Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
PRESIDEN Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadikan kemacetan di Jakarta dan kota lain sebagai isu untuk lari dari persoalan memalukan yang sedang dihadapi pemerintahannya, yakni penyadapan oleh Amerika Serikat (AS) dan Australia, dua negara yang kepala pemerintahannya justru sangat akrab dengan SBY. Presiden RI bahkan nyaris tidak merespons ulah dua negara sahabat itu.
Terbongkarnya aksi penyadapan oleh Badan Keamanan Nasional AS (NSA) itu menghadirkan persoalan sangat serius bagi sejumlah negara. Sebab, negara-negara yang menjadi sasaran penyadapan NSA adalah juga sekutu AS. Konsekuensi logisnya adalah rusaknya fondasi saling percaya antara AS dengan para sekutunya. Para pemimpin Eropa bahkan secara terbuka menunjukakn amarah mereka terhadap AS. Kanselir Jerman Angela Merkel sangat marah pada presiden AS Barack Obama karena telepon selulernya disadap para agen NSA.
Untuk merespon ulah NSA itu, para pemimpin Eropa langsung menggelar pertemuan tingkat tinggi pada 25 Oktober 2013. Menurut Presiden Dewan Eropa, Herman Van Rompuy, Prancis dan Jerman akan meminta penjelasan resmi dari AS tentang skandal spionase AS yang kelewatan itu. “kelanggengan hubungan kami dengan AS sedang dipertaruhkan,” kata Presiden Prancis, Francois Hollande.
Reaksi Eropa menyikapi penyadapan oleh NSA ini sengaja dikedepankan dan digarisbawahi untuk menggambarkan bahwa aksi penyadapan itu adalah persoalan besar dan serius, sehingga sekali-kali dia tidak boleh disederhanakan. Merkel, misalnya, menuntut perubahan target dan perilaku para agen NSA.
Lalu, bagaimana pemimpin Indonesia menyikapi skandal spionase yang juga melibatkan Australia ini? Praktis tidak ada sikap resmi presiden SBY. Posisi SBY terhadap kedua negara itu pun tak jelas. Padahal, berbagai kalangan sudah mendesak agar SBY segera bersikap dan memberi respons. Publik ingin tahu, apakah menurut presiden , AS dan Australia masih layak dipercaya sebagai sahabat? Rupanya, persoalannya disederhanakan sedemikian rupa, sehingga penyikapan dan respons pemerintah RI cukup ditunjukan oleh Menteri Luar Negeri, dibumbui kemarahan beberapa menteri plus surat bernada protes dari Dubes RI di Washington kepada pemerintah AS.
Alih-alih marah karena disadap Australia, presiden justru coba mengalihkan perhatian publik dari isu penyadapan tadi dengan menjadikan kemacetan di Jakarta dan kota lain sebagai isu tandingan. Lalu, karena Presiden juga menyebut nama Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi), cara publik mempersepsikan pernyataan soal kemacetan itu pun menjadi lain.
Soalnya, presiden menjadikan kemacetan sebagai isu di forum yang dihadiri para pengusaha anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, di Bogor, belum lama ini. Selain isu penyadapan, persoalan lain yang sedang mengemuka saat itu adalah tuntutan pekerja atas kenaikan Upah Minimum Regional (UMR). Sangat faktual karena tuntutan itu diwarnai oleh rangkaian unjuk rasa pekerja di sejumlah daerah. Selain itu, para praktisi bisnis juga sedang menyoroti lemahnya kinerja ekspor akibat menurunnya permintaan dari kawasan Eropa yang sedang dilanda krisis ekonomi.
Akan sangat relevan jika Presiden menyinggung masalah upah pekerja dan memotivasi para pengusaha untuk menggenjot volume ekspor. Membahas upaya mengurai kemacetan pun relevan dalam konteks infrastruktur yang ideal. Namun, manakala semua persoalannya dilimpahkan ke pundak para gubernur dan walikota, presiden terkesan tendensius.
Ketergantungan Daerah
Ada dua poin yang menjadi perhatian publik. Pertama, tentang politisasi kemacetan. Publik menilai presiden ikut-ikutan berupaya mereduksi popularitas Jokowi. Akibatnya, presiden justru menjadi sasaran kecaman publik. Kedua, sangat fatal ketika presiden mendeskripsi bahwa kemacetan di Jakarta dan kota lain menjadi sepenuhnya tanggungjawab para gubernur dan walikota. Mungkin presiden lupa bahwa jalan negara di semua provinsi itu menjadi urusan pemerintah pusat.
Pembangunan infrastruktur berupa ruas jalan baru atau jembatan yang digagas pemerintah daerah pun realiasinya bergantung penuh pada kebijakan pemerintah pusat. Apalagi untuk daerah-daerah dengan PAD (pendapatan asli daerah) yang minim. Intinya, kendati sudah dilaksanakan desentralisasi, ketergantungan banyak daerah terhadap pusat atau APBN masih sangat tinggi. Demikian tingginya ketergantungan itu sehingga banyak kepala daerah harus meninggalkan posnya, terbang ke Jakarta, sekadar untuk melobi orang-orang penting di Jakarta agar proyek digagasnya bisa disetujui pusat.
Khusus Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, mencairkan kemacetan butuh penanganan komprehensif, dalam artian mengharmonisasi rencana serta kebijakan pusat dan Pemprov DKI. Jangan lupa bahwa memaksakan dan membiarkan Jakarta sebagai kota yang multifungsi (ibukota negara, kota pemerintahan dan juga pusat bisnis lokal maupun internasional) praktis menyedot jutaan warga di wilayah penyangga (Bodetabek) masuk Jakarta setiap harinya, plus ribuan kendaraan roda empat dan roda dua. Kalau di malam hari populasi warga Jakarta mungkin masih di bawah 10 juta jiwa, di siang hingga jelang sore sudah melampaui jumlah 20 juta jiwa. Dengan penambahan ruas Jalan baru yang ala kadarnya, kemacetan pun tak terhindarkan.
Pemprov DKI sudah menggagas sejumlah rencana dan kebijakan. Contohnya tentang rencana mewujudkan mega proyek Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta yang investasinya mencapai Rp 15 trilyun. Rencana proyek ini digagas sejak 20 tahun yang lalu. Dalam prosesnya sejak tahun 2005, pembahasan proyek ini sudah melibatkan Bappenas, Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan dan Pemprov DKI serta JICA. Hampir selama 10 tahun terakhir ini, MRT Jakarta tetap berujud konsep dan tumpukan kertas kerja.
Baru pada tahun inilah Pemprov DKI mulai mengupayakan realisasi MRT Jakarta. Namun, Pemprov DKI tidak bisa jalan sendiri. Jakarta mendesak pemerintah pusat untuk juga memikul beban, karena realisasi MRT Jakarta dibiayai dengan kredit dari Jepang cq JICA.
Maka, Gubernur DKI pun harus berunding dengan Menteri Keuangan dan Menko Perekonomioan. Pemprov DKI harus berjuang keras agar beban utangnya tidak besar. Dengan beban utang yang layak, Pemprov DKI bisa mematok tariff tiket MRT yang murah dan terjangkau warga kebanyakan. Semula, Pemprov DKI diminta menanggung 58 persen utang kredit untuk membiayai MRT Jakarta, dan pemerintah pusat menanggung 42 persen. Gubernur DKI menargetkan tanggungan beban utang hanya 30 persen.
Kalau MRT Jakarta terwujud, sebagian besar sumber permasalahan kemacetan sudah teratasi. Kalau ditanya kapan MRT Jakarta bisa direalisasikan, persoalannya tidak bisa dipisahkan dari wewenang dan kemauan politik pemerintah pusat. Dengan begitu, jelas bahwa peran pemerintah pusat dalam upaya mengurai kemacetan di Jakarta bahkan cukup signifikan. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar