Kaum Salafi Indonesia dan
Ruang Maya (1)
Oleh: Syafiq Hasyim
Tidak dinyana sebelumnya, kesadaran kaum
salafi terutama di Indonesia untuk menggunakan ruang publik sebagai spatial
medium bagi dakwah mereka begitu menakjubkan. Kelompok ini sangat cepat belajar
menatap kebutuhan masa depan mereka. Setelah era majalah cetak di kalangan
mereka habis, ditandai dengan kejatuhan majalah cetak Sabili, Hidayatullah, dan
beberapa jenis yang lainnya, kaum salafi begitu cepat melakukan proses adaptasi
ke online media.
Sebagaimana yang saya sebutkan di tulisan
sebelumnya –lihat dua post terakhir saya—, gejala seperti ini, selain
dilatarbelakangi oleh “kewarasan” mengenai perlunya terus eksis di ruang
publik, gejala ini juga menunjukkan adanya penerimaan yang rendah atas kelompok
ini di ruang konkrit kalangan Muslim Indonesia. Karenanya, bagi mereka, hijrah
untuk menggunakan ruang online media atau internet merupakan ruang baru yang
menjanjikan. Sebuah medan baru untuk melaksanakan jihad baru juga. Jihad lama
dengan senjata tidak dihapus, namun jihad baru melalui pena dan tulisan perlu
digalakkan.
Tulisan ini tidak ingin mencari bagaimana
masalah penggunaan teknologi internet atau online untuk keperluan dakwah di
kalangan salafi, namun lebih ingin melihat antusiasme mereka dalam mengelola,
menyajikan dan mengkampanyekan opini, diskursus, berita yang bernuansa salafi
melalui surat kabar atau majalah, webpage, facebook, dan sarana-sarana online
mereka lainnya. Basis analisis yang akan saya pakai di sini adalah teori-teori
mengenai “ruang” (space) terutama abstract space. Yang saya maksud dengan
abstract space di sini adalah ruang yang tidak tidak tersentuh oleh dunia nyata
atau biasa disebut dengan istilah virtual. Selain itu, dalam menulis artikel
ringan ini, saya terilhami oleh metode riset kualitatif yang biasa disebut
dengan netnografi (netnography). Netnografi adalah etnografi di internet.
Artinya, metode ini menggunakan teknik-teknik riset etnografis untuk mengkaji
kebudayaan dan masyarakat yang muncul melalui komunikasi berbasis internet.
Metode riset kualitatif ini pada mulanya digunakan untuk meriset konsumen di
online misalnya forum-forum di internet untuk menjajagi apa yang diminati dan
dikehendaki oleh konsumen. Metode ini sangatlah berguna untuk melihat kehadiran
kaum salafi di ruang online –ruang-ruang forum–dan bagaimana mereka mempersuasi
audien.
Makna Ruang Maya Bagi Salafi
Sebagaimana kita tahu tahu bahwa kaum
mainstream Indonesian yang berhaluan Sunni masih belum bisa menerima sepenuh
hati kehadiran kalangan salafi. Meskipun istilah salafi atau salafiyyah sendiri
sudah lama dipakai I Indonesia misalnya oleh kalangan NU untuk menamai
pesantren mereka, namun salafi yang saya maksudkan di sini, masih dianggap oleh
mainstream Islam di Indonesia sebagai Wahhabi. Dalam kajian Islam, Wahhabi
sebenarnya masih dalam kategori Sunni, namun masyarakat Sunni Islam di
Indonesia—merupakan Sunni terbesar di seluruh dunia—belum bisa memasukki
Wahhabi ke dalam kelompok mereka. Dalam diskursus publik, mayoritas ulama di
Indonesia keberatan dengan Wahhabi. Fenomena lain yang sering dijumpai adalah
meskipun mereka secata teologis berafilalsi dengan Wahhabi namun kebanyakan
juga tidak berterus terang atau enggan disebut sebagai kaum Wahhabi. Hal ini
semua karena stigmatisasi Wahhabi di Indonesia sebagai kelompok sesat dalam
Islam sudah sekalian lama terjadi. Sudah barang tentu bagi mereka yang belajar
di sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah NU, Perti, al-Wasiliyah
organisasi-organisasi lainnya, pernah disodori pelajaran Ahlusunnah Waljamaah
dengan menggunakan buku pegangan yang dikarang oleh KH. Siradjuddin Abbas.
Jelas dalam buku beliau, I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah, Wahhabi dikeluarkan
dari firqah najiyah (kelompok yang selamat). Tidaknya hanya Wahhabi, seluruh
mereka yang menolak Imam Ashʿārī dan Māturidī sebagai pedoman i’tiqad mereka
bukan menjadi bagian dari mereka.
Namun yang lebih mendasar lagi, penolakan
atas Wahhabi oleh kalangan Islam mainstream juga disebabkan oleh kekhuwatiran
mereka akan ajaran Wahhabi yang mengancam pada tradisi keagamaan kaum
mainstream. Di sini kaum mainstream bisa dikatakan sebagai kaum ortodoks dimana
mereka menggunakan alasan-alasan kesucian doktrin agama untuk melarang ajaran
lain yang dipandangnya keluar dari ortodoksi. Talal Asad menyatakan ortodoksi
adalah pengaturan kembali pengetahuan yang bertujuan membangun sebuah relasi
penguasaan wacana dalam hal pengaturan mana bentuk-bentuk praktis Islam yang
benar. (210-11, Genealogy of Religion).
Meskipun di Saudi Arabia, salafi-Wahhabi bisa
dikatakan sebagai pemegang ortodoksi, tapi di Indonesia mereka tidak demikian
adanya. Dari perspektif kaum mainstream Islam Indonesia, salafi-Wahhabi adalah
kaum heterodok karena pemegang kebenaran ajaran Islam di Indonesia adalah
kelompok mainstream Islam yang memiliki perbedaan cara pandang keagamaan dengan
kaum salafi-Wahhabi. Karenanya, pada titik ini, keberadaan kaum Wahhabi
sebenarnya hampir mirip dengan nasib-nasib kelompok sempalan lainnya,
katakanlah kelompok Syiah atau Ahmadiyah. MUI sendiri misalnya secara implisit
menolak salafi melalui fatwa-fatwa mereka yang menolak jihad ekstrim kaum
salafi-Wahhabi sebagaimana juga menolak kaum Syiah. Nahdlatul Ulama secara
keras menolak model pemikiran dan praktik keagamaan kaum Wahhabi. Kembali
kepada pandangan Talal Asad bahwa kaum Muslim yang memiliki kuasa untuk
mengatur, mempertahankan, mempersyaratkan, merendahkan atau mengganti hal-hal
yang tidak benar adalah kaum ortodok.
Sebagai kelompok heterodok, kaum
salafi-Wahhabi di Indonesia memerlukan ruang untuk mengekspresikan dan
mempertahankan doktrin mereka yang dianggap “menyimpang” dari mainstream Islam
di Indonesia dan “internet space” adalah pilihan yang tepat. Ketika mereka
tidak bisa atau terancam oleh ketatnya ortodoksi dalam “concrete space,” maka
ruang internet menyediakan mereka kebebasan untuk berdakwah karena di dalam
ruang ini mereka adalah atau kita adalah pemegang kendali diskursus yang kita
kehendaki. Berbeda dengan model interaksi “dari muka ke muka,” interaksi di
ruang internet bisa dilakukan secara arbitrer, doktriner dan sekaligus
otoriter. Dalam konteks Indonesia, Salafi-Wahhabi memerlukan ruang yang demikian
ini untuk bergerak karena pada dasarnya mereka adalah “kaum ortodoksi” juga di
negara asalnya, namun karena ortodoksi mereka tidak mendapatkan legitimasi maka
mereka menjadi heterodok. Di ruang maya ada proses dialog dan interaksi, tapi
pemegang domain secara unilateral bisa menghentikan atau mentiadakan proses
dialog atau forum. Ruang maya juga merupakan hal yang paling strategis untuk
berkampanye pada audien yang tidak memerlukan penelahaan panjang (tidak
kritik). Namun patut diakui bahwa daya juang kaum salafi-Wahhabi di ruang maya
luar sangat efektif. Saya tidak menjumpau kelompok-kelompok heterodok lain yang
seperti salafi-Wahhabi ini yang sedemikian efektif dan strategis dalam
menggunakan “internet space.” Katakanlah kelompok Ahmadiyah dan Syiah Indonesia,
mereka tidak punya “cyberspace fighters” sebagaimana yang dipunyai oleh kaum
salafi-Wahhabi. Internet space sekarang menjadi semacam masjid virtual pusat
pembelajaran alternatif.
Dalam kondisi yang terdesak di ruang konkrit,
web-space menyediakan sifat immediacy, kecepatan untuk memanfaatkan media
online ini dalam merespon peristiwa, kejadian, atau hal-hal genting lainnya,
dalam waktu yang hampir bersamaan. Surat kabar, hasil riset, majalah dan
sumber-sumber informasi offline lainnya tidak memiliki ini. Kita teringat
ketika kaum salafi-Wahhabi mendapatkan tuduhan sebagai pelaku pengeboman
beberapa tempat penting di Eropa, dengan cyberspace mereka bisa bereaksi secara
cepat baik reaksi dan meluas itu untuk melakukan pembenaran maupun pengingkaran
akan keterlibatan dirinya. Meskipun para ahli cyberspace crime bisa menemukan
“concrete space” yang dijadikan sebagai tempat dimana mereka mengeluarkan
pernyataan tersebut, tetapi hal ini memerlukan waktu yang lumayan agak panjang
dan cara yang agak rumit.
Dalam satu dekade terakhir, setelah beberapa
peristiwa pengeboman di beberapa tempat penting di Indonesia dimana kaum
salafi-Wahhabi adalah pihak yang banyak dituduh, dicurigai dan ada juga yang
sudah terbutki secara hukum, mereka menyadari akan marginalisasi kelompok
mereka di ruang konkrit. Tidak hanya menyadari hal ini, namun mereka berusaha
untuk mencari ruang baru (alternative site). Ruang baru ini tidak hanya
menyediakan kenyamanan bagi mereka, namun juga mempermudah transnasionalisasi
ide dan gagasan mengingat frontier di dalam virtual space sangat cair dan
bahkan bisa dikatakan borderless (tanpa batas). Di dunia nyata,
transnasionalisasi membutuhkan ongkos yang tidak murah. Memindahkan dan
mengirimkan orang, buku, dan juga hal-hal sarana lainnya dari satu negara ke
negara lain tidak bisa dilakukan tanpa dukungan uang yang banyak. Lihat berapa
uang yang dihabiskan oleh pemerintah Saudi dalam menyebarkan Islam-versi mereka
ke negara-negara lain dalam kurun 30 tahun terakhir ini. Namun dalam dunia
maya, mobilitas dan migrasi ide dan gagasan tidak memerlukan kehadiran
seseorang, rujukan yang tersentuh, dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana dengan otoritas agama? Dunia
maya tidak kurang canggih dalam mengakomodasi dan mempertahankan otoritas
agama. Apabila di dunia offline, otoritas agama bisa runtuh gara-gara
penampilan seorang pemegang otoritas yang kacau, di dunia maya, otoritas agama
tidak hanya disediakan ruang untuk menyampaikan, tapi juga ruang untuk
memperindah dan bila perlu memanipulasi kekurangan-kekurangan yang terjadi di
ruang offline. Inilah salah satu kelebihan yang dimiliki oleh ruang maya dan
salafi Wahhabi Indonesia membaca ini sebagai hal yang berguna bagi perjuangan
mereka. []
*) Penulis adalah Rais Syuriah PCI-NU Jerman,
saat ini menetap di Berlin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar