribahasa ini menekankan pentingnya semangat kebersamaan dan
keadilan. Bahkan, dalam aktivitas perekonomian yang bertujuan untuk mengejar
keuntungan pribadi pun, dalam kenyataannya hanya bisa tercapai lewat kerja sama
dengan yang lain. Demi tumbuh bersama itu, masyarakat pasar harus tunduk pada
imperatif moral publik, yang menghendaki fairness dalam partisipasi di bidang ekonomi
dan politik, yang dapat menjamin kesinambungan perekonomian dengan pertumbuhan
yang inklusif.
Pada titik ini, kita teringat pada seruan moral politik dan moral
ekonomi yang dikumandangkan Bung Hatta. Dalam suatu pamflet berjudul ”Menuju
Indonesia Merdeka” (1932, 1998), ia menulis, ”Di atas sendi [cita-cita tolong
menolong] dapat didirikan tonggak demokrasi. Tidak lagi orang seorang atau satu
golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang,
melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman
perusahaan dan penghasilan”. Selanjutnya, ia menegaskan bahwa demokrasi politik
dan demokrasi ekonomi tidak bisa dipisahkan dan saling terkait.
”Cita-cita demokrasi kita lebih luas, tidak saja demokrasi
politik, tetapi juga demokrasi ekonomi.” []
KOMPAS, 6 September 2016
Yudi Latif | Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar