Buta di Sini, Buta di Sana (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Posisi umat yang hina ini yang telah lama dimainkan pihak lain
tidak akan berubah selama mereka tidak membuka mata lebar-lebar untuk melihat
dan mengoreksi keadaan diri secara jujur dan berani, kemudian siap bangkit
dengan penuh percaya diri. Ucapkan selamat tinggal kepada borok-borok sejarah
masa silam yang menyebabkan kita terkapar berkeping-keping seperti sekarang
ini. Bahwa untuk mengubah sikap mental yang sudah karatan selama berabad-abad memang
sangat sukar, saya setuju. Tetapi apakah ada cara lain untuk bangkit secara
sejati untuk jadi umat yang gagah dan bermartabat tinggi?
Penyair Iqbal sudah sejak abad ke-19 berupaya melalui bahasa puisi
yang tajam bagaimana menyadarkan umat agar bangkit dari kejatuhan melalui
persatuan dan persaudaraan. Puisinya memang dihafal dan dibaca, tetapi
perubahan mendasar tidak kunjung menjadi kenyataan. Puisi tinggal puisi,
kelakuan tidak juga membaik. Pakistan yang mengklaim Iqbal sebagai miliknya,
malah nyaris jagi negara gagal. Ikuti bait ini:
Sekalipun satu keluarga, kita merasa asing satu sama lain,
Ikat kembali dedaunan yang berserakan ini,
Hidupkan lagi hukum cinta!
(Lih. M. Moizuddin, The World of Iqbal. Lahore: Iqbal Academy,
1982, hlm. 34).
Tengoklah apa yang sedang berlaku di Turki, sesama golongan santri
sedang adu jotos, etnis Kurdi pun diperangi, sukar sekali menyatu. “… kita
merasa asing satu sama lain,” tegur Iqbal. Dedaunan itu tetap saja berserakan,
hukum cinta sudah kehilangan tenaga.
Kemudian layangkan pulalah pandangan pada apa yang sedang berlaku
di Suriah, Irak, Afganistan, Palestina, Nigeria, dan di belahan bumi lain.
Perpecahan akibat gesekan kesukuan telah melumpuhkan hukum cinta. Apakah kita
masih saja berhak meneriakkan slogan sebagai “umat yang terbaik yang
ditampilkan untuk manusia?” Umat terbaik tidak mungkin diobok-obok pihak lain
penaka binatang ternak. Itu belum lagi kita bicara tentang nasib TKI Indonesia
yang menyabung nyawa di negeri jiran, kemudian diusir karena surat-surat
perjalanan tidak ada. Tidak jarang yang terkapar dalam perjalanan mengais
rejeki.
Tentu ada saja titik-titik terang di ranah-ranah tertentu yang
tidak dihambat oleh sekte-sekte teologis. Gerakan Dompet Dhu’afa di Indonesia,
misalnya, adalah salah satu terobosan untuk memperbaiki kondisi umat. Begitu
juga gerakan Lazis Muhammadiyah dan MPM (Majelis Pemberdayaan Masyarakat) PP
Muhammadiyah telah melakukan sesuatu yang patut dipuji bagi kepentingan
masyarakat yang terpinggirkan. Masalahnya, karena mereka yang terpinggirkan itu
merupakan gelombang besar, maka jangkauan gerakan-gerakan sosial kemanusiaan
ini masih terbatas. Semestinya negara yang harus berbuat lebih banyak karena
semuanya itu menjadi kewajiban konstitusionalnya.
Tetapi hampir semua negara di bumi Muslim, karena asyik bermain di
panggung kekuasaan, sering benar tidak hadir membela rakyatnya yang tertindas
dan kesakitan. Gerakan musim semi Arab yang gagal itu adalah contoh dramatis
yang banyak membawa korban, sedangkan penguasa yang masih bertahan tetap saja
tidak punya kepekaan untuk melancarkan perubahan ke arah tegaknya keadilan dan
kebersamaan, karena agama penguasa itu adalah nafsu kekuasaan yang dibalut
dengan baju teologis.
Jutaan pengungsi Suriah yang lari ke berbagai belahan bumi rupanya
belum cukup kuat untuk menggugah batin elite Arab untuk mengoreksi kesalahan
politik mereka yang anti keadilan. Warisan sengketa lama politik kesukuan
mereka seperti tidak lagi mampu ditembus Islam sebagai agama yang resmi mereka
peluk. Puak sunni dan syi’ah sama-sama terlibat dalam dosa sejarah itu. Situasi
buruk ini akan tetap saja berlangsung selama mereka tidak patuh mengikuti
logika Alquran dalam surat al-Ra’d di atas.
Akhirnya, agar tidak “buta di sini dan tidak buta di sana,”
bagunan keislaman dan keimanan kita perlu dikoreksi dan dipertanyakan kembali,
apakah sudah benar dan autentik diukur dengan benang merah Alquran dan missi
kenabian! Dan sentana sisa-sisa keikhlasan dalam beragama masih terpelihara
dalam diri kita, mestinya mengapa sulit amat mengikat kembali “dedaunan yang
berserakan,” untuk meminjam ungkapan Iqbal di atas. []
REPUBLIKA, 20 September 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar