Pesantren Sebagai Jangkar Nasionalisme
Sejak awal sejarah perlawanan terhadap
kolonial dilakukan oleh kalangan umat Islam, terhitung sejak pengusiran
Portugis yang dilakukan oleh Adipati Unus terhadap penjajah portugis yang
menduduki Malaka. Sejak itu kalangan santri selalu melakukan perlawanan
terhadap penjajah, baik karena menjarah kekuasaan politik, menghisap seluruh
hasil bumi, juga menindas bangsa Nusantara.
Sementara kalangan non santri lebih bisa
bekerjasama dengan penjajah, apakah itu Portugis, Belanda, Inggris atau Jepang.
Mereka sebagai ambtenaar, sebagai serdadu bayaran, atau sebagai marsose. Bagi
mereka tidak ada untungnya melawan Belanda, apalagi mereka sangat diuntungkan,
baik secara ekonomi maupun politik dan sosial. Karena itu hampir tidak ada
perlawanan terhadap penjajah yang dilakukan kelompok mereka. Semua perlawanan
dating dari kaum santri.
Hal itu tampaknya diakui pula oleh aktivis
dan sekaligus sejarawan yakni Dr. Douwes Dekker atau Setiabudi mengatakan
bahwa; jika tidak ada agama Islam di Indonesia ini, niscaya akan lenyaplah
kebangsaan Indonesia dari kepulauan ini, karena derasnya arus faham kebaratan.
Memang kebangsan akan tetap juga ada di Indonesia, tetapi kebangsaan yang tidak
asli lagi, ketika mereka menjadi blandis atau terbaratkan.
Apalagi ada gerakan Politiek Kristening
Belanda yang berusaha menjadikan Kristen sebagai agama dominan, yang menunjang
sistem kolonial. Dengan alasan kalau Islam yang berkembang maka kolonialisme
akan terncam. Islam akan selalu menentang stelsel kolonial yang tidak adil dan
menindas.
Islam juga gigih mempertahankan identitas
kebangsaan, sehingga tidak mudah dibelandakan atau dijinakkan. Karena itu
kebangsaan Indonesia dan identitas kenusantaraan tetap ada, ketika kaum santri
menempatkan diri sebagai jangkar kebangsaan. []
(Abdul Mun’im DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar