Napak Tilas Jejak Bung Karno dan Bung Hatta di
Rengas Dengklok, Karawang – Jawa Barat
Suatu malam yang belum begitu gelap, Firdaus
Ananta Ababiel atau biasa dipanggil Mas Abiel menghampiri ayahnya seraya
membawa buku pelajaran sekolahnya yang pada salah satu halamannya menyajikan
sebuah puisi perjuangan karya sang maestro Nusantara, Chairil Anwar.
Karawang
– Bekasi
Kami yang
kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati ?
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati ?
Kami
bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati
muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kenang, kenanglah kami
Kami
sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami
sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma
tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau
tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami
bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah
kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah
kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah
kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Ah, puisi legendaris itu, pernah juga dibaca
secara perlahan-lahan oleh sang Ayah, dulu waktu dia seusia Mas Abiel. Entah
rasa apa yang singgah di dalam benak sang Ayah ketika meresapi puisi hebat itu.
Bergejolak, berkecamuk, bergemuruh, bergelegak, ataukah hanya sepoi – sepoi
saja. Dan, apakah rasa yang sama juga hinggap di dalam benak Mas Abiel dan juga
teman – teman seusianya saat ini?
“Yah, Mas Abiel ingin berkunjung ke RUMAH
SEJARAH di Rengas Dengklok - Karawang,” pungkas Mas Abiel membuyarkan lamunan
sang Ayah. “Tolong diantar, ya, Yah…”, Mas Abiel menyambung permintaannya sebelum
sang Ayah memutuskan sikapnya.
“Lho, apa hubungannya antara puisi Chairil
Anwar dan Rengas Dengklok, mas?” sang Ayah mencoba untuk menelisik.
“Yah, bukannya Bung Karno dan Bung Hatta pernah
diculik oleh para pemuda dan dibawa ke Rengas Dengklok yang masih masuk
Karawang itu?”, jawab Mas Abeil cepat. Dan, sang Ayah pun tersenyum. “OK, Insya
Allah nanti Hari Minggu Ayah akan antar. Ajak Mas Rizal juga sekalian,” punkas Ayah
menyanggupinya.
Dan singkat cerita, Hari Minggu yang agak
mendung namun cerah itu pun segera datang. Berbekal Honda Karisma 125 cc kesayangan
dari Kota Metropolitan Cikarang, Ayah, Mas Abiel, dan Ar Rizal Ridwan Kinantaka
atau lebih suka dipanggil Mas Rizal pun bersama-sama menuju titik awal di koordinat
-6.274708,107.270929 atau titik (A).
Perempatan besar di titik koordinat (A) tersebut
seringkali disebut dengan pertigaan Tanjungpura, Kabupaten Karawang. Dia berada
hanya beberapa puluh meter setelah Sungai Citarum yang sangat besar. Sungai legendaris
yang pembatas geografis sekaligus menjadi pemisah antara Kabupaten Bekasi dan
Kabupaten Karawang.
Jalan nasional yang selalu ramai ini menjadi
salah satu urat nadi transportasi sangat penting bagi warga di dua Kabupaten yang
berbeda tersebut.
Ayah kemudian menyalakan lampu sign karisma
kesayangannya untuk berbelok kea rah kiri, menyusuri Jl. Proklamasi. Teruuuuus
menyusur dengan sangat pelan – pelan sekali. Pelannya laju karisma diisi Ayah dengan
berdendang shalawat, terkadang berdendang senandung lainnya sambil menikmati
keindahan hijaunya persawahan khas Karawang di kanan dan kiri jalan mulus itu,
yang bersejajar dengan Sungai Citarum
Laju karisma akhirnya semakin diperlahan ketika
sampai kepada titik koordinat -6.175804,107.297193 atau titik (B).
Di titik pertigaan ini, sign lampu kedip kuning
tanda berbelok ke kiri dinyalakan kembali oleh Ayah. Ketika mendekati lokasi
ini, Ayah menyarankan agar kita tidak malu untuk bertanya. Jangan segan
mematikan mesin karisma untuk berhenti dan kemudian turun emnghampiri warga di
sekitar untuk sekedar bertanya, “Nuhun, pak… apakah benar jalan ini menuju ke
RUMAH SEJARAH nya Bung Karno?”.
Maka, niscaya dengan sangat ramahnya warga
sekitar akan memberikan jawaban kepada kita. Ya, silahkan diingat – ingat bahwa
jalan berbelok ke kiri menuju lokasi yang akan dituju itu bernama Jl. Tugu Proklamasi.
Entah kenapa ruas jalan ini beridentitas hampir
sama dengan jalan utama Rengas Dengklok yang bernama Jl. Proklamasi ini. Jalan
Tugu Proklamasi yang akan kita lewati ini terlihat belum lama dibangun. Beton
semen tampak masih berusia muda, belum sampai puluhan tahun sebagaimana Jalan Utama
yang beraspal.
Monumen Tugu Proklamasi
Ya, lokasi pertama yang akan dituju oleh Ayah,
Mas Abiel, dan Mas Rizal adalah Monumen Tugu Proklamasi yang berada di
koordinat -6.157798,107.289409 atau titik (C).
Sebuah bangunan yang sangat gagah, dengan berbagai
macam bangunan beton berdominasi warna cat putih mengelilingi sebuah patung pergelangan
tangan raksasa yang terbuat dari logam. Ya, ada berapa ya… Ada sekitar tiga
pergelangan tangan yang entah dia menyimbolkan apa.
Mas Abiel dan Mas Rizal mencaba untuk
mengelilingi kompleks Monumen ini. Duduk beristirahat sambil mengambil botol
air minum mineral dalam kemasan (AMDK), kakak beradik ini berbicara santai
dengan Ayahnya tentang berbagai macam sejarah perjuangan bangsa. Mengapa Bung
Karno diculik dan dibawa ke Rengas Dengklok, mengapa tidak dibawa ke Bandung
saja atau ke Lampung, misalnya.
Perbincangan yang astik dan seru itu disudahi
setelah isi AMDK habis tanpa sisa. Lantas sang Ayah kembali menawarkan untuk
melanjutkan perjalanan kembali menuju ke koordinat -6.157049,107.288916 atau
titik (D).
Monumen Kebulatan Tekad
Di titik (D) ini, berdiri sebuah bangunan yang jauh
lebih terawat dari bangunan yang berdominasi warna cat putih sebelumnya tadi. Ketika
sampai di bangunan bernama Monumen
Kebulatan Tekad ini, Mas Abiel dan Mas Rizal kembali banyak bertanya
berbagai hal kepada sang Ayah. Dan, kembali dengan senyum, sang Ayah
menjelasakan semuanya.
Monumen Kebulatan Tekad seluas ± 1.500 meter
persegi ini tepat berdiri di Kampung Bojong Tugu, Desa Rengas Dengklok,
Kecamatan Rengas Dengklok, Kabupaten Karawang. Berdasarkan informasi dari papan
nama yang ada di lokasi, bangunan bersejarah ini masuk dalam tanggungjawab Balai
Pengelolaan Kepurbakalaan, Kesejarahan, dan Nilai Tradisional Pemerintah Daerah
Provinsi Jawa Barat.
Tidak terlalu lama Mas Abiel dan Mas Rizal
berada di lokasi ini, dikarenakan matahari sudah terlihat mulai mendekati titik
tengah langit, sementara lokasi tujuan utama belum juga tersinggahi.
Akhirnya, setelah kesepakatan bersama diambil,
karisma kembali menunaikan tugas mulianya untuk mengantar mereka bertiga munuju
persinggahan Utama: RUMAH SEJARAH.
Rumah Sejarah
Dan, sesungguhnya lokasi tujuan utama ini
berjarak tidak lebih dari 200-an meter dari Monumen Kebulatan Tekad. Dengan
sebuah tanda pintu gerbang bebentuk gapura yang menyambut menuju ke sebuah
bangunan di koordinat -6.156734,107.290115 atau titik (E) ini, kita rmulai asakan
napak tilas sejarah perjuaangan anak bangsa.
Melalui gapura ini, akan kita susuri jalan perkampungan
yang masih sangat asri. Sama sekali tidak ada bau polusi industry di sini,
sebagaimana mudah tercium di Kota Metropolitan Cikarang. Hanya bau segar
dedaunan dan tanah basah yang tercium. Tidak ada bau cerobong pabrik dan bau anyir
limbah cair.
Dari kejauhan bangunan yang dianntikan sudah
terlihat mengendap-endap. Bangunan yang dijadikan lokasi Bung Karno dan Bung
Hatta “diculik dan disembunyikan” oleh para pemuda menjelang Kemerdekaan
Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.
Tiba di depan Rumah Sejarah, semilir angin
sepoi menggerakkan hati untuk memasukinya. Ada rasa penasaran yang dibaluti
rasa mistis yang turut mendorong agar kita segera memasukinya. Tidak hanya
sekedar gerbang halaman, namun juga memasuki dan merasakan setiap jengkal
pelataran serta di dalam rumah sejarah ini.
Bagaimana ruang tamunya, kamar Bung Karno,
kamar Bung Hatta dan semua perabotannya serasa memiliki daya magis yang luar
biasa.
Walaupun penggalan napak tilas yang dilakukan
MAs Abiel dan Mas Rizal ini hanya secuil, namun sesungguhnya dari Rengas
Dengklok lah percikan percikan gaung Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945 ini sepertinya bermula.
ANANTO PRATIKNO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar