Nasib
Profesor Indonesia (2)
Oleh:
Azyumardi Azra
Jika
Presiden Jokowi mengharapkan guru besar (dan juga dosen yang belum profesor)
yang mengajar di Amerika Serikat dan/atau negara-negara lain kembali ke Tanah
Air (Resonansi pekan lalu (25/8/2016), pertimbangkanlah nasib profesor dan
dosen di Tanah Air. Nasib yang boleh dibilang nelangsa, hampir bisa dipastikan
membuat patah selera mereka yang mungkin punya niat kembali ke Tanah Air.
Simaklah
kisah nyata ini. Dalam ujian disertasi doktor di sebuah PTN pekan lalu, penulis
Resonansi ini yang turut menjadi salah seorang penguji menerima periwayatan
sahih mutawatir dari beberapa profesor lain yang juga menguji.
Ini kisah
nyata tentang absensi—semua profesor dan dosen lain harus membuktikan
kehadirannya di kampus. Lazimnya dengan sidik jari (finger print) pada awal jam kerja di pagi
hari dan akhir jam kerja di sore hari.
Ternyata
finger-print tidak lagi memadai karena bisa ‘dikerjain’ melalui cara tertentu
yang penulis Resonansi ini juga tidak paham. Karena itulah pembuktian kehadiran
melalui finger-print mesti dilengkapi atau diganti dengan ‘irisan retina mata’
(eye scan/retinal screening/IRIS)
yang ‘konon’ tidak bisa dikelabui.
Sang
profesor menyampaikan riwayat. Pertama kali ketika retina matanya direkam dalam
data base kehadiran, dia tidak memakai tutup kepala. Di hari berikut, ketika
dia ingin merekam kehadiran lewat retina mata, mesin absensi ‘enggan’ mencatat
kehadirannya karena dia memakai peci hitam. Memakai peci haji sekalipun juga
ditolak.
Penggunaan
retina mata untuk identifikasi (sebagai bukti kehadiran) ini jelas bahkan lebih
ketat daripada skrining sekuriti di bandar udara. Sampai sekarang skrining di
bandara umumnya masih konvensional dengan X-Ray; satu dua bandara terutama di
AS memakai alat yang memutari sekujur tubuh (detection portal machine atau
Explosive Tracen Detection/ETD).
Skrining
dengan retina mata nampaknya juga belum lazim di markas lembaga keamanan
nasional semacam FBI atau CIA di AS atau ASIO di Australia. Identifikasi
karyawan cukup dengan ID resmi yang dikombinasikan dengan finger-print; untuk
tamu cukup dengan dua ID Card yang ada fotonya. Karena itu, penggunaan
finger-print—apalagi retina mata—untuk identifikasi kehadiran profesor dan
dosen jelas berlebihan. Sejauh ini tidak ada universitas manapun di dunia ini
yang memerlukan identifikasi finger print dan eye screening—yang degrading, merendahkan
dan humiliating, menghinakan.
Apakah
hal seperti ini bisa diterima orang Indonesia yang menjadi profesor di AS atau
negara lain? Menjadi profesor di Amerika tidak memerlukan kehadiran setiap
hari—apalagi jika mesti dibuktikan dengan finger-print
dan/atau retina mata.
Mereka
datang ke kampus hanya pada hari tertentu—dua atau tiga hari—pada jam tertentu
untuk mengajar dan menerima mahasiswa berkonsultasi di kantor masing-masing
selama satu atau dua jam.
Dengan
begitu, para profesor memiliki banyak waktu untuk membaca, menulis dan
melakukan penelitian, apakah di rumah, di kantor, atau di perpustakaan atau di
lapangan. Semua kegiatan ini dimungkinkan karena dana penelitian melimpah baik
dari universitas dan lembaga pemerintah atau swasta.
Berapa
banyak profesor dan dosen lain di Indonesia yang mempunyai kantor di kampus?
Bisa dipastikan mayoritas terbesar—antara 80 sampai 90 persen—tidak punya
kantor. Perencanaan pembangunan gedung kampus Indonesia lazim tidak
memprioritaskan penyediaan kantor profesor dan dosen lain.
Karena
itu, kebanyakan mereka menerima konsultasi mahasiswa di rumah masing-masing
atau di ruang bersama dosen atau di kelas seusai memberi kuliah. Dengan keadaan
ini, bagaimana mereka bisa membaca, menulis, dan meneliti secara kondusif.
Rumah tidak selalu kondusif; apalagi bagi profesor dan dosen lain yang hanya
mampu memiliki rumah sederhana—jika tidak ‘sangat sederhana’.
Di tengah
suasana tidak kondusif, para profesor dituntut menulis setidaknya dalam setahun
satu artikel ilmiah di jurnal internasional. Ini bukan tantangan mudah, karena
jurnal internasional umumnya berbahasa asing. Rata-rata profesor dan dosen
Indonesia lemah dalam bahasa asing.
Lagi pula
jurnal internasional yang benar-benar kredibel sangat kompetitif. Jika artikel
yang dikirimkan dinilai
blind reviewer (penilai ‘buta’) tidak mengandung hal baru, bisa
dipastikan artikel tersebut ditolak. Karenanya artikel itu harus berdasarkan
penelitian serius; bukan penelitian berdana DIPA yang jauh daripada memadai
untuk membiayai penelitian serius.
Tidak ada
empati di sini. Sebaliknya profesor yang gagal menerbitkan artikelnya di jurnal
internasional sampai akhir 2017 mendapat ‘ancaman’ dari Kemristek-Dikti bakal
dicabut tunjangan kehormatannya—besarnya dua kali gaji pokok yang sekitar Rp 5
jutaan.
Jika
keadaannya begini, masih bisakah Presiden Jokowi optimistis merepatriasi
profesor asal Indonesia di AS atau negara lain untuk kembali ke Tanah Air?
Wallahu a’lam bish-shawab. []
REPUBLIKA,
01 September 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York)
dan International IDEA (Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar