Negara Pancasila dan Kesenjangan Sosial
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sudah cukup banyak pihak yang meneriakkan isu kesenjangan
sosial-ekonomi di Indonesia. Ironisnya, di sebuah negara Pancasila dengan
cita-cita keadilannya demikian dahsyat, semakin diteriakkan, justru kesenjangan
itu semakin tajam. Maka pada tanggal 28 Agustus 2016, saya pinjam otoritas
ekonom Faisal Basri melalui pertanyaan berikut:
“Bung Faisal, jika kesenjangan sosial-ekonomi semakin memburuk,
apakah negeri ini punya masa depan? Pancasila tersandra di tangan para kroni tunamoral.”
Jawaban Bung Faisal adalah ini: “Buya, alhamdulillah sudah lama
baca, juga para pengritik dan pendukungnya. Berpulang kepada pemimpin puncak
apakah menyadari bahaya ini. Desain pembangunan yang lebih berkeadilan bisa
diimplementasikan jika ada kehendak kuat. Masih ada secercah cahaya di ujung
terowongan dan kita harus terus menyuarakan. Salam takzim.”
Jawaban Bung Faisal ini mengingatkan saya kepada pernyataan Prof.
Peter Edelman dari Universitas George Town, Amerika Serikat, penulis buku terkenal
So Rich So Poor (2012). Dalam buku ini Peter dengan sangat vokal telah
menyoroti angka kemiskinan yang cukup tinggi, yaitu 103 juta rakyat Amerika
adalah miskin dan mendekati kemiskinan; dan ada enam juta tidak punya
penghasilan samasekali, kecuali dibantu melalui makanan yang distempel, khusus
untuk si penganggur. Tetapi Peter masih optimistis akan ada perbaikan dari
waktu ke waktu. Maksudnya persis sama dengan ungkapan Faisal Basri di
atas: “Masih ada secercah cahaya di ujung lorong…”
Tentang fenomena kemiskinan global, pada tanggal 10 Nopember 2014,
melalui Liputan6.com,
terbaca berita ini: “Kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin telah menjadi
ketakutan terbesar para pemimpin negara di seluruh dunia dalam 20 tahun
terakhir. Bahkan kini, 85 orang terkaya memiliki jumlah uang yang setara dengan
uang yang dimiliki oleh 3,5 miliar penduduk miskin di dunia.” Dilanjutkan:
“…organisasi donasi internasional Oxfam mencatat orang terkaya di dunia itu
termasuk Bill Gates, Carlos Slim, dan Mark Zuckerberg…Dengan jumlah harta yang
sudah melimpah, setiap hari, para miliarder terus menambah kekayaannya.
Bagaimana tidak, setiap harinya, harta para miliarder itu
bertambah rata-rata US$ 668 juta per hari.” Lalu apa solusinya? Peter
memberi resep: “Satu-satunya cara untuk meningkatkan pendapatan orang miskin,
menstabilkan jumlah penduduk kelas menengah, dan melindungi demokrasi adalah
dengan mengharuskan orang kaya membayar lebih ongkos pemerintahan di sebuah
negara yang kontribusinya mengalir pada para penduduk miskin.” Dalam sistem
kapitalis, saya tidak yakin saran Peter itu mau masuk ke telinga para
miliarder itu yang punya uang tanpa seri itu, tidak terkecuali tentunya para
taipan Indonesia.
Bagaimana dengan Indonesia? Ini berita teranyar: “Data Bank Dunia
tentang konsentrasi kekayaan menunjukkan kondisi ketimpangan yang amat parah.
Indonesia menduduki peringkat ketiga terparah setelah Rusia dan Thailand. Satu
per sen rumah tangga Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan nasional. Semakin
parah jika melihat penguasaan 10 persen terkaya yang menguasai 77 persen
kekayaan nasional. Jadi 90 persen penduduk sisanya hanya menikmati tidak sampai
seperempat kekayaan nasional.”
Amerika yang kapitalis berbeda dengan Indonesia, karena negara
kita punya dasar filosfi Pancasila dengan segala nilai-nilai luhurnya. Tetapi,
sadarkah tuan dan puan, bahwa Pancasila itu sejak proklamasi kemerdekaan tidak
pernah dijadikan pedoman utama dalam strategi pembangunan nasional, kecuali dalam
kata, tidak dalam perbuatan.
Angka-angka ketimpangan di atas adalah fakta telanjang yang sangat
berbahaya, jika tidak cepat disadari oleh pemerintah Jkw/JK dan oleh kita
semua. Quo vadis
pembangunan Indonesia? Maka, sebelum segala sesuatu berada di luar kontrol,
aksi cepat amat-amat diperlukan dengan penuh kejujuran, tidak dengan sikap
pura-pura, sekadar membangun citra yang memuakkan. Bagaimana Bung Faisal dengan
“pemimpin puncak” kita sekarang? Atau, sebagai pengkhianat, Bung Faisal, kita
benamkan saja Pancasila itu dan Pasal 33 UUD jauh ke kerak bumi, karena telah
kehabisan daya untuk membawa bangsa ini meraih tujuan kemerdekaan? []
REPUBLIKA, 30 Agustus 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar