Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar
KALAU setiap rezim pemerintahan di Indonesia fokus mengurus kepentingan negara dan keamanan nasional, penyadapan oleh kekuatan mana pun bisa direduksi, bahkan ditangkal. Aksi dan kegiatan penyadapan oleh negara yang satu terhadap negara lain tak akan pernah berhenti, karena informasi yang didapatkan dari penyadapan itu akan dimanfaatkan untuk kepentingan pertahanan dan pembangunan ekonomi negara penyadap. Maka, kalau tidak ingin disadap lagi, intelijen nasional dan organ negara seperti Lembaga Sandi Negara (lemsaneg) harus diperkuat.
Sejumlah pejabat pemerintah dikabarkan terkejut, marah dan tidak senang dengan penyadapan oleh organ resmi pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Australia. Kalau benar terkejut dan marah, mereka ibarat anak kemarin sore. Sebaliknya, kalau mereka sosok kapabel yang paham tentang dinamika era perang tekonologi, kemarahan dan keterkejutan mereka cukup dimaknai sebagai basa basi diplomasi alias kepura-puraan belaka.
Karena ambisi membangun keunggulan dan kepentingan pertahanan sebuah bangsa, yakinlah bahwa aksi dan kegiatan menyadap oleh negara yang satu terhadap lainnya tak akan pernah berkesudahan. Dan, terpenting untuk digarisbawahi adalah fakta bahwa aksi saling sadap sebenarnya bukan praktik baru. Sejarah mencatat bahwa kegiatan sadap menyadap semakin intens sejak manusia mengadopsi bahasa sandi. Kemudian, pemahaman tentang praktik ini semakin mendetail pada era Perang Dingin.
Ketika peradaban sampai pada progres signifikan teknologi informasi atau IT, kegiatan menyadap bukan lagi pekerjaan sulit atau njlimet. Lebih mudah karena peran manusia dalam pekerjaan yang satu ini tidak banyak lagi. Negara yang kuat dan unggul dalam IT dengan sangat mudah bisa mengetahui apa saja yang akan terjadi di tempat lain, termasuk cetak biru sejumlah rencana ekonomi, industri hingga rencana membangun industri persenjataan. Itu sebabnya, negara yang unggul IT dan kuat intelijennya bisa lebih awal memahami proyek pengembangan pengayaan uranium dan proyek nuklir di Iran, stok senjata kimia di sejumlah negara, hingga rencana aksi kelompok-kelompok teroris.
Indonesia, sudah barang tentu, tidak akan lolos dari aksi penyadapan. Sebuah negeri besar dengan posisi paling strategis di kawasan ini. Negeri dengan kekayaan alam melimpah, plus komunitas konsumen yang jumlahnya lebih dari 200 juta jiwa. Informasi tentang dinamika masyarakat Indonesia amat diperlukan raksasa industri di negara lain. Dorongan untuk melakukan penyadapan Indonesia oleh negeri lain semakin kuat karena cerita tentang Bom Bali dan rangkaian aksi terorisme yang pernah terjadi di negara ini.
Jadi, kalau para ahli IT Indonesia dikerahkan untu mendeteksi, temuannya mungkin bukan hanya penyadapan oleh Australia dan AS. Bukan tidak mungkin negeri lain juga mekakukannya. Misalnya, karena masyarakat Indonesia mendukung perjuangan rakyat Palestina dan anti Israel, ada kemungkinan organ resmi pemerintah Israel ikut-ikutan melakukan penyadapan di Indonesia. Bukankah publik tahu bahwa intelijen Israel pun sangat piawai untuk melakukan penyadapan?
Masih ingat kasus Wikileaks? Pada akhir 2010, media lokal memberitakan bahwa Wikileaks memiliki tidak kurang dari 3.059 dokumen rahasia milik pemerintah AS yang mencatat berbagai informasi tentang Indonesia. Dokumen itu serupa laporan diplomatik yang dikirim Kedubes AS di Jakarta dan Konjen AS di Surabaya. Informasi Wikileaks menggambarkan dua hal. Pertama, mengenai sepak terjang organ resmi pemerintah AS menghimpun informasi rahasia dari negeri lain atau para sekutunya. Kedua, Wikileaks juga menjelaskan bahwa kegiatan AS dalam menghimpun informasi rahasia dengan berbagai cara, termasuk penyadapan, tak pernah berkesudahan.
Contoh lain yang mungkin relevan adalah informasi tentang industri otomotif. Begitu anak-anak muda Indonesia dari lingkungan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mempertontonkan mobil SMK karya mereka, raksasa industri otomotif dari negeri lain buru-buru merancang low cost green car (LCGC) untuk pasar Indonesia. Kalau LCGC dari negeri lain itu dibiarkan berkembang di negara ini, langkah maju yang digagas generasi muda dari lingkungan SMK Indonesia bisa tertahan dan tidak berkembang. Apalagi jika tidak ada dukungan politik dari negara.
Lengah
Oleh karena itu, ketika diberitakan bahwa sejumlah pejabat pemerintah Indonesia terkejut, marah dan tidak senang dengan informasi mengenai penyadapan oleh Australia dan AS, reaksi seperti itu justru mengherankan. Sebagian publik di dalam negeri justru terkejut dengan reaksi yang demikian. Pertanyaannya kemudian adalah pura-pura terkejut dan marah atau basa-basi sekadar diplomasi? Dalam situasi seperti itu, kepura-puraan diperlukan untuk menutup malu karena sudah -kecolongan.
Kecolongan melalui modus penyadapan oleh AS dan Australia bisa terjadi karena pemerintahan yang berkuasa tidak pernah fokus menjaga kepentingan negara yang layak dirahasiakan, termasuk pembicaraan atau komunikasi Presiden dan pejabat tinggi lainnya. AS-Australia leluasa menyadap Indonesia karena pemerintah tidak pernah sungguh-sungguh mencoba menangkal penyadapan itu. Semuanya sibuk mengurus kepentingan masing-masing.
Pemanfaatan Teknologi penyadapan yang dibeli dan didatangkan ke Indonesia tidak diprioritaskan untuk melindungi negara dengan segala kerahasiaannya. Pemerintah sibuk menyadap kegiatan atau aktivitas lawan-lawan politik. Ketika Lemsaneg harus berkonsentrasi penuh mengamati perkembangan dan segala sesuatu yang terjadi dalam perang teknologi masa kini, organ negara yang satu ini malah disuruh-suruh sibuk bekerja untuk kepentingan pemilihan umum. Inilah bukti pemerintahan yang berkuasa tidak fokus pada aspek pertahanan nasional. Indonesia terkesan semakin tak berdaya menghadapi penyadapan karena perhatian pemerintah terhadap urgensi intelijen yang kuat nyaris nol.
Jangan lagi berdebat atau sekadar meminta klarifikasi dari AS dan Australia. Tetapi, yakinlah bahwa penyadapan tak akan berhenti hanya karena pemerintah Indonesia dan sejumlah negara di Eropa marah-marah melancarkan protes kepada Presiden AS Barack Obama. Kalau sekarang AS ketangkap basah melakukan penyadapan, organ pemerintah AS akan mencari modus lain agar penyadapan mereka semakin sulit dideteksi.
Ada dua fakta yang layak menjadi materi pembelajaran bagi pemerintahan mana pun, termasuk pemerintah Indonesia. Pertama, heboh pembocoran dokumen rahasia pemerintah AS oleh Wikileaks. Kedua, pengakuan organ resmi pemerintah AS sendiri. Menteri Luar Negeri AS John Kerry telah membenarkan program penyadapan itu. Kerry mengatakan bahwa pemerintah AS memanfaatkan banyak informasi dari penyadapan komunikasi sejak tahun 2001.
Direktur Badan Keamanan Nasional (NSA) AS, Jenderal Keith Alexander, memperkuat pernyataan Kerry dengan mengatakan bahwa penyadapan terhadap puluhan kepala pemerintahan negara lain diperintahkan oleh diplomat dan parlemen AS. Jenderal Alexander juga menegaskan bahwa program penyadapan oleh NSA berdasarkan pada payung hukum, yakni Undang-undang Penyadapan Intelijen Asing yang berlaku di AS. Dia menambahkan, sambungan telepon pemimpin dunia yang disadap hanya mencatat tanggal, waktu dan durasi. Sedangkan isi percakapan telepon tidak diperlukan.
Dari dua fakta ini, bisa dibuat kesimpulan bahwa kegiatan AS menyadap komunikasi pemimpin negara lain akan berlanjut. Mudah-mudahan, kesimpulan ini bisa menyegarkan kembali ingatan akan sepak terjang intelijen AS di berbagai belahan dunia, sehingga pada waktunya nanti kita tidak perlu lagi marah-marah atau pura-pura terkejut.
Berdasarkan kecenderungan itu, pemerintah Indonesia harus pro aktif memperkuat intelijen dan organ-organ lain yang relevan seperti Lemsaneg. Penyadapan oleh negara lain bisa ditangkal jika pemerintah Indonesia fokus melindungi kepentingan negara dan pertahanan nasional. Bukan sibuk mengurus keselamatan keluarga, kelompok atau partai. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar