Partai Politik Kuda Lumping
Oleh: Ahmad
Dairobi/BS
Berbicara mengenai pentingnya partai politik
di masa modern ini sama halnya dengan berbicara mengenai peran militer di masa
lalu. Di masa-masa Abad Pertengahan, kegiatan militer merupakan cara yang
paling banyak ditempuh untuk mendapatkan dan menjaga kekuasaan.
Saat ini, peran aksi militer dalam perebutan
kekuasaan sudah jauh berkurang, bahkan nyaris tidak pernah terjadi. Kekuasaan
hampir selalu didapat melalui cara-cara demokratis, melalui pilihan rakyat,
melalui partai politik. Oleh karena itu, jika seseorang bermaksud mewujudkan
gagasannya melalui perangkat kekuasaan, maka sudah seharusnya dia berkecimpung
di politik, tentunya melalui partai politik. Kalaupun tidak berkecimpung secara
penuh, minimal dia harus bersentuhan. Tidak boleh tidak.
Menafikan partai politik dalam kondisi
seperti saat ini, sama halnya dengan menafikan perjuangan melalui medan
kekuasaan. Padahal, kekuasaan merupakan tunggangan yang paling cepat dan taktis
untuk membangun sebuah tujuan secara massif, termasuk tujuan-tujuan yang
berkaitan dengan ajaran agama.
Dakwah dan perjuangan yang dilancarkan
melalui jalur struktural-kekuasaan, ibarat menunggang kuda. Memang cukup sulit
untuk bisa menguasai tunggangan itu dengan baik, namun jika sudah berhasil
dikuasai maka akan mempermudah dan mempercepat dia sampai ke tujuan. Menguasai
politik sebagai tunggangan dakwah memang sangatlah sulit. Namun, jika sudah
benar-benar kena, maka kekuasaan politik akan sangat mempermudah jalan dakwah.
Jadi, pada tataran ideal, di tengah-tengah
negara yang menganut sistem demokrasi, partai politik memiliki peran yang
sangat signifikan bagi kemaslahatan masyarakat dan umat. Sebab, partai politik
merupakan tunggangan yang paling mungkin dan paling realistis untuk bisa
membuka akses menuju kekuasaan, jabatan publik, otoritas legislatif, penetapan
anggaran, dan lain sebagainya. Sudah sangat maklum, bahwa ranah-ranah tersebut
sangatlah menentukan nasib jutaan rakyat yang berada di sebuah negara.
Itu pada tataran idealnya. Akan tetapi,
realitas partai politik, terutama yang terjadi di Indonesia saat ini, masih
sangat jauh panggang dari api. Sejak era reformasi bergulir, sepertinya partai
politik justru lebih banyak melahirkan petaka sosial-politik di masyarakat,
ketimbang memperjuangkan aspirasi mereka. Partai politik, setidaknya, telah
membawa masyarakat semakin terbiasa terlibat ke dalam intrik-intrik politik
yang kurang baik. Para kader dan para calon yang diusung partai seringkali
mempertontonkan langkah-langkah politis jalan pintas yang benar-benar tidak
mendidik.
Partai politik juga telah banyak memanfaatkan
karisma yang dimiliki oleh para tokoh kultural untuk memperoleh dukungan.
Terjunnya tokoh-tokoh karismatik ke dalam politik praktis, lambat laun
menyebabkan pudarnya aura panutan pada diri mereka.
Dapat dirasakan dengan mudah, bahwa persepsi
masyarakat mengenai partai politik sudah jauh berbeda dibanding zaman Orde Baru
dahulu. Kala itu, kaum pesantren misalnya, masih memiliki kepercayaan kuat
bahwa partai yang mereka pilih di waktu itu (PPP) merupakan gerbong perjuangan
dan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan. Sehingga, keterlibatan tokoh-tokoh
masyarakat dalam politik praktis tidak mengurangi karisma mereka di mata umat.
Justru, umat menganggap urusan partai sebagai bagian dari perjuangan.
Beberapa tahun setelah era reformasi bergulir,
persepsi simpatik itu bergeser jauh. Lambat laun masyarakat mulai merasakan
bahwa partai politik lebih berperan sebagai gerbong kekuasaan dan kepentingan,
daripada gerbong perjuangan. Kepercayaan masyarakat terhadap partai politik
sangat rendah. Hal itu terbukti dengan beberapa hasil survei belakangan ini,
bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
sebagai produk dan representasi utama partai politik, sangatlah rendah.
Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat ini
diakibatkan oleh perilaku politik yang mengecewakan dan banyak terjadinya
penyelewengan kekuasaan, termasuk oleh tokoh-tokoh kultural yang kebetulan
terpilih untuk duduk di kursi-kursi elite politik.
Sementara ini, memang belum terlihat
perbedaan yang hitam-putih antara perilaku elite politik dari partai yang
mengaku ‘religius’ dengan partai-partai lain yang tidak mengusung platform
keagamaan sama sekali. Sebab, meskipun mengaku memiliki platform berbeda-beda,
tapi pada dasarnya tujuan partai politik adalah sama, yaitu sama-sama merupakan
mesin untuk mendapatkan kekuasaan.
Sudah menjadi kecenderungan manusia secara
umum, bahwa orang yang dekat dengan kekuasaan, akan semakin besar peluangnya
untuk bermental korup. Sebab, politik seringkali menjadi medan abu-abu yang
memaksa elite-elitenya untuk banyak berkompromi dengan berbagai realitas
politik dan kepentingan, lalu pada saat bersamaan ia harus melepas idealisme
yang dipegang dengan kuat sebelum itu.
Oleh karena partai politik sangat rentan
diselewengkan untuk kepentingan segelintir elitenya, maka masyarakat mesti
berpartai dengan cara yang cerdas dan kritis. Partai politik tidak boleh
diletakkan sebagai kiblat yang final, kecuali dalam kondisi tertentu yang
sangat mendesak, seperti halnya yang terjadi di zaman Orde Lama, di mana Partai
Komunis Indonesia (PKI) menjadi ancaman serius bagi agama dan negara.
Partai politik harus diletakkan sebagai
sarana untuk membawa aspirasi. Jika langkah dan kebijakan para elite partai
tersebut sudah tidak sesuai dengan tujuan konstituen, maka sudah semestinya
mereka berbondong-bondong hengkang dari sana. Memilih partai yang salah sama
halnya dengan memaksa negara untuk melakukan kesalahan dalam skala yang luas.
Dalam hal ini, tokoh-tokoh karismatik
merupakan orang yang paling bertanggungjawab terhadap sikap politik masyarakat
yang dipimpinnya. Kalangan awam tidak tahu menahu mengenai apa dan bagaimana
politik. Pilihan masyarakat awam, pada umumnya, sangat ditentukan oleh sikap
tokoh-tokoh yang menjadi panutan mereka.
Oleh karena itu, tokoh-tokoh panutan memiliki
kewajiban moral untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat agar menjauhi
sikap fanatisme buta terhadap partai politik. Dalam kondisi perpolitikan yang
serba abu-abu seperti saat ini, fanatisme terhadap partai hanyalah bentuk
‘kekanak-kanakan’ yang amat menggelikan. Apalagi, jika sampai menyebabkan
terjadinya tindakan-tindakan anarkis yang dipicu oleh perbedaan gambar semata.
Masyarakat harus benar-benar diberi
pemahaman, bahwa partai politik yang ada saat ini, bukan lagi tunggangan kuda
bagi sebuah perjuangan. Partai politik seringkali hanyalah seekor kuda lumping
yang menjadi mainan orang-orang di atas, lalu tidak jarang membuat kesurupan
orang-orang di bawah. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar