Asyuro: Membaca Kembali
Sejarah Islam
Bagi sebagian masyarakat Islam di Nusantara
bulan Muharram adalah bulan istimewa. Sebagai bulan pertama tahun hijriyah,
Muharram menjadi ruang ruang muhasabah (intropeksi diri) akan amal masa lalu
guna menjadi pedoman langkah masa depan. Muharram menjadi serambi sebuah rumah
yang berisikan sebelas bulan lainnya. Oleh karena itu Muharram dipercaya
memantulkan nuansa peribadatan seseorang dalam satu tahun ke depan. Seperti
halnya serambi yang bagus biasaya dimiliki sebuah rumah yang mewah. Begitu pula
bulan Muharram, amal yang shalih di bulan ini mencitrakan sebelas bulan
lainnya. Dengan demikian Muharram mempunyai kedudukan yang istimewa
dibandingkan bulan lainnya. Wajar saja jika umat muslim berbondong-bondong
melakukan kebaikan dan sedekah pada bulan ini.Secara historis, bulan Muharram
juga memiliki keistimewaan. Pada bulan inilah Nabi Muhammad saw. memutuskan
berpindah dari Makkah menuju Madinah demi kesuksesan dakwah Islam. Bulan ini
merupakan waktu yang berharga yang di dalamnya Rasulullah saw menemukan kunci
keberhasilan dakwah Islam yaitu hijrah. Hijrah yang berarti ‘pindah’ tidak
semata-mata mencari ruang yang sesuai untuk berdakwah, ruang yang lebih minim
bahaya, ruang yang lebih kondusif. Tidak. Karena Rasulullah saw sendiri tidak
pernah takut dengan berbagai ancaman kafir Makkah. Namun hijrah memiliki makna
lain yaitu berpindah, merubah dan me-upgrade- semangat pada tataran yang lebih
tinggi. Secara psikologis, suasana yang baru, kawan baru, tantangan baru akan
menjadikan semangat diri dan jiwa seseorang lebih dinamis. Mengenai semangat
hijrah ini Rasulullah saw sendiri dalam sebuah haditsnya pernah bersabda.
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كان هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَن كان هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
Artinya: Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah ε bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan (amal) tergantun niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
Dalam asbabul wurud diceritakan ada seorang sahabat yang melaksanakan hijrah dari Makkah ke Madinah dengan niatan mengawini seorang perempuan bernama Ummu Qais. Karena niatnya itulah maka ia tidak mendapatkan keutamaan hijrah. Bahkan proses hijrah sahabat tersebut dijuluki dengan Hijratu Ummu Qais. Ini menunjukkan bahwa niat seseorang sangatlah penting. Niat bukanlah sekedar motifasi belaka, karena di dalam niat itu Allah titipkan sebuah pahala yang secara otomatis akan me-cover segala yang kita lakukan dalam sisi-Nya. Inilah yang membedakan bulan Muharram dengan lainnya. Muharram menjadi berbeda karena di dalamnya ada kejadian yang sangat berharga bagi Agama Islam yaitu Hijrah Rasulullah saw.
Selain itu Muharram menjadi berbeda karena hari ke-sepuluh dalam bulan ini dipadati dengan nilai yang sarat dengan sejarah, yang lebih dikenal dengan hari ‘asyura’ atau hari kesepuluh pada bulan Muharram. Karena pada hari ‘asyura’ itulah (seperti yang termaktub dalam I’anatut Thalibin) Allah untuk pertama kali menciptakan dunia, dan pada hari yang sama pula Allah akan mengakhiri kehidupan di dunia (qiyamat). Pada hari ‘asyura’ pula Allah mencipta Lauh Mahfudh dan Qalam, menurunkan hujan untuk pertama kalinya, menurunkan rahmat di atas bumi. Dan pada hari ‘asyura’ itu Allah mengangkat Nabi Isa as. ke atas langit. Dan pada hari ‘asyura’ itulah Nabi Nuh as. turun dari kapal setelah berlayar karena banjir bandang. Sesampainya di daratan Nabi Nuh as. bertanya kepada pada umatnya “masihkah ada bekal pelayaran yang tersisa untuk dimakan?” kemudian mereka menjawab “masih ya Nabi” Kemudian Nabi Nuh memerintahkan untuk mengaduk sisa-sisa makanan itu menjadi adonan bubur, dan disedekahkan ke semua orang. Karena itulah kita mengenal bubur suro. Yaitu bubur yang dibikin untuk menghormati hari ‘asyuro’ yang diterjemahkan dalam bahasa kita menjadi bubur untuk selametan.
Bubur suro merupakan pengejawentahan rasa
syukur manusia atas keselamatan yang Selma ini diberikan oleh Allah swt. Namun
dibalik itu bubur suro (jawa) selain simbol dari keselamatan juga pengabadian
atas kemenangan Nabi Musa as, dan hancurnya bala Fir’aun yang terjadi pada hari
’asyuro juga. Oleh karena itu barang siapa berpuasa dihari ‘asyura’ seperti
berpuasa selama satu tahun penuh, karena puasa di hari ‘asyura’ seperti
puasanya para Nabi. Intinya hari ‘syura’ adalah hari istimewa. Banyak
keistimewaan yang diberikan oleh Allah pada hari ini diantaranya adalah pelipat
gandaan pahala bagi yang melaksanakan ibadah pada hari itu. Hari ini adalah
hari kasih sayang, dianjurkan oleh semua muslim untuk melaksanakan kebaikan,
menambah pundi-pundi pahala dengan bersilaturrahim, beribadah, dan banyak
sedekah terutama bersedekah kepada anak yatim-piatu.
Bagi kelompok syi’ah hari kesepuluh bulan
Muharram sangatlah penting. Karena pada hari inilah tepatnya tahun 61 H
Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib sang Cucu Rasulullah saw terbunuh oleh
Yazid bin Muawiyah. Pembunuhan ini lebih tepat bila disebut dengan pembantaian
karena tidak seimbangnya dua kekuatan yang saling berhadap-hadapan. Pembantaian
ini terjadi di padang Karbala ketika dalam perjalanan menuju Irak.
Tentunya berbagai kejadian sejarah tersebut
mulai dari sejarah transcendental yang berhubungan langsung proses penciptaan
hujan oleh Allah swt hingga hijrah Rasulullah saw dan terbunuhnya Husain cucu
Rasulullah saw. tidak boleh terhapus dari memori kolektif maupun individu
generasi Muslim. Kejadian-kejadian dalam sejarah ini harus selalu dipupuk dengan
subur sebagai salah satu media pendidikan kepahlawanan dalam Islam.
Berbagai metode peawatan sejarah ini terejawantahkan dalam berbagai tradisi kolaitas. Di Jawa misalnya kita mengenal bubur abang dan bubur putih yang dibagikan dan disajikan pada hari ‘asyura tidak lain untuk merawat ingatan sejarah tersebut secara perlambang. Bubur putih bermakna rasa syukur akan panjngnya umur hingga mendapatkan tahun baru kembali, semoga kehidupan tambah makmur. Seperti rasa syukunya Nabi Nuh setelah berlayar dari banjir bandang, seperti syukurnya Nabi Musa setelah mengalahkan Fir’aun. Disamping itu Bubur Putih merupakan lambing kebenaran dan kesucian hati yang selalu menang dalam catatan sejarah yang panjang. Meskipun kemenangan itu tidak selamanya identik dengan kekuasaan, seperti Sayyidina Husain sebagai kelompok putihan yang ditumpas oleh Yazid bin Muaswiyyah sang penguasa laknat.
Sedangkan Bubur Abang (bubur merah) adalah pembanding yang selalu hadir dalam kehidupan di dunia berpasang-pasangan. Ada indah ada buruk, ada kebaikan ada kejahatan. Semoga semua hal-hal buruk itu senantiasa dijauhkan oleh Allah dari kita amien. Jadi bubur suro ini yang berwarna merah dan putih merupakan representasi dari rasa syukur yang mendalam. Atas segala karunia Allah swt. Dan yang lebih penting dari itu semua, Bubur Suro merupakan wahana untuk merawat ingatan akan adanya sejarah besar dalam Islam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar