Di Tengah
Hutan Belantara Indonesia dan Dunia
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Indonesia sudah fix
segala sesuatunya. Dunia ini seluruhnya sudah hampir tidak ada persoalan. Hanya
kita saja yang masih perlu belajar hal-hal tertentu dan mempelajari hal-hal
lain. Anak cucuku dan para jm tahu bahwa di dunia di luar rumah kita seringkali
ada tulisan yang “oleh” (nama) ku tapi bukan aku yang menulis. Ada tulisan “ku”
20-30 tahun yang lalu tapi disebar seolah aku menulis kemarin sore. Ada banyak
akun-akun “ku” yang bukan aku.
Ada
banyak video hasil editan orang-orang yang berniat baik yang aku
dipertengkarkan dengan ini itu, diadu-domba soal macam-macam yang aku tak
pernah memaksudkannya untuk beradu dengan siapapun. Semua yang kuomongkan
adalah untuk anak cucu dan para jm, dengan bahasa dan konteks untuk anak cucu dan
para jm, dengan nuansa, dimensi, urgensi dan tajaman-tajaman untuk anak cucuku
dan para jm.
Tetapi
salah secara pemikiran, rendah secara rohani dan remeh secara mental, kalau
dari kedhaliman kepada kita itu hasilnya pada diri kita adalah kemarahan, dendam,
niat pembalasan, atau apapun yang mencerminkan kelemahan dan ketidakmatangan
diri. Lebih hina lagi dan salah kelola kalau karena hantaman-hantaman dan
penganiayaan kepada kita lantas mengurangi kadar kasih sayang kita semua kepada
ummat manusia. Terutama kepada mereka yang melalimi kita.
Dunia ini
kita serap ilmu, hikmah dan makrifatnya, tetapi kita tidak mempersoalkan dunia
dan tidak punya soal dengan dunia. Apalagi Indonesia, yang tidak kenal kita,
yang tidak tahu ada kita, dan anak cucuku hendaknya jangan kasih tahu bahwa ada
kita. Bukan karena kita menolak silaturahmi, tetapi karena kita tidak mampu
berbuat apa-apa kepada dan untuk Indonesia.
Kita
hidup tidak di arena peradaban manusia. Kita berada di tengah hutan belantara.
Di mana setiap orang bisa melakukan apa saja tanpa tanggung jawab. Di mana
siapa-siapa yang harus bertanggung jawab, bukan bertanggung jawab atas dasar
keharusan hidup untuk bertanggung jawab, melainkan dipilih berdasarkan
kepentingan pihak yang menuntut tanggung jawab.
Kita
beralamat di tengah hutan rimba di mana setiap makhluk boleh berteriak,
menuding, memaki dan memfitnah, tanpa terbentur oleh tembok tanggung jawab.
Hutan belantara tidak memerlukan tembok. Siapapun bisa melakukan kecurangan,
kekufuran, kedhaliman dan penggelapan, tanpa kawatir akan mendapatkan akibat
apa-apa. Sebab hutan belantara tak ada batas nilainya, tidak ada perjanjian
antar makhluk-makhluknya, tak ada tata ruang dengan aturan-aturannya. Hukum
bisa ditegakkan untuk mencelakakan. Negara bisa dibangun untuk menyamarkan
perampokan. Bahkan agama bisa dikerudungkan sebagai pakaian untuk pencurian dan
penipuan.
***
Aku
beserta anak cucuku dan para jm ini hina papa, tidak memiliki apapun yang bisa
kita berikan kepada Indonesia dan dunia. Karena Indonesia dan dunia semakin
berkembang menjadi hutan belantara.
Bahkan
kita mengaku saja bahwa karena kebelantaraan habitat yang mengurung kita, maka
kepada diri kita sendiripun kita tidak punya apa-apa untuk kita berikan. Kita
hanya penyadong kedermawanan Tuhan. Kita pengemis berderajat sangat rendah di
depan pintu gerbang Istana Tuhan. Itu pun permohonan kita belum tentu
dikabulkan, karena belum cukup persyaratan hidup kita untuk berhak mendapatkan
kemurahan dari Tuhan.
Dari
detik ke detik siang malam sepanjang tahun sejauh-jauh jatah waktu, kehidupan
kita tergantung absolut pada kasih sayang Tuhan. Jika ada sedikit kelebihan
berkah-Nya kita akan cipratkan kepada Indonesia dan sedekahkan kepada dunia,
untuk lega-lega dan GR perasaan kita sendiri, sebab Indonesia dan dunia tidak
kurang suatu apa, sehingga tidak memerlukan apapun dariku beserta anak cucuku
dan para jm.
Maka
jangan sampai aku beserta anak cucuku dan para jm menjadi masalah bagi hutan
belantara. Dan kita berjuang tanpa henti agar hutan belantara pun tidak menjadi
masalah bagi kita. Kegelapan hutan tidak membuatmu kehilangan arah, karena
engkau belajar memancarkan cahaya dari dirimu. Keliaran belantara tidak
membuatmu takut dan keder, karena keberanian tidak terletak di hutan melainkan
di dalam susunan saraf rohanimu sendiri.
Ketidakberaturan
rimba tidak membebanimu, karena kalau engkau menemukan, menyadari dan memuaikan
kebesaran dirimu, maka hutan belantara engkau genggam di tanganmu, engkau olah
di mesin pikiranmu, dan engkau jinakkan di semesta rohanimu.
Tetapi
jangan lupa, engkau hanya menempuh batas untuk mengatasi dirimu sendiri di
tengah hutan belantara. Tetapi itu tidak pasti berarti engkau sanggup mengatasi
hutan belantara itu pada skala hutan dan kebelantaraannya.
Jangankan
hutan belantara. Bahkan pun bagi Indonesia dan dunia: sudah jelas kita tidak
punya ilmu, daya dan kuasa untuk bisa mengatasi masalah-masalahnya. Maka
sekurang-kurangnya kita jaga diri agar jangan pernah menjadi masalah bagi
Indonesia dan dunia. Kita sudah sangat bersyukur bahwa Tuhan menciptakan kita,
meletakkannya di tanah Indonesia, di permukaan bumi dan di pinggiran dunia.
Jangankan
menjadi masalah, meminta apapun jangan. Kalau diberi, kita pertimbangkan
sepuluh kali putaran. Kalau ada hak-hakku beserta anak cucuku dan para jm, kita
lihat kemashlahatan dan keutamaannya untuk kita ambil atau tidak. Sekedar
menerima hak-hak yang disampaikan pun jangan lakukan tanpa perhitungan kasih
sayang. Apalagi sampai menagih hak, mengejar hak, meneriakkan hak, mendemonstrasikan
hak, mengibar-ngibarkan hak: mari anak cucuku dan para jm berlindung kepada
Tuhan dari kerendahan dan kefakiran mental semacam itu. []
Dari CN
kepada anak-cucu dan JM
28 Februari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar