Fikih Lingkungan dan
Bencana Alam
Kita patut prihatin dengan rentetan bencana
alam yang menimpa saudara-saudar kita di beberapa kawasan di tanah air
baru-baru ini. Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) mencatat, selama 31
hari pada Januari telah terjadi 119 bencana yang mengakibatkan 126 orang
meninggal, 113.747 orang menderita dan mengungsi, serta belasan ribu rumah
rusak.
Menyikapinya, tidak salah jika kita menyebut
sebagai bagian dari takdir Ilahi. Akan tetapi, apakah takdir tersebut lepas
dari sebab? Secara eksplisit, al-Qur’an menyatakan bahwa egala jenis kerusakan
yang terjadi di permukaan bumi ini merupakan akibat dari ulah tangan yang
dilakukan oleh manusia dalam berinteraksi terhadap lingkungan hidupnya. Allah
SWT berfirman:
وَلاَتُفْسِدُوا فِى
اْلأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ
اللهِ قَرِيْبٌ مِنَ اْلمُحْسِنِيْنَ
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat
kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. al-A’raf [07]:56).
Dalam firman yang lain, Allah SWT menegaskan:
وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ
لَاتُفْسِدُوْا فِى اْلأَرْضِ قَالُوْا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ, أَلَا
إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُوْنَ وَلَكِنْ لَايَشْعُرُوْنَ
Artinya: “Jika dikatakan pada mereka, jangan kalian mebuat kerusakan
di bumi, mereka mengatakan: kami hanya memperbaikinya. Ingat! Sesungguhnya
mereka adalah perusak, hanya saja mereka tidak merasa.” (Q.S.
al-Baqarah [2]: 11).
Dalam banyak tafsir, perusakan manusia
dimaksud dalam dua ayat berkaitan dengan keyakinan dan perbuatan lalilm,
seperti perbuata kufur, maksiat, munafik, dan perbuatan dosa lainnya. Akan
tetapi, di sisi yang lain Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H.), salah satu ulama
Mazhab Syafi’i kenamaan, memiliki pandangan berbeda khususnya berkaitan dengan
tatanan alam dan manusia. Tentang dua ayat ini, beliau menyinggungnya dalam
kitab al-Fatawa
al-Haditsiyah, alah satu kitab kumpulan fatwa Ibnu Hajar.
Dalam ulasannya, Ibnu Hajar menyatakan bahwa
ayat di atas merupakan tanshish (dalil) atas ketegasan larangan Allah
SWT terhadap segala bentuk perusakan di muka bumi. Pamakaian kata ‘al-ardh’
yang berarti bumi atau alam, mengindikasikan adanya keumuman kata sehingga
mencakup seluruh alam. Apalagi, kata ardh bergandengan dengan ‘al’ yang
menurut kalangan para pakar ilmu metodologi fikih (Ushuliyah) menunjukkan
keumuman sebuah kata.
Dari itu, meskipun ayat ini tujuan utamanya
adalah masyarakat Madinah di mana ayat ini di turunkan, tetapi pelarangannya
bersifat universal, mencakup seluruh masyarakat dunia. Sebab, akibat yang
dimunculkan dari perusakan alam akan lebih parah (aqbah) dibandin perusakan itu
sendiri,dan itu tidak hanya pada Madinah tapi juga pada belahan dunia lainnya.
Dalam hal ini, Ibnu Hajar juga mangatakan, di
antara tujuan penting dari ayat ini adalah sebagai puncak peringatan keras
sekaligus menakuti manusia (ghayatut-taqri’ wat-takhwif) bahwa perusakan
yang dilakukan akan berakibat pada kematian penduduk bumi, terutama manusia
sendiri. Sebab, kerusakan pada bumi mendatangkan kehancuran dan kemusnahan
penduduka bumi. Sepertinya, kata Ibnu Hajar, telah dikatakan kepada manusia
sebuah peringatan: “Jangan kalian menjadi sebab dari kerusakan diri kalian dari
dengan cara membuat kerusakan lingkungan di sekitar kalian.”
Tujuan penting lain dari ayat ini adalah
untuk mengingatkan manusia (tadzkir) terhaap asal penciptaan mereka (mabda’)
setelah meninggal. Sepertinya, kata Ibnu Hajar pula, dikatakan pada manusia: “Jangan kalian
membuat kerusakan pada asal kejuadian kalian, tempat kalian diciptakan, dan
kalian akan kembali padanya. Lumpur dan bumi adalah asal kejadian kalian. Dari
bumi kalian diciptakan dan ke bumi kalian dikmbalikan. Bagaimana mungkin kelian
membuat kerusakan di bumi?”
Demikian jelasnya Allah SWT melarang manusia
berbuat nista pada ekosistem alam, karena dapat mengancam kehidupan manusia
sendiri. Dalam bahasa fikih, larangan paling tidak berhukum makruh atau bahkan
bisa haram. Pada sisi yang lain, kita juga dilarang untuk membahayakan diri dan
orang lain. kenyataannya dampak dari kerusakan lingkungan dapat mendatangkan
bencana dan banyak memakan korban secara umum.
Dalam analisa beberapa pakar, bencana alam
seperti banjir dan longsor tidak datang secara tiba-tiba. Ia adalah akumulasi
dari tindakan yang selama ini dilakukan oleh banyak manusia. Pori-pori bumi
yang ditutupi sehingga air hujan tidak bisa terserap dan tindakan membuang
sampah sembarangan adalah di antara hal yang mendatangkan banjir. Semantara
penebangan pohon yang terkontrol selain menyebabkan banjir juga menimbulkan
longsor.
Walhasil, kita memerlukan
rumusan fikih yang jelas berkaitan dengan perusakan alam. Sebab, dalam komentar
Ibnu Hajar di atas juga tidak secara eksplisit menyatakan hukum haram. Namun
demikian, kita tetap berusaha untuk mengekang diri agar tidak berbuat sesuatu
yang dapat merugikan lingkungan sekitar kita. Mudahnya, jika kita ingin
memotong sebuah pohon maka kita tanam bibit baru sebagai gantinya. Dengan
demikian, berarti kita mencari jalan menuju takdir Allah SWT pula, yaitu selamat
dari bencana.
Kadang kita salah kaprah dengan mengingat
takdir manakala ada kejadian yang tidak menyenangkan. Keberadaan bencana kita
sebut sebagai takdir, sementara di sisi lain, selamat dari bencana jarang kita
sebut sudah takdir, padahal keduanya sama-sama takdir Allah SWT. Bisa jadi
keduanya adalah takdir mu’allaq yang masih bisa diusakan dan juga bisa
dihindari, karena ia juga bisa dihindari, karena ia juga akibat dari tindakan
kita selama ini.Wallahu a’lam. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar