Pengaturan Waktu Shalat dalam
Event Sepak Bola
Oleh: Riza Nur Fikri
Sudah jamak diketahui, bahwa masyarakat
Indonesia merupakan “penggila” sepak bola. Hal itu terbukti dengan tingginya
animo suporter dari Sabang sampai Merauke ketika mendukung klub kesayangannya
bertanding di Liga Indonesia. Hampir di setiap pertandingan stadion penuh sesak
ribuan bahkan puluhan ribu jiwa dengan segala atribut kreatifitasnya.
Puncaknya, ketika Timnas Indonesia bertanding
di level Internasional yang dianggap mampu mengangkat martabat bangsa Indonesia
di mata dunia. Dengan rasa nasionalisme yang tinggi, para suporter dari
berbagai daerah rela antri berjam-jam untuk memperoleh tiket demi menjadi saksi
perjuangan punggawa Timnas Merah Putih.
Akan tetapi, yang tak luput dari kaca mata
dunia, bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di
dunia. Sebagai seorang Muslim, kewajiban shalat 5 waktu tentu tak boleh
dilewatkan begitu saja. Para suporter sepak bola Indonesia yang mayoritas
Muslim tidak boleh meninggalkan kewajiban ini. Mungkin bagi mereka yang
menyaksikan lewat siaran televisi dapat mengatur waktu lebih mudah antara
menunaikan shalat dengan menyaksikan pertandingan. Akan tetapi, bagi mereka
yang menyaksikan langsung di stadion justru menjadi masalah pelik. Lama waktu
mengantre tiket, berjubelnya suporter dan minimnya fasilitas musholla seolah
menjadi alasan mereka untuk “pasrah”. Akhirnya, mereka meninggalkan kewajiban
shalat begitu saja.
Lantas, siapa yang “paling” bertanggungjawab
terhadap masalah ini ? Dalam Islam, Nabi Muhammad telah bersabda: “kullukum rầ’in
wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyatihi”. Jika ditempatkan dalam konteks
persepakbolaan Indonesia, pemimpin dalam hal ini adalah pengurus PSSI. Sebagai
penyelenggara Liga Indonesia dan pertandingan internasional, seharusnya mereka
mengerti dan memahami bahwa mayoritas suporter adalah Muslim.
Apalagi Ketua dan mayoritas pengurus PSSI
juga Muslim. Tidak selayaknya mereka sibuk dengan masalah internal yang
ujung-ujungnya berebut kekuasaan. Tidak selayaknya pula hanya melakukan
komersialisasi demi meraih kuntungan yang sebesar-besarnya, hingga melupakan
masalah yang urgent, hak dan kewajiban suporter sebagai umat Islam. PSSI harus
mengayomi mereka dengan melakukan beberapa hal.
Pertama, mengatur waktu penyelenggaraan
pertandingan. PSSI hendaknya menentukan waktu-waktu pertandingan yang tidak
mepet dengan batas waktu shalat. Shalat yang paling “rawan” hilang adalah
shalat Dzuhur (disebabkan membeli tiket untuk pertandingan sore), shalat Ashar
dan Magrib (disebabkan membeli tiket untuk pertandingan malam). Waktu yang paling
pas menurut bagi pertandingan sepak bola Indonesia adalah ba’da shalat Ashar
dan ba’da shalat Isya’. Alasannya, jarak kedua waktu shalat ini dengan shalat
sesudahnya cukup panjang. Dari Ashar ke Magrib sekitar tiga jam, sedangkan dari
Isya’ ke Subuh malah lebih panjang lagi. Akan tetapi, hal ini harus didukung
dengan penjualan tiket yang professional.
Kedua, memperbaiki manajemen penjualan tiket.
Apabila penjualan tiket masih saja seperti saat ini dengan cara mengantre
berjam-jam di hari H, tentu akan membuang banyak waktu hingga shalatnya
“bablas”. Karena itu, system penjualan tiket secara online hendaknya semakin
diutamakan dengan waktu pengambilan tiket beberapa hari sebelum hari H. Minimal
menjual tiket lebih pagi. Dengan itu para suporter bisa datang ke stadion
beberapa menit sebelum kick off dimulai, tanpa kehilangan shalatnya.
Ketiga, penyediaan fasilitas shalat di dekat
stadion. PSSI bisa berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat untuk
membangun masjid di dekat stadion yang sanggup menampung ratusan hingga ribuan
jamaah. Hal ini penting agar penonton tidak terlalu jauh dan membuang-buang
waktu mencari tempat untuk menunaikan shalat. Selain itu, masjid yang dekat
dengan stadion juga mempengaruhi mood para suporter terhadap kewajibannya agar
tidak dilupakan begitu saja.
Keempat, sosialisasi dalam internal PSSI
maupun dengan elemen-elemen masyarakat. Berawal dari Pengurus Besar PSSI
disalurkan kepada Pengprov PSSI, Pengcab PSSI hingga ke akar rumput perkumpulan
suporter, dan akhirnya sampai ke sanubari pribadi suporter. Selain itu, perlu
juga berkoordinasi dengan elemen-elemen masyarakat, di antaranya dengan ulama’
atau kyai. Pengurus PSSI bisa terjun dalam pengajian-pengajian bersama ulama’
membahas pentingnya shalat bagi umat Islam mekipun dalam keadaan hendak
menyaksikan pertandingan sepak bola, sehingga shalatnya tidak terlewatkan.
Terakhir, petinggi dan pengurus PSSI (banyak
yang telah Haji) mestinya memahami arti pentingnya shalat. Tentunya mereka
menginginkan terwujudnya ketertiban dan sportifitas pada persepakbolaan
Indonesia, baik di dalam maupun di luar lapangan. Hal itu dapat terwujud
setelah elemen-elemen persepakbolaan Indonesia melaksanakan shalat. Setelah
shalat, hati dan fikiran mereka akan terasa “adem ayem”, tenang, damai, dan
terhapuslah rasa dengki yang dapat menciptakan anarkisme. Hal itu sesuai dengan
sabda Rasulullah SAW: “Ashsholatu tanha ‘an al-fakhsya’i wa al-munkar” (Shalat
itu mencegah perbuatan keji dan munkar).
Mengingat masih sedikitnya yang membahas
masalah ini, semoga saran dalam tulisan ini diperhatikan dan ditindak lanjuti
demi keseimbangan dunia dan akhirat kita sebagai umat Islam. Boleh kita
menyaksikan pertandingan sepak bola, namun jangan sampai meninggalkan shalat.
Hendaknya masalah pelaksanaan shalat ini menjadi tanggungjawab bersama antara
PSSI, Suporter, dan elemen-elemen masyarakat.
Di dalam momentum peringatan tahun baru
Hijriyah ini, dan sebelum dimulainya kompetisi musim depan, saatnya PSSI mulai
berpikir dan berhijrah ke arah yang lebih baik dengan mengatur jadwal
pertandingan sepak bola supaya tidak bentrok dengan waktu shalat. Semoga
persepakbolaan Indonesia semakin berprestasi dan didukung oleh suporter yang
mempunyai akhlak mulia, sebagai akibat dari pelaksanaan shalat. Amin.
Riza Nur Fikri
Alumni Pesantren Tebuireng Jombang dan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar