Zaman
Tipu-menipu
Oleh: Mohamad Sobary*
Sejauh menyangkut kehidupan
rakyat pedesaan ―kaum tani, “wong cilik” ―sejarah abad ke-19 penuh hal
mengenaskan sekaligus menggelikan.
Tapi, tak
mungkin kita menertawakannya karena apa yang “menggelikan” tadi bukan dagelan
dan jelas bukan hiburan. Abad itu kita sebut abad kolonial yang bengis, tidak
manusiawi, dan menghasilkan banyak pengorbanan jiwa. Siapa yang bisa menjadikan
derita sesama manusia seperti itu sebagai hiburan?
Sejarawan
Onghokham mencatat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa “serat Jayabaya” berasal
dari kira-kira pertengahan abad ke-18, yang menjadi populer pada abad ke-19.
Sejarawan
ini melihat “serat Jayabaya” sebagai dokumen sosial, yang di dalamnya,
sebenarnya masyarakat hanya memercayai dua zaman, yaitu zaman edan di mana
mereka hidup pada saat itu dan zaman emas yang mereka harapkan.
Isu
penting saat itu menyatakan, Senopati itu raja Mataram. Tetapi,setelah seratus
tahun, perang saudara hebat akan pecah antara para keluarga raja yang saling
berebut takhta dan kerajaan akan jatuh… akan terjadi kekacauan yang lebih
besar. Kemarahan Tuhan akan menghukum tanah Jawa.
Kemakmuran
hilang. Yang Agung menindas rakyat. Kebenaran diganti kebohongan. Keadilan
tidak tetap. Rakyat kekurangan. Mereka “ngalor-ngidul” dalam kebingungan. Ini
yang disebut zaman edan, dalam catatan Onghokham. Kita menyebutnya, Pak Ong.
Akan
datang Ratu Adil pertama, Sri Tanjung Putih. Namun,di zaman ini masih ada beban
pajak-pajak.Diganti Ratu Adil kedua, di bawah Erucakra di mana pajak-pajak
menjadi lebih rendah lagi. Bukan hanya ini catatan Pak Ong mengenai Ratu Adil.
Di Desa
Patik, Kawedanan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Karesidenan Madiun, pada November
1885, para pemilik tanah yang berjumlah kira-kira seratus orang, mengangkat
carik desa mereka sebagai ratu baru dengan gelar Pangeran Lelono yang akan
menghapuskan pajak-pajak. Mereka juga bermaksud membunuh semua pejabat Belanda
setempat. Ini sebenarnya merupakan sebuah pemberontakan.
Mari kita
perhatikan hal menggelikan itu; carik desa, dijadikan ratu (raja) baru, dengan
gelar yang menyeramkan: Ratu Lelono. Apa yang bisa dilakukan seorang carik
desa― yang pasti tak berpendidikan, dengan pengalaman amat terbatas ― untuk
menjadi raja dan diharapkan menghapuskan pajak-pajak.
Oh,
betapa kasihan mereka. Betapa berat beban jiwa bangsa terjajah yang sedang
bergulat membebaskan diri dari penjajahan. Diketahui, ketua pemberontakan itu
seorang priayi keturunan bekas keluarga BupatiPonorogo. Priayi inilah yang
membujuk carik desa tadi untuk menjadi Ratu Adil.
Kita
merasa ngenas: pemberontakan itu dipadamkan dengan mudah, dan cepat, pada hari
itu juga, tanpa banyak korban jiwa. Pak Ong mencatat itu semua di dalam
bukunya,Negara dan Rakyat, yang diterbitkanPenerbit Sinar Harapan, Jakarta,
1983.
Kesenjangan
Sesudah
setiap kali membaca, dan membaca lagi kisah tragis itu, pemikiran kita menyusur
jauh ke situasi zaman itu; dan kembali ke zaman sekarang, ke dalam kehidupan
kita sehari-hari, dengan sikap berontak.
Kita tak
mungkin mengizinkan ketidakadilan merajalela, meskipun itu hanya terjadi di
dalam sebuah bacaan. Apalagi, itu bacaan mengenai sejarah kita sendiri.
Apalagi, di zaman ini pun kita belum bebas dari ketidakadilan seperti itu.
Di hampir
setiap pelosok dunia, dalam kurun sejarah masing-masing, pernah mengalami zaman
gelap: zaman jahiliah yang penuh penindasan, tipu-menipu, penjarahan,
pembunuhan, dan ketidakadilan.
Sekarang
kita hidup di zaman lain. Peradaban sudah beralih ke zaman terang: kita
merdeka, bebas, maju. Berbagai segi kehidupan berkembang berkat kemajuan.
Mungkin, terutama, kemajuan di dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tapi,kesenjangan
jiwa masyarakat ― bisa juga jiwa bangsa ― tak bisa disembunyikan. Di tengah
kemajuan besar melampaui apa yang bisa kita bayangkan ini, perilaku menyimpang:
pelanggaran hukum, tindakan asusila, perampasan hak, pencurian, tipu-menipu,
kebohongan,dan segenap corak ketidakadilan, masih tetap mewarnai kehidupan
kita.
Di tengah
kemajuan teknologi yang begitu tinggi, hidup kita bisa compang-camping kalau―
seperti sekarang ini ― kita tak memiliki kematangan jiwa dan tanggungjawab.
Kemajuan bisa sekaligus berarti fasilitas bagi tindak kejahatan. Mungkin lebih
mengerikan dibanding kejahatan konvensional yang sudah lama kita kenal.
Kejahatan
menjadi semakin canggih. Dengan teknologi kejahatan perbankan menjadi sangat
mengerikan: tak berwajah, “dingin”, rapi, sukar dilacak, dan spektakuler.
Tapi,juga harus dicatat: semua itu lebih berbahaya, ganas, kejam, dan tidak
manusiawi, melebihi apa yang bisa kita bayangkan.
Dengan
kata lain, zaman jahiliah itu masih bersama kita. Sekali lagi, kejahatannya
lebih mengerikan.Kejahatan lewat HP, sering mengecoh dan menimbulkan korban.
Dalam waktu cepat penjahat bisa lenyap, tak terlacak.
Beroperasi
di kantor, menawarkan jasa, mengingatkan sebuah seminar yang perlu dana, menipu
ada keluarga dalam keadaan darurat, atau pelakunya, mengaku nama kita, menipu,
memeras, dan berbagai cara tak bermoral untuk mengumpulkan uang.Orang jahat ini
merajalela.
Sejak dua
tahun lalu FB saya dibajak penjahat untuk menipu, memeras, dan mengecoh orang,
dengan motif mencari uang. Banyak usaha yang sudah dilakukan.
Selama
ini tak ada yang terkecoh. Tiap kali orang ditipunya, dengan mengaku nama saya,
mereka minta konfirmasi pada saya. Kemarin, hari libur, Selasa, 1 Muharam, ada
yang ditipu memakai tampilan saya di FB, tanpa konfirmasi, langsung setor uang.
Kali ini si penjahat berhasil memperoleh uang.
Siapa
pun, yang ditipu dengan memakai nama saya, jangan percaya. Itu penjahat, dan
juga mata-mata agak murahan. Zaman tipu-menipu membuat kita waspada. Jangan ada
yang tertipu lagi.
*Penulis
adalah budayawan.
Sumber :
Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar