Gelar Tuanku bagi Alumni Pesantren
Berbeda dengan pesantren di Nusantara pada
umumnya, pesantren atau surau yang ada di Padang Pariaman memberikan gelar
Tuanku bagi para santri yang telah menyelesaikan pendidikan di pesantren. Tidak
diketahui secara pasti kapan tradisi itu bermula, tetapi saat ini sudah
dipahami masyarakat di Padang Pariaman bahwa tuanku merupakan gelar akademik
pesantren salafiah di Padang Pariaman dan daerah lainnya.
Tradisi ini tetap berkembang di pariaman,
karena sejak awal, karena di pesantren padang pariaman, terutama di sekitar
masjid Syeh Burhanuddin dijaga oleh para pendekar yang sangat sakti dan berani
sehingga sejak awal pasukan Paderi yang Wahabi itu tidak berani mengusik
keberadaan pesantren dan makam keramat itu.
Sebagai gelar akademik pesantren, maka gelar
itu tidak diberikan kepada sembarang orang. Namun harus diberikan kepada orang
yang sudah menempuh pendidikan agama yang telah menguasai kitab-kitab kuning
(kitab klasik) karangan ulama Timur Tengah. Pemberian gelar itu disamping harus
memenuhi bebrapa syarat, juga dilaksanakan dalam prosesi yang menyatu dengan
adat. Gelar tuanku diberikan oleh syekh, kiai atau guru, kemudian mendapat
legitimasi atau pengakuan secara de jure dari adat melalui mamak, sekalipun
restu atau legitimasi dari mamak adat tidak mutlak.
Dengan demikian seorang tuanku adalah orang
yang menguasai agama secara mendalam dan sekaligus mengetahui adat. Kemampuan
itu disebut dengan, memahami rukun tigo baleh surau dan rukun tiga baleh
kampung (ketek banamo, gadang bagala). Bahkan menurut seorang tokoh adat Minang
H Muhammad Letter Tuanku Bagindo, bahwa gelar tuanku merupakan persenyawaan
atau titisan dari filosofi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Dengan kapasitas semacam itu seeorang tuanku telah siap menjadi ulama dan
sekaligus ketua adat. Denagan demikian tradisi pesantren itulah yang akan bisa
menyelelamatkan budaya Minang.
Persyaratan akademis yang harus dimiliki
seorang santri untuk mendapatkan gelar tuanku adalah, pertama; santri yang
sudah belajar sekitar tujuh tahun dan menguasai ilmu keislaman seperti tafsir,
hadits, fiqih, nahwu, sharaf, sudah boleh mendapatkan gelar tuanku. Kedua,
pernah menjadi gurutuo (pengajar). Sebagaimana tradisi di pesantren, santri
yang sudah kelas IV kelas V, kelas I, II dan III. Ini sebagai bukti bahwa
mereka benar-bebanr menguasasi ilmu agam dan mampu mengajarkannya. Selain itu
mereka memiliki rasa pengabdian pada pesantren dan masyarakat.
Pemberian gelar tuanku merupakan bentuk
penghormatan pada seorang santri, bukan berarti santri harus berhenti belajar.
Meskipun mereka telah mendapatkan gelar tuanku, tetapi kalau masih berniat
meneruskan belajar ilmu tertentu di pesantren tertentu, tidak ada halangan bagi
mererka belajar dan mengajar di pondok pesantren.
Prosesi adat yang dilakukan dalam pemberian
gelar tuanku adalah pertama; menyembelih seekor kambing. Kedua, menyediakan
juadah (sejenis makan yang dibuat khusus pesta perkawinan di Padang Pariaman).
Ketiga, memberi sedekah kepada guru (pimpinan pondok pesantren), saat ini
besarnya minimal Rp 100.000. Sedekah ini merupakan salah satu bentuk simbol
menghormati guru. Selain itu, ada juga pimpinan pondok pesantren meminta kepada
santri yang diberi gelar tuanku menyumbangkan satu kodi kain sarung. Kain
sarung tersebut diserahkan kepada pimpinan pondok pesantren, kemudian pimpinan
pondok Pesantren memberikan kepada ulama atau undangan yang dianggap perlu.
Pemberian gelar tuanku ini bersifat suka
rela, ada santri yang mamu tetapi bila santri tidak berminat diberi gelar juga
tidak masalah. Pimpinan pesantren hanya memberikan gelar tuanku. Kemudian
komunitas ada memberikan tambahan gelar tuanku dibelakang namanya adalah
pemberian ninik mamak dari santri sendiri. Biasanya ketika dilakukan pemeberian
gelar pihak ninik mamak dari santri tersebut hadir dan bermusyawarah apa nama
gelar yang disepakati.
Nama tambahan tuanku bisa diambil dari gelar
ayah, atau warna kulit. Seperti tuanku Bagindo, jika ayahnya bergelar bagindo.
Tuanku Sidi kalau ayahnya bergelar Sidi, dan seterusnya. Gelar yang diambil
dari warna kulit seperti Tanku Kuniang, yang memiliki warna kulit kuning.
Santri yang sudah mendapatkan gelar tuanku,
tidak diperkenankan mendapatkan gelar Datuak (penghulu) dari kaumnya. Karena
fungsi tuanku jauh lebih besar ketimbang fungsi penghulu yang hanya sebatas
kaum dari santri tersebut. Sedangkan fungsi tuanku adalah fungsi ulama, yang
menjadi panutan dari umat. Fungsi dan pengaruhnya melampui batas kaum. Kalaupun
ada seorang tuanku yang terpaksa diangkat jadi penguhulu, biasanya gelar
datuknya jarak digunakan dibanding gelar tuanku yang diperolehnya.
Beberapa kewajibaan dan pantangan santri yang
sudah diberi gelar tuanku ada lima hal yang selalu harus diperhatikan, yaitu;
pertama, manjaweh upah (meminta upah), sebagai buruh kasar misalnya menjadi kuli.
Kedua, minum di pondok layang-layang, hal itu dimaksudkan untuk menjaga
kehormatan gelar tuanku itu. Ketiga, harus menutup aurat, terutama jika keluar
dari rumah dan masuk rumah orang. Keempat, kemanapun pergi harus selalu memakai
kopiah jika ke luar rumah. Kelima, tidak boleh duduk di tempat maksiat.
Tradisi pemberian gelar tuanku ini terus
berkembang seiring dengan laju pertumbuhan pesantren salaf di sana, yang
mengajarkan kitab klasik sebagaimana pesantren salaf di Jawa. Dengan adanya
tradisi pesantren itu tradisi Minang versi adat tetap lestari. Bahkan kan saat
ini terekat yang berkembang di sana telah terintegrasi dengat tarekat
An-Nahdliyah, sehingga pesantren Ulakan menjadi basis pengembangan NU di
Kawasan Sumatera Barat. (mdz)
Disadur dari buku "Tuanku
Menggugat" karya Bagindo Armaido Tanjung, Pustaka Artaz, Padang: 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar