Debaran-Debaran Jantung di
Sekitar Inalum
Senin, 04 November 2013
Ada dua debaran jantung pada
hari-hari menjelang tanggal 31 Oktober 2013. Pertama ketika sidang Komisi XI
DPR tidak kuorum pada 24 Oktober. Akibatnya, hari itu tidak bisa diambil
putusan untuk menyetujui pelaksanaan pengambilalihan PT Inalum yang tinggal
tujuh hari lagi. Padahal, DPR sudah mau reses.
Untungnya,
pada 30 Oktober 2013 sidang diadakan lagi dan putusan pun diambil: DPR setuju.
Besoknya adalah hari terakhir kepemilikan Jepang di Inalum. Besoknya DPR
memasuki masa reses.
Debaran
jantung kedua adalah perubahan sikap pihak Jepang. Tanggal 30 Oktober itu
tiba-tiba ada surat masuk yang isinya mengejutkan: penyerahan PT Inalum tidak
jadi berdasar penyerahan saham, tapi penyerahan aset.
Bagi kita
sebenarnya sama saja. Inalum punya dua aset yang utama: pembangkit listrik
Sigura-gura (Asahan II) di hulu Sungai Asahan dan pabrik aluminium di hilir
Sungai Asahan. Asal dua aset tersebut diserahkan ke Indonesia, tidak ada
bedanya dengan penyerahan saham. Hanya, perubahan mendadak menjadi penyerahan
aset itu memang lebih sesuai dengan bunyi perjanjian pokok (master agreement).
Bahwa selama ini perundingannya berdasar pada penyerahan saham itu atas usul
pihak Jepang juga.
Hanya,
dengan perubahan mendadak itu, kita bisa membaca arah berikutnya. Pihak Jepang
akan menempuh jalur arbitrase.
Bagaimana
kalau itu terjadi? Tidak apa-apa. Dalam bisnis hal seperti itu normal. Toh
tidak memengaruhi penyerahan aset Inalum kepada Indonesia. Sejak 1 November
lalu operasi Inalum sepenuhnya dipegang Indonesia. Direktur Utama Inalum dan
direktur lainnya dari Nippon Asahan Aluminium (NAA) sudah tidak berkantor lagi.
Sudah meninggalkan Indonesia dengan baik-baik. Arbitrase itu hanya untuk
menentukan nilai berapa dolar kita harus membayar penggantian aset tersebut.
Untuk
menentukan angkanya, memang ada perbedaan cara memutuskan. Jepang lebih mudah
untuk minta angka yang tinggi. Sebaliknya, kita tidak bisa memenuhi begitu saja
angka yang disodorkan pihak Jepang itu. Bukan saja kita ingin angka yang lebih
murah, tapi juga karena pihak kita adalah negara. Tidak bisa fleksibel. Tidak
seperti swasta.
Di swasta
ada mekanisme pengambilan keputusan yang disebut commercial decision. Dengan
mekanisme itu, pengambil keputusan bisa menawar angka tertentu begitu saja. Dan
kalau tawaran tersebut belum bisa diterima, pengambil keputusan bisa
menaikkannya sedikit-sedikit.
Kita
tidak bisa begitu. Penawaran kita harus berdasar hasil audit Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Begitu BPKP menyebut angka tertentu, kita
tidak bisa keluar dari itu. Bisa saja, seandainya kita naikkan sedikit tawaran
itu akan diterima. Namun, kita bisa dianggap melanggar. Tidak ada mekanisme
commercial decision di sini.
Padahal,
kalau pihak Jepang sampai ke arbitrase, bisa jadi kita kalah. Harus membayar
jauh lebih tinggi dibanding seandainya kita naikkan tawaran itu.
Tentu
kita akan terus berusaha agar tidak harus melalui arbitrase. Juga akan berusaha
memenangkan arbitrase itu nanti. Ini tidak ada hubungannya dengan penyerahan
aset Inalum ke Indonesia. Semata-mata untuk menentukan angka pembayarannya.
Saya
sendiri sudah pernah ke PLTA Sigura-gura dan ke pabrik aluminium di Kuala
Tanjung. Yakni waktu saya masih menjabat Dirut PLN. Waktu itu Sumut lagi krisis
listrik. Sangat parah. Tidak ada harapan baru. Saya berusaha “ngemis” listrik
ke Inalum.
PLTA itu
luar biasa besar: 600 megawatt (mw). Turbinnya berada di bawah gunung batu di
kedalaman 100 meter dari permukaan tanah. Meski sudah berumur 30 tahun,
kondisinya sangat bagus. Terawat dengan baik, khas manajemen Jepang. Inalum
akhirnya bisa menyisihkan sedikit listriknya untuk PLN. Sampai sekarang.
Ini beda
dengan krisis listrik di Sumut sekarang. Yang masih ada jalan keluar segera.
Tidak akan lama. Pagi ini sudah akan ada tambahan listrik 12 mw dari genset di
Paya Pasir. Nanti sore ada tambahan baru lagi dari Sibolga 1, sebesar 80 mw.
Minggu
depan Paya Pasir tambah lagi dan tambah lagi hingga mencapai 75 mw. Dengan
tambahan-tambahan itu, krisis listrik di Sumut segera berakhir. Apalagi, air
danau-danau di seluruh Sumatera kini mulai berisi lagi setelah musim hujan
tiba. Listrik dari berbagai pembangkit besar bertenaga air akan kembali normal.
Minggu
ini, setelah manajemen Inalum kita pegang penuh, kita akan audit berapa
sebenarnya keperluan listrik pabrik aluminium itu. Sekaligus untuk memastikan
bisakah PLN dapat tambahan sedikit lagi dari Sigura-gura.
Sungai
Asahan memang sumber listrik yang luar biasa. Di hulu Sigura-gura itu sudah
dibangun PLTA Asahan 1. Di hilir Sigura-gura itulah yang dulu ingin kita bangun
pembangkit Asahan 3. Namun, perizinannya waktu itu ampun-ampun sulitnya.
Gubernur Sumut yang sekarang sudah mengeluarkan izinnya untuk PLN. Tinggal
meneruskan pembangunannya.
Tanpa
sumber listrik yang murah dari Sigura-gura, pabrik aluminium Inalum tidak akan
bisa bersaing. Pabrik-pabrik lain harus beli listrik dengan harga Rp 1.000 per
kWh. Bahkan lebih. Inalum memiliki pembangkit sendiri yang harga listriknya
hanya sekitar Rp 300 per kWh.
Karena
itu, logikanya, pabrik aluminium Inalum ini akan mampu bersaing di pasar
global. Itulah yang membuat PT Inalum ibarat gadis cantik yang jadi rebutan.
Kini
setelah sepenuhnya dimiliki Indonesia, tentu tidak ada alasan kinerja Inalum
merosot. Alangkah malunya kita kalau itu terjadi. Setelah 30 tahun
tenaga-tenaga ahli kita dibina Jepang, rasanya kekhawatiran tersebut tidak
perlu terjadi.
Pasar
dalam negeri sangat membutuhkannya. Pabrik-pabrik aluminium dalam negeri sudah
teken kontrak menjadi pembeli utama. Mereka dari Surabaya, Semarang, Jakarta,
dan Sumut sendiri. Pabrik-pabrik itu selama ini impor bahan baku. Sekarang
tinggal beli dari Inalum. Dulu mereka mengeluh tidak bisa beli bahan baku dari
Inalum karena Inalum harus mengirim produknya ke Jepang.
Setelah
ini BUMN membangun pabrik bahan baku aluminium di Mempawah, Kalbar. Dengan
demikian, kelak Inalum tidak harus beli bahan baku dari Australia.
Presiden
SBY terus mengikuti perkembangan pengambilalihan Inalum ini. Juga terus memberi
arahan. Agar pengambilalihan lancar dan tidak gagal. Tepat di hari
pengambilalihan 1 November lalu, Menperin Pak M.S. Hidayat dan saya dipanggil
ke istana. Pak SBY ingin mendengar sendiri laporan pelaksanaan pengambilalihan
itu.
Ini
memang bersejarah bagi pemerintahan Pak SBY. Mengakhiri kontrak jangka panjang
dan menjadikannya 100 persen perusahaan nasional. (*)
Dahlan
Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar