NU,
Jihad, dan Bela Negara
Oleh: A
Helmy Faishal Zaini
Said
Ridlwan, kiai dari Pesantren Lirboyo, Kediri, menulis buku bertajuk Al-Difa'
'Anil Wathan Min Ahammil WÂjibÂti 'al Kulli WÂhidin Minn (Membela Tanah Air:
Sebagian di Antara Kewajiban Setiap Individu).
Buku itu
mengulas segala hal yang bekelindan dengan tema cinta Tanah Air. Yang menarik
adalah pernyataan bahwa kebanyakan umat Islam mutakhir salah paham terhadap
konsep jihad. Banyak dari kita yang telah membuat kesalahan pemahaman bahwa
kewajiban seorang mukmin hanya memperbaiki dan peduli terhadap aspek keagamaan
saja. "Ini adalah kekeliruan, pemahaman yang salah dan merugikan,"
tulisnya.
Terma
jihad akhir-akhir ini sedang menjadi perbincangan di kalangan akademisi,
peneliti, juga pemerhati. Keadaan demikian bisa dimaklumi seiring masih
merebaknya isu terorisme. Terorisme di Indonesia pada 2016 tak beranjak jauh
dari tahun-tahun sebelumnya. Institute for Economics and Peace, misalnya,
merilis data ranking terorisme. Hasilnya, pada penghujung 2015, Indonesia
berada di posisi ke-33 dari 162 negara.
Pada
2016, tampaknya kita tak kunjung beranjak. Baku tembak di Jalan MH Thamrin,
Jakarta, juga bom bunuh diri di Markas Polresta Surakarta setidaknya
menggambarkan bahwa terorisme masih menghantui kehidupan kita. Alasan tersebut
mendorong banyak pihak menggelorakan kembali semangat nasionalisme yang dalam
bahasa agama disebut dengan "jihad".
Rudolph
Peters dalam bukunya, Jihad in Medieval and Modern Islam, mencatat,
sesungguhnya terma jihad di Indonesia acap mengalami penyempitan makna. Hal itu
setidaknya dimulai sejak 1960, saat ketegangan kehidupan sosial politik sedang
sangat bergejolak. Kala itu jihad mengalami penyempitan makna hingga level
yang, meminjam bahasa Peters, sangat ironis: melawan orang yang anti agama.
Dari
sanalah rantai kesalahan pemaknaan jihad utamanya yang terjadi di Indonesia
merebak dan membiak sampai saat ini. Jihad yang sesungguhnya merupakan
kewajiban yang menyasar kepada setiap penduduk untuk membela negaranya
dibelokkan maknanya sebatas membela agama an sich. Dari sana kemudian timbul
istilah memerangi kafir, liyan, musyrik, dan anti agama.
Padahal,
jika kita berdisiplin merujuk pada teks-teks klasik, semisal Fathul Muin karya
Zainuddin Al-Malyabari, di sana tercatat, jihad sesungguhnya kewajiban
fakultatif yang bukan sebatas mengangkat senjata, melainkan juga menyasar aspek
pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam berbangsa-bernegara, yang minimal
terdiri atas sandang, pangan, papan, keamanan.
Negara
hadir sebagai penjamin ketersediaan dan stabilitas empat aspek itu. Dari
sanalah sesungguhnya kita bisa memaklumi mengapa membela negara dikategorikan
sebagai kewajiban. Negara yang paripurna adalah negara yang aman dan sentosa.
Dalam
doanya, Nabi Ibrahim AS secara eksplisit menyebut rabbij'al hadza baladan
aminan: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman" (QS
Al-Baqarah: 126). Dalam Surat At-Thin: 3, Tuhan bersumpah dengan menggunakan
redaksi "wa hadza baladil amin" , yang berarti dan demi negara ini
yang aman. Keamanan dan ketenteraman adalah keadaan yang selalu diajarkan oleh
Islam kepada pemeluknya.
Jihad
defensif
Secara
umum, sesungguhnya terma bela negara muradif dengan terma jihad. Muhammad
Ad-Dawoody (2016) membagi jihad jadi dua kategori. Pertama, jihad difa'i
(defensif). Kedua, jihad thalabi (ofensif). Kegiatan bela negara dalam terma
jihad di atas sesungguhnya masuk dalam kategori jihad difa'i yang bersifat
defensif. Membela negara artinya adalah membela kedaulatan segala aspek negara
yang meliputi pendidikan, kebudayaan, politik, ekonomi, dan tentu saja termasuk
kedaulatan militernya.
Jihad defensif
ini memiliki arti bahwa seluruh kegiatan bela negara ditujukan untuk
membentengi negara dari pelbagai ancaman yang merongrong kedaulatan negara.
Maka, dengan pemaknaan tersebut, tak benar jika jihad defensif hanya dimaknai
sekadar mengangkat senjata. Ia bisa dilakukan dengan cara melestarikan tradisi
baik dan juga mengembangkan pelbagai temuan baru yang dalam tradisi Nahdlatul
Ulama (NU) masyhur disebut dengan al mukhafadzatu alal qadimis shalih wal akhdu
bil jadidi ashlah (melestarikan tradisi dan mengembangkan temuan- temuan
terkini).
Adapun
jihad thalabi (ofensif) adalah jihad yang sifatnya menyerang. Ia biasanya
menempatkan pihak lain sebagai oposisi atau lawan yang harus diserang. Hal yang
demikian ini yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Jihad dalam Islam makna
dasarnya adalah untuk mempertahankan diri, bukan untuk menyerang dan meneguhkan
eksistensi.
Dalam
konteks jihad difa'i, jihad defensif atau bela negara ini bisa dipahami mengapa
kiai-kiai NU menghukuminya sebagai sebuah kewajiban. Hasil konferensi ulama
internasional di Pekalongan, 27-29 Juli 2016, yang menghadirkan tokoh sufi dari
41 negara di dunia salah satunya adalah merumuskan bahwa hukum membela negara
dan tanah air adalah wajib.
Genealogi
dan transmisi pewajiban bela negara dan tanah air sesungguhnya jika dilacak
sudah sangat jauh dilakukan oleh kiai- kiai NU. Jika kita amati, dalam setiap
doanya yang diamini jemaahnya, kiai-kiai selalu menyematkan redaksi cinta tanah
air dan semangat nasionalisme di akhir doanya: "Jadikanlah negara ini
negara yang baik dan diampuni Tuhan" (Baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafur).
Setali
tiga uang dengan hal tersebut, semangat nasionalisme dan bela negara di NU,
meminjam analisis Said Aqil Siroj (2015), tecermin dari pola penamaan pesantren
yang dipilih kiai-kiai sepuh pendahulu kita. Para kiai sepuh lebih memilih
menamakan pesantren asuhannya dengan nama desa tempat didirikannya pesantren
tersebut. Pesantren Lirboyo, Pesantren Langitan, dan Pesantren Tebuireng adalah
tiga di antara contoh pesantren yang dinamai dengan domisili pesantren
tersebut.
Ala
kullihal, narasi bela negara dan semangat nasionalisme sejak dulu sudah
dibangun oleh pendahulu-pendahulu kita. Tugas dan pekerjaan rumah besar kita
adalah mempertahankan sekaligus mengembangkan nilai dan semangat tersebut. []
KOMPAS,
30 Agustus 2016
A Helmy
Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar