Senyum Tulus Marketing Para Dirut
Senin, 25 November 2013
“Senyum saya sudah betul, Pak?”
tanya seorang direktur utama BUMN kepada saya melalui SMS. Dirut tersebut
prestasinya luar biasa hebat. Tapi, senyumnya juga luar biasa pelit.
Setiap
kali bertemu sang Dirut saya memang terus mempersoalkan wajahnya yang selalu
tegang. Dan kaku. Dan cemberut.
“Anda itu
Dirut yang hebat,” kata saya. “Kalau bisa sering tersenyum, Anda akan lebih
hebat,” tambah saya.
Beberapa
minggu kemudian, ketika sang Dirut belum juga bisa tersenyum, saya berikan
pengertian mengapa harus tersenyum. “Anda itu harus menjadi seorang marketer.
Bahkan, harus menjadi marketer terbaik di BUMN Anda. Bagaimana seorang marketer
wajahnya terlihat tegang terus?” kata saya.
Saya
tidak dalam posisi memarahi dia. Saya menempatkan diri bukan sebagai menteri.
Saya ajak dia bicara lebih seperti kakak kepada adik. Sebelum bicara itu pun
saya lebih dulu bertanya kepada dia: bolehkah saya bicara mengenai hal yang
sangat pribadi? Dia bilang: boleh.
Jadilah
saya bicarakan hal wajah dan senyum itu kepadanya. Sayang sekali, seorang CEO
yang kerja dan prestasinya luar biasa, tapi lebih banyak kelihatan cemberut.
Tekanan pekerjaan yang berat dan menumpuk mungkin membuatnya tegang.
Pun waktu
yang dia habiskan di lapangan memang panjang. Siang menemukan persoalan, malam
menemukan kerumitan. Orang luar selalu menekannya, orang dalam
menjengkelkannya.
Mungkin
juga bukan karena semua itu. Mungkin juga karena latar belakang pekerjaan
lamanya di dunia keuangan. Itu membuatnya “selalu bersikap keuangan”. Banyak
kata, orang yang hidup lama di “sikap keuangan” sulit berubah menjadi “bersikap
marketing”. Entahlah.
Tapi ,
saya percaya orang bisa berubah. Yang jelas, seorang CEO akan tidak sempurna
ke-CEO-annya kalau tidak bisa tersenyum, tidak bisa mengajar, mendidik, dan
tidak bisa jadi orang marketing.
Maka,
sang Dirut berjanji untuk berubah. Menyempurnakan prestasinya dengan meramahkan
wajahnya.
Suatu
saat saya kaget. Dia mengirim BBM kepada saya. Disertai foto wajah yang lagi
tersenyum. “Senyum saya yang seperti ini sudah tepat, Pak?” tanyanya.
“Belum!” jawab saya. “Kurang tulus,” tambah saya.
“Wah, sulit ya?” tanyanya lagi.
“Tidak!” jawab saya. “Coba terus!”
Minggu
berikutnya dia kirim foto lagi yang juga tersenyum. “Sudah bagus, Pak?”
tanyanya.
“Sudah 70 persen! Bagus! Anda maju sekali!” jawab saya. Saya kagum akan kesungguhannya tersenyum.
Minggu-minggu
berikutnya dia terus mengirimkan foto wajahnya yang lagi tersenyum. 75 persen.
80 persen. 90 persen. Akhirnya 100 persen! Senyum terakhirnya, enam bulan
setelah usaha yang keras, sangat sempurna, natural, dan tulus.
Senyum
itu lantas saya pilih untuk cover buku yang diterbitkan untuk ulang tahun
perusahaannya. Buku yang sangat bagus mengenai prestasinya yang hebat dalam
mentransformasikan BUMN yang dia pimpin. Buku itu kini sudah tiga kali cetak
ulang dan jadi best seller. Tentu senyum tulusnya di cover ikut memberi andil.
Itulah
buku yang bercerita: bagaimana sang Dirut mampu melakukan transformasi
perusahaan yang luar biasa hebatnya. Bahkan, lebih hebat daripada yang
dilakukan menteri BUMN.
“Pasien”
saya yang seperti itu tidak hanya satu. Tidak dua. Tidak tiga. Banyak! Satu per
satu saya ajak bicara. Bukan hanya perusahaannya yang harus bertransformasi,
tapi juga penampilan pribadi Dirutnya. Saya gembira mereka yang prestasinya
hebat-hebat itu juga berani menyempurnakan dirinya.
Saya juga
berterima kasih kepada owner MarkPlus, Pak Hermawan Kartajaya, yang ikut
mengubah BUMN-BUMN kita. Terutama dari sisi marketing. BUMN Marketeers Club
yang rutin bertemu dari satu BUMN ke BUMN lain, mendapat sambutan antusias dari
teman-teman direksi BUMN. Begitu juga BUMN Marketing Award yang juga digagas
Pak Hermawan.
Saya
sempat menghadiri beberapa pertemuan forum marketing itu. Termasuk untuk
menyosialisasikan keinginan saya bahwa seorang CEO/Dirut di BUMN harus juga
menjadi orang terbaik untuk urusan marketing di BUMN masing-masing.
Saya juga
bangga bahwa setiap kali MarkPlus menyelenggarakan acara tahunan yang amat
bergengsi, Marketeer of the Year, para CEO BUMN tampil di jajaran pemenang.
Mengalahkan sektor swasta. Bahkan, hampir selalu terpilih menjadi yang terbaik,
menjadi Marketeer of The Year. Seperti yang diraih Emirsyah Satar, CEO Garuda;
Sofyan Basyir, CEO BRI, dan saya sendiri waktu menjabat CEO PLN.
Tentu
bukan hanya senyum yang harus bertransformasi. Cara para CEO berpidato pun
harus berubah. Harus menjauhkan kebiasaan lama berpidato dengan membaca teks
yang formal, kaku, dan hierarkis.
Untuk
urusan ini saya juga melihat kemajuan yang sangat besar. Saya mencatat beberapa
CEO sudah mampu tampil dengan pidato yang memikat. Bahkan, beberapa di
antaranya sudah seperti CEO multinational corporation.
Pidato
Dirut Bank Mandiri, Dirut Telkom, Dirut BRI, Dirut BNI, Dirut RNI, dan Dirut
Pelindo I Medan sudah sangat cair, dan “lebih marketing”. Sudah berubah total
dan dengan penuh percaya diri bisa mengemukakan kiprah dan masa depan
perusahaan dengan gamblang.
Tentu
saya tidak akan melarang pidato pakai teks. Dalam beberapa kesempatan malah
seharusnya pakai teks. Tapi, saya belum puas dengan penampilan beberapa CEO
yang ketika di podium masih seperti kurang menguasai persoalan. Saya akan sabar
mengikuti perubahan-perubahan itu.
Mengapa
saya merasa perlu untuk menekankan semua itu? Sebab, CEO di samping seorang
marketer nomor satu di perusahaannya, dia juga manajer personalia terbaik di
korporasinya. Kalau seorang CEO tidak terlatih dalam mengemukakan ide, hope,
dan programnya, dia tidak akan bisa meyakinkan anak buahnya.
Siapakah
sang CEO yang selalu kirim foto wajahnya yang sudah tersenyum itu? Dialah Dirut
PT KAI, Ignasius Jonan. (*)
Dahlan
Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar