Generasi yang Nyaris
Kehilangan Ibu
Ali Mandegar, usianya kira-kira 11 tahun.
Hari itu sekolah libur. Ayahnya membawa dia keliling dengan sepeda ontel yang
tua, mencari pekerjaan di kota. Ibunya di rumah bersama Zahrah, adik perempuan
Ali satu-satunya.
Majid Wajidi, sutradara kawakan di Iran,
berhasil menyajikan siluet cerita yang menyentuh tentang keluarga Ali itu dalam
film Children
of Heaven. Ia bercerita tentang sebuah keluarga yang miskin—mungkin
di pinggiran kota Teheran—yang berhasil menanmkan kepribadian yang kokoh dalam
diri anak-anak mereka.
Film itu menggambarkan potrer keluarga Timur
Tengah sekitar 15 tahun yang lalu. Daam tradisi Timur Tengah, kaum Hawa memang
lebih terpingit dibanding kawasan-kawasan lain di dunia. Suami punya tanggung
jawab penuh untuk menghidupi keluarganya. Sedangkan, istri dengan tabah menjadi
seorang ibu yang senantiasa berada di samping anak-anaknya.
Di Timur Tengah pun, cetak biru keluarga ala Children of Heaven
itu mungkin akan segera pudar. Beberapa kali, tokoh-tokoh dari Barat datang ke
sana dan bersuara agar perempuan-perempuan Arab tak lagi terpenjara. Beberapa
dari perempuan Arab terprovokasi oleh Nawal el-Sadawi atau Fatimah Mernissi.
Dan, Timur Tengah sepertinya tak terlalu risau dengan itu, sebagaimana terlihat
dari pemandangan kebarat-baratan di sekililing menara al-Burj
di pantai Qatar.
Di belahan dunia yang lain, mungkin sekali
wajah ibu akan pudar lebih cepat. Wajah keibuan yang dulu teduh mulai terlihat
kusam. Di negeri kita misalnya, urbanisasi besar-besaran terus menggeser
batas-batas gender. Tipologi ibu Indonesia yang menghabiskan waktu untuk
menemani anak-anaknya sudah menjadi prototipe ibu tradisional.
Di daerah perkotaan, seorang ibu sudah lumrah
menghabiskan waktu di kantor di tempat kerja. Dan, kecenderungan itu tentu saja
akan segera menular ke desa-desa. Sebab, sejarah manusia memang selalu
bercerita tentang desa yang menjadi urban, tak pernah tentang desa yang
menulari kota.
Hampir seluruh penelitian menyatakan bahwa
partisipasi perempuan dalam kiprah-kiprah di luar rumah terus meningkat. Di
beberapa negara, termasuk di Indonesia, hal itu didukung oleh sistem.
Persentase ketewakilan perempuan di parlemen, kabinet dan profesi, menjadi
target pemerintah, atau bahkan diatur secara resmi dalam undang-undang.
Dalam rentang waktu 1955 s.d. tahun 1982
keterwakilan perempuan di parlemen berkisar 5-7 persen. Sedangkan antara tahun
1982-2008 antara 8-11 persen. Dan, pada pemilu 2009 yang lalu, terjadi
peningkatan tajam persentase perempuan di parlemen. Di DPR RI sebesar 27
persen. Bahkan, beberapa waktu lalu, Sekretariat Jenderal DPR RI menerbitkan
Buku Panduan Tentang Gender di Parlemen yang isinya mendorong adanya kaukus
parlemen dan politik bagi perempuan. Dan, isu pemberdayaan perempuan, rupanya
sedang menjadi komoditi politik yang cukup laris untuk mengail sura pemilih
perempuan yang jumlahnya cukup signifikan.
Peningkatan peran publik perempuan juga
terjadi dengan cukup drastis di bidang profesi dan ketenagakerjaan. Menurut
data tahun 2008 Depnakertrans, sebesar 28 persen dari keseluruhan tenaga kerja
lokal adalah perempuan. Sedangkan tenaga kerja antar negara (TKI), presentase
tenaga kerja wanita (TKW) sebesar 76.85 persen. Berarti meningkat sekitar 8-9
persen dari jumlah tahun 2005 yang jumlah TKW-nya sebesar 68.53 persen.
Bagi pemerintah, naiknya presentase kaum
perempuan yang bekrja atau berkiprah di luar rumah merupakan presentase
tersendiri. Hal itu menunjukkan keberhasilan program pemberdayaan perempuan,
juga pengentasan kemiskinan.
Saat masih menjabat Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan (2004-2009), meutia Hatta, menyatakan bahwa lambatnya
pembangunan Indonesia disebabkan oleh kurangnya peran publik perempuan. “Saya
dapat mengatakan bahwa lambatnya pembangunan Indonesia selama hampir 63 tahun
merdeka ini disebabkan karena kaum perempan kurang berperan atau tidak diberi
kesempatan untuk berperan dalam pembangunan, baik nasional maupun daerah,”
tegas Meutia dalam pidatonya tentang kebangkitan perempuan Indonesia sekitar 2
tahun yang lalu.
Ketidakmandirian dan lemahnya kaum perempuan
masih dianggap sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan kemiskinan.
Pandangann inilah yang mengilhami Muhammad Yunus bersemangat mengucurkan
pinjaman untuk modal kerja kaum perempuan di Bangladesh. Tak pelak, Muhammad
Yunus pun dinobatkan sebagai pemenang nobel atas jasanya ini.
Jika dilihat dengan kacamata pengentasan
kemiskinan, meningkatnya presentase ketenagakerjaan perempuan merupakan kabar
baik. Secara matematis, perempuan bekerja dan berkarir dapat meningkatkan
kesejahteraan keluarga. Keluarga yang memilki sumber dua arah, arus
pendapatannya jelas lebih deras daripada yang hanya satu arah.
Sayangnya, porsi keterlibatan kaum hawa dalam
urusan-urusan di luar rumah, sepertinya menyisakan sekian banyak masalah
krusial dalam berbagai faktor, khususnya dengan yang terkait dengan kestabilan
keluarga dan rumah tangga.
Pekerjaan dan keluarga adalah dilema terbesar
bagi umumnya wanita yang berkarir atau bekerja. Karir dan pekrjaan mengganggu
perhatian dan ketersediaan waktu seorang wanita, baik dalam kapasitasnya
sebagai istri, apalagi dalam kapasitasnya sebagai ibu dari anak-anak. Selain
itu, kemandiriannya secara keuangan, berpotensi menumbuhkan kecenderungan
psikologis untuk menaikkan posisi tawar, bahwa ia memiliki kekuasaan yang
setara dengan suaminya. Hal ini rentan menimbulkan benturan-benturan keras pada
biduk rumah tangga.
Sedikitnya ketersediaan waktu dan perhatian
untuk keluarga akibat karir dan pekerjaan menyebabkan keluarga kehilangan arah.
Dulu pengaruh ibu sangat dominan terhadap kepribadian anak. Ia memiliki
kedekatan yang sangat bermanfaat untuk menyemaikan nilai-nilai luhur pada
kepribadian anak dalam setiap waktu. Sedangkan ayah menjadi figur yang disegani
karena menjadi tempat bergantung dari keluarga. Peran yang saling mengisi ini
melahirkan keseimbangan yang sangat berarti bagi keharmonisan rumah tangga dan
perkembangan kepribadian anak.
Tak terhitung jumlahnya pengamat pendidikan
yang memilki kesimpulan bahwa hilangnya keseimbangan peran pada rumah tangga
modern merupakan salah satu faktor utama semakin maraknya kenakalan remaja pada
saat ini. Anak-anak kehilangan perhatian, pengawasan, dan sosok pembimbing
terdekatnya, karena kedua orang tua mereka menghabiskan waktunya untuk
kesibukan di luar rumah.
Melihat hal itu, mungkin ada baiknya jika
slogan pemberdayaan perempuan sedikit digesar menjadi pemberdayaan jiwa
keibuan. Sebab, jika kesejahteraan bangsa ini hanya diukur dengan pendapatan
perkapita, maka sebentar lagi negeri kita betul-betul akan kehilangan ibu. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar