Empat Huruf Yang Mengatasi Demokrasi dan Tuhan
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Kekuatan besar dunia terus mempermainkan ummat manusia dengan
melemparkan hati dan pikiran mereka di sungai-sungai isu yang berganti-ganti:
Islam musuh baru sesudah komunisme, Arab Spring, Islam teroris, provokasi
terencana untuk membuat Kaum Muslimin sedunia bermusuhan, kemudian beberapa
level isu, bom pura-pura hingga tema Wandu.
Kuharap anak-cucuku dan para jm tak usah membawa pembicaraan kita
ini ke lapangan Indonesia dan dunia. Ini bisik-bisik pribadi, aku kepada anak
cucu dan para JM. Dunia dan Indonesia sangat kuat dan berkuasa. Maka kalian
kalau bisa berupaya agar jangan sampai dikuati dan dikuasai. Kalian harus kuat dan
berkuasa atas diri dan kehidupan kalian sendiri.
Kalau bisa jangan sampai terhanyut dan tenggelam oleh tipu daya
global atau nasional apapun. Maka selalu kutuliskan secara khusus dan berkala
berbagai hal untuk itu, syukur menjadi bekal untuk tidak terjajah oleh beribu
tipu daya yang membanjiri kiri kananmu. Semata-mata buat anak cucuku dan Jamaah
Maiyah.
Sebenarnya jadwalku hari ini meneruskan ‘PR’ lanjutan tulisan
terutama perang terhadap kata dan simpul-simpul masyarakat Jin. Tetapi alangkah
menderitanya hatiku hari ini!
Hidup di dunia yang diciptakan sangat indah oleh Tuhan namun
dibusukkan dan dikumuhkan oleh peradaban ummat manusia yang penuh ketidakadilan
dan keserakahan. Dan aku tersandera untuk turut meramu obat untuk
penyakit-penyakit yang seharusnya tak perlu ada. Ikut mencarikan jalan keluar
atas persoalan-persoalan yang sesungguhnya bisa tidak usah ada. Dipaksa
berkata, menyusun kalimat, menguraikan dan menjelaskan berbagai hal-hal yang
semestinya tidak perlu ada penjelasan apa-apa.
Hidup puluhan tahun di tepian jauh alam semesta dilepas oleh Tuhan
dengan tugas untuk mengembara mencari kunci demi kunci untuk membuka
pintu-pintu rahasia-Nya. Untuk meraba apa sesungguhnya yang dikehendaki
oleh-Nya. Mendengarkan bisikan-bisikan kesunyian untuk menemukan apa hakekat
kemauan-Nya, bagaimana alur skenario-Nya, apakah sudah mendekati babak final
skrip-Nya, ataukah masih jauh jauuuh di seberang cakrawala.
Tiba-tiba hari ini aku harus menuliskan sesuatu yang sangat merusak
keindahan yang sudah terbangun sangat lama di kedalaman jiwaku. Dunia dipenuhi
oleh sampah-sampah hasil kerusakan akhlak, oleh kemalasan dan kegelapan
berpikir, oleh barang-barang dan peristiwa-peristiwa hina produk dari
keserakahan manusia, serta oleh berbagai jenis kekonyolan, kesempitan dan
kedangkalan — yang awalnya terasa menggelikan, kemudian menyebalkan, dan
akhirnya memuakkan.
Mendadak aku diinstruksikan untuk menulis tentang Wandu. Betapa
sengsaranya hatiku.
***
Wandu itu banci. Banci itu kelamin syubhat. Kemudian sebenarnya
tidak ada kelamin syubhat, tapi ditakhayuli oleh api nafsu yang menyamar
sebagai hak alamiah. Lantas diambil alih oleh akulturasi budaya di mana manusia
tidak memiliki kontrol apapun untuk memahaminya dan untuk menghindari terjebak
terkurung dan diaduk-aduk oleh hakekat pembiasaan budaya itu.
Bahkan kemudian dilegitimasi oleh kekuasaan politik melalui
legalitas hukum. Dan sesungguhnya apa yang ditandatangani dan disebar-sebarkan
itu tidaklah ada kaitannya dengan politik dan hukum, melainkan berhubungan
dengan niat perapuhan atas suatu kelompok masyarakat atau bangsa. Perapuhan,
pemecah-belahan, pengkebirian intelektual dan mental. Dan pangkal hajat yang
tersembunyi di belakang itu semua adalah skenario perampokan harta,
penjambretan kekayaan bumi di wilayah yang skala dan titik-titik koordinatnya
sudah digambar di lembar kertas perencanaan penjajahan.
Akhirnya hari ini semua orang di sekitarku senegara beserta
beberapa masyarakat di beberapa negara target lainnya, disibukkan oleh empat
huruf yang heboh. Empat huruf yang dibiayai oleh persatuan bangsa-bangsa untuk
disosialisasi secara khusus sejak Desember dua tahun kemarin hingga September
tahun depan. Empat huruf yang di sejumlah negara besar di muka bumi semua orang
harus berpendapat sama tentangnya.
Empat huruf yang barangsiapa tidak menyetujuinya maka ia akan
dihina dan dihardik. Empat huruf yang lebih tinggi kekuasaan nilainya dibanding
Demokrasi dan Freedom of Speech. Empat huruf yang dibela total oleh Hak Asasi
Manusia. Empat huruf yang hakekat kehadirannya bahkan “harus dipatuhi oleh
Tuhan”…. Empat huruf yang mengubah sejarah penciptaan makhluk-makhluk dan
alam semesta. Empat huruf yang menambah lembaran catatan bahwa dulu Tuhan tidak
hanya menciptakan Adam dan Hawa, tapi juga Hawa dan Syahba, serta Adam dan
Karta.
***
Ummat manusia semakin tidak percaya dan tidak merasa perlu
meneliti batas dan jarak antara sunnatullah atau ciptaan otentik alamiah dengan
gejala budaya, interaksi kultur, fenomena akulturasi dan pergesekan pengaruh di
dalam kebudayaan kolektif manusia. Tidak bisa dan tidak mau memperhatikan dan
melihat perbedaan antara setan dari luar dengan setan dari dalam dirinya
sendiri, “alladzi yuwaswisu fi shudurinnas, minal jinnati wannas”. Tidak mampu
dan tidak bersedia menemukan pilah dan garis-urai antara ruh dengan nafsu,
antara semangat hati dengan gejolak api, antara cinta dengan kebinatangan,
antara kesucian dengan pelampiasan.
Maka ummat manusia, terutama yang terpelajar, sudah tidak
memerlukan pertimbangan mendasar tentang apa yang harus dijalankan dan apa yang
wajib tidak dijalankan. Apa yang layak dijunjung dan apa yang seharusnya
dihentikan. Apa yang bermasa depan untuk dianjurkan dan diaktivasikan secara
sosial, serta apa yang tidak bisa ditumbuhkan, tidak akan memuai menjadi pohon
dan daun-daun, serta sama sekali tidak akan pernah berbuah manfaat apapun bagi
kehidupan.
Para aktivis empat huruf itu tidak menemukan apapun di dalam
dirinya kecuali segumpal benda yang berhakekat maut, segumpal sosok semu atau
sekepulan asap khoyal yang baginya itu merupakan kekayaan tertinggi dalam
hidupnya. Ia lindungi sisa kekayaan itu dengan kotak baja hak asasi manusia.
Bahkan ia takut kehilangan gumpalan asap itu kalau beberapa saat saja ia
menoleh melihat apa sebenarnya asal-usul semua itu. Juga merasa akan kehilangan
cinta semu yang berperan sangat nyata di hati takhayulnya itu jika ia menatap
cakrawala masa depan yang jauh, tak usah masa depan dan regenerasi seluruh
ummat manusia — bahkanpun sekedar masa depan dirinya sendiri dengan
pasangannya.
***
Jika aku punya hak dan boleh memilih, takkan kutuliskan hal ini.
Maka jika aku menuliskannya, tidaklah sama sekali kumaksudkan untuk para empat
huruf, bahkan juga tidak untuk masyarakat, bangsa atau ummat manusia.
Aku menulis hanya untuk anak-anakku cucu-cucuku. Maka kubikin
tidak gamblang, tidak mudah dicerna, tidak seperti mangga yang sudah kukuliti
kuirisi dan kusuguhkan di atas meja.
Aku menyampaikan kepada anak-anak cucu-cucuku bukan buah mangga,
melainkan pelok, bijih-nya. Tidak untuk dimakan, melainkan untuk ditanam di
sawah ladang akal pikiran, untuk diperkebunkan di semesta wawasan ilmu dan
pengetahuan, untuk disirami dengan kecerdasan dan disuburkan dengan menjaga
persambungan dengan Maha Sumber Ilmu.
Ya Khuntsa.
Ya Mukhonnats.
Ya ayyuhal AlMukhnitsin.
Ya Luthy…. orang menyebut mereka Qoumu Luth, alias Luthy…. Tapi
aku tak setuju sebutan itu. Mereka bukan kaum Luth, karena Nabiyullah Luth yang
ma’shum tidaklah sama sekali mengajarkan kedangkalan, kesempitan, kesepenggalan
dan kekonyolan itu.
Bahkan Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi, yang oleh Allah disandera
dalam cinta yang berupa ujian hakiki alami berpotensi lebih besar untsa-nya
atau dzakar-nya, feminitas atau maskulinitasnya — bukanlah warga empat huruf.
[]
Dari CN kepada anak-cucu dan JM
23 Februari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar