Kearifan
dan Pluralitas Budaya
Oleh: Mohamad Sobary*
Pada peralihan tahun seperti ini
―mungkin terutama dalam momentum pendek yang disebut “New Year Eve” ― kita
berada di garis batas yang menggelisahkan karena kita menjadi bukan milik
siapa-siapa. Ketika menoleh ke belakang, “waktu”― yang dengan diam-diam berlalu
― jelas sudah bukan lagi milik kita. Dan jelas, kita pun bukan lagi miliknya.
Begitu
juga ketika memandang ke depan. Kita belum berada di masa depan, dan belum bisa
merasakan bagaimana keadaannya. “Waktu” jelas belum menjadi milik kita dan kita
pun tak bisa disebut miliknya. Ini barangkali bagian, atau salah satu jenis,
dari apa yang oleh Durkheim disebut “anomie” itu. Ah, Durkheim tidak penting.
Minimal jelas tak sepenting dan tak sedarurat keadaan nasib kita yang
dimarginalkan oleh sejarah.
Kita
dianggap seolah bukan bagian dari sejarah. Peran penting kita dilucuti, dan
kita dianggap bukan aktor sejarah. Bahkan juga bukan aktor bagi sejarah kita
sendiri, karena untuk masa yang telanjur lewat kita tak bisa memainkan peran
apa pun. Tidak juga bagi masa yang belum tiba.
Apakah
dengan begitu kita menjadi orang asing bagi diri kita sendiri? Lalu kita
menyesal, karena banyak kenangan, tak mungkin kembali lagi, sehingga kita tak
mungkin pula membuat perbaikan demi perbaikan terhadap semua jenis keburukan
yang sudah menyatakan “tutup buku”?
Tapi
bukankah― kata sebuah nyanyian di masa kanak-kanak dulu ―suka cita dan duka itu
menjadi riwayat kita? Dan bukankah dengan begitu berarti kita masih memiliki
kedaulatan untuk membuat suatu “klaim” atas riwayat kita sendiri?
Tak begitu
penting adakah itu milik kita atau bukan. Lagi pula, dalam momentum pendek yang
disebut “New Year Eve” tadi kita diberi waktu untuk merenung.
Mungkin
kita menjadikannya suatu “silent moment” yang intens, ketika seperti dengan
tiba-tiba “film” tentang kehidupan ― atau pengalaman ― kita, di masa lalu
diputar kembali, dan karena pengalaman kita itu sesuatu yang nyata, ‘real”, tak
dibuat-buat, maka “film” yang kita tonton dalam diam, dengan sikap berjarak itu
membuat kita menjadi seperti “orang lain”, dan kita kecewa.
Di saat
adegan demi adegan dalam “film”itu dulu sedang berlangsung, kita terlibat,
bahkan kita ada di tengah segenap kekerasan, ancaman dan ketakutan, tapi kita
merasa baik-baik saja, meskipun tak diragukan bahwa ada saja kejengkelan dan kekecewaan
yang tak sempat terungkap. Tapi ketika kita merenung, berkontemplasi, dengan
sikap berjarak, maka kesabaran kita betul-betul sedang diuji.
Mengapa
dari waktu ke waktu, dalam rentang tahun-tahun yang panjang, sejak negeri kita
merdeka, kita masih saja tetap setia “memelihara” kekerasan, yang membikin kita
sendiri resah? Mengapa pluralitas dalam kehidupan kita, yang secara sosiologis
sudah merupakan kenyataan tak terbantah, tapi secara politik diingkari, bahkan
“diperkosa” dan dibunuh?
Mengapa
kita membunuh kehidupan kita sendiri? Mengapa kita melakukan suatu tindakan
yang begitu brutal dan nista: bunuh diri secara kultural, yang bahkan binatang
melata yang hina pun tak bakal melakukannya, andaikata binatang memiliki
dimensi kultural dalam hidupnya?
Dalam
hening yang tenang itu aku tahu: kekuasaan sedang berbicara, dan tampaknya akan
terus menerus berbicara, sedang otoritas ― yaitu tangan kekuasaan
yang“legitimate” karena memang diberi hak untuk mengatur, malah cenderung
sebaliknya: lebih suka diam. Kita tahu, diam itu bagaimanapun memang lebih
aman. Diam tak perlu berkeringat. Tapi diam itu tanda tak mau bertanggung
jawab.
Penguasa
yang Diam
Terkutuklah
dia ― siapa pun yang berkuasa ― yang tak mau bertanggung jawab. Penguasa
seperti ini diejek telak oleh George Bernard Shaw. Dia bilang: “Kekuasaan tidak
merusak manusia. Tapi, apabila orang-orang bodoh berkuasa, mereka akan merusak
kekuasaan itu sendiri.”
Ejekan
ini bagus dan mugkin bisa mempermalukan para penguasa. Tapi, saya tak setuju
bila “wajah”kekuasaan seburuk itu dianggap tak merusak manusia. Penguasa yang
diam itu merusak secara “random” siapa pun yang bisa dianggap manusia, karena
tiap kali tindak kekerasan muncul dari tangan-tangan yang tidak punya otoritas,
dan tiap pembunuhan terjadi, maka kemanusiaan dan manusia konkret jatuh sebagai
korban.
Mereka
mati bukan untuk apa-apa, dan bukan untuk siapa-siapa seperti kodok mati penyek
tergilas roda mobil, dan sang penguasa masih merasa anggun dalam diam abadinya.
Dia
pendeknya menghancurkan manusia, dan kekuasaan, secara bersama-sama. Einstein
lebih menjawab persoalan ketika menyatakan bahwa dunia ini merupakan tempat
berbahaya, bukan karena ulah para penjahat, melainkan justru karena orang baik
cenderung lebih suka memilih sikap berdiam diri.Saya suka Einstein.
Memang
dibutuhkan orang bijak bestari untuk mewujudkan kenyataan sosiologis yang
serba-pluralistik itu agar menjadi wujud pluralitas politik yang sehat dalam
kehidupan kita sehari-hari. Orang yang kita butuhkan itu Hazrat Inayat Khan.
Orang bijaksana ini percaya bahwa kearifan tidak hanya dimiliki satu agama,
atau satu ras tertentu, melainkan oleh semua agama dan semua jenis ras. Dia pun
kemudian berkata, ”Siapa pun yang memperoleh kearifan, dia sufi karena sufisme
sendiri berarti kearifan.”
Inayat
Khan sendiri seorang sufi dan memimpin gerakan sufisme yang besar dan
berpengaruh. Tujuan gerakannya ialah untuk memperjuangkan ide kesatuan. Menurut
dia, tugas agama ialah mengembangkan jiwa kesatuan dalam pengetahuan tentang
Tuhan dan cinta kepada-Nya. Bagi Khan, usaha menumbuhkan kesadaran akan Tuhan
dan kesatuan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama manusia dan
dengan segala sesuatu ― apa saja ― yang merupakan makhluk Tuhan.
Kita
tahu, kesatuan itu dibingkai oleh rasa cinta ― dengan sendirinya haruslah
merupakan “kesejatian cinta” ― karena tanpa kehadiran Tuhan yang Maha Penuh
Cinta, dan Maha Memelihara itu, manusia tak akan pernah eksis sebagai manusia.
Dia akan tetap dalam wujud asal kejadiannya: setitik debu.
Tapi,
jika “debu” itu memiliki cinta pada Tuhan, pada manusia dan pada sesama makhluk
yang bukan manusia, patutkah kita ragukan kemuliaan dan kebesarannya?
“Debu”yang memiliki cinta seperti itu tak mungkin membunuh, tak mungkin
mencelakai, dan tak mungkin mempermalukan “debu-debu” yang lain.
Dia akan
berbagi cinta, dan jika pemimpin bangsa adalah “debu” macam itu, maka urusan
untuk mengusahakan fenomena sosiologis yang pluralistik agar sekaligus juga
menjadi fenomena politik yang manusiawi, akomodatif dan toleran berdasarkan
“kesejatian cinta” tadi, bukan perkara ruwet.
Di tangan
mereka yang memiliki kearifan, dan kesadaran akan cinta, pluralitas kebudayaan
tak akan pernah retak. Di sana manusia dimuliakan, siapa pun dia. Kearifan dan
pluralitas budaya menjamin bahwa pemuliaan itu terpelihara, seperti Inayat Khan
memelihara makna cinta dalam kesejatiannya tadi.
*Penulis
adalah budayawan.
Sumber :
Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar