Kamis, 01 September 2016

Buya Syafii: Negara Pancasila dan Kesenjangan Sosial



Negara Pancasila dan Kesenjangan Sosial
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sudah cukup banyak pihak yang meneriakkan isu kesenjangan sosial-ekonomi di Indonesia. Ironisnya, di sebuah negara Pancasila dengan cita-cita keadilannya demikian dahsyat, semakin diteriakkan, justru kesenjangan itu semakin tajam. Maka pada tanggal 28 Agustus 2016, saya pinjam otoritas ekonom Faisal Basri melalui pertanyaan berikut: 

“Bung Faisal, jika kesenjangan sosial-ekonomi semakin memburuk, apakah negeri ini punya masa depan? Pancasila tersandra di tangan para kroni tunamoral.”

Jawaban Bung Faisal adalah ini: “Buya, alhamdulillah sudah lama baca, juga para pengritik dan pendukungnya. Berpulang kepada pemimpin puncak apakah menyadari bahaya ini. Desain pembangunan yang lebih berkeadilan bisa diimplementasikan jika ada kehendak kuat. Masih ada secercah cahaya di ujung terowongan dan kita harus terus menyuarakan. Salam takzim.”

Jawaban Bung Faisal ini mengingatkan saya kepada pernyataan Prof. Peter Edelman dari Universitas George Town, Amerika Serikat, penulis buku terkenal So Rich So Poor (2012). Dalam buku ini Peter dengan sangat vokal telah menyoroti angka kemiskinan yang cukup tinggi, yaitu 103 juta rakyat Amerika adalah miskin dan mendekati kemiskinan; dan ada enam juta tidak punya penghasilan samasekali, kecuali dibantu melalui makanan yang distempel, khusus untuk si penganggur. Tetapi Peter masih optimistis akan ada perbaikan dari waktu ke waktu. Maksudnya persis sama dengan ungkapan Faisal Basri di atas: “Masih ada secercah cahaya di ujung lorong…”

Tentang fenomena kemiskinan global, pada tanggal 10 Nopember 2014, melalui Liputan6.com, terbaca berita ini: “Kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin telah menjadi ketakutan terbesar para pemimpin negara di seluruh dunia dalam 20 tahun terakhir. Bahkan kini, 85 orang terkaya memiliki jumlah uang yang setara dengan uang yang dimiliki oleh 3,5 miliar penduduk miskin di dunia.” Dilanjutkan: “…organisasi donasi internasional Oxfam mencatat orang terkaya di dunia itu termasuk Bill Gates, Carlos Slim, dan Mark Zuckerberg…Dengan jumlah harta yang sudah melimpah, setiap hari, para miliarder terus menambah kekayaannya. 

Bagaimana tidak, setiap harinya, harta para miliarder itu bertambah rata-rata US$ 668 juta per hari.” Lalu apa solusinya? Peter memberi resep: “Satu-satunya cara untuk meningkatkan pendapatan orang miskin, menstabilkan jumlah penduduk kelas menengah, dan melindungi demokrasi adalah dengan mengharuskan orang kaya membayar lebih ongkos pemerintahan di sebuah negara yang kontribusinya mengalir pada para penduduk miskin.” Dalam sistem kapitalis, saya tidak yakin saran Peter itu mau masuk ke telinga para miliarder itu yang punya uang tanpa seri itu, tidak terkecuali tentunya para taipan Indonesia.

Bagaimana dengan Indonesia? Ini berita teranyar: “Data Bank Dunia tentang konsentrasi kekayaan menunjukkan kondisi ketimpangan yang amat parah. Indonesia menduduki peringkat ketiga terparah setelah Rusia dan Thailand. Satu per sen rumah tangga Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan nasional. Semakin parah jika melihat penguasaan 10 persen terkaya yang menguasai 77 persen kekayaan nasional. Jadi 90 persen penduduk sisanya hanya menikmati tidak sampai seperempat kekayaan nasional.”

Amerika yang kapitalis berbeda dengan Indonesia, karena negara kita punya dasar filosfi Pancasila dengan segala nilai-nilai luhurnya. Tetapi, sadarkah tuan dan puan, bahwa Pancasila itu sejak proklamasi kemerdekaan tidak pernah dijadikan pedoman utama dalam strategi pembangunan nasional, kecuali dalam kata, tidak dalam perbuatan. 

Angka-angka ketimpangan di atas adalah fakta telanjang yang sangat berbahaya, jika tidak cepat disadari oleh pemerintah Jkw/JK dan oleh kita semua. Quo vadis pembangunan Indonesia? Maka, sebelum segala sesuatu berada di luar kontrol, aksi cepat amat-amat diperlukan dengan penuh kejujuran, tidak dengan sikap pura-pura, sekadar membangun citra yang memuakkan. Bagaimana Bung Faisal dengan “pemimpin puncak” kita sekarang? Atau, sebagai pengkhianat, Bung Faisal, kita benamkan saja Pancasila itu dan Pasal 33 UUD jauh ke kerak bumi, karena telah kehabisan daya untuk membawa bangsa ini meraih tujuan kemerdekaan? []

REPUBLIKA, 30 Agustus 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar