New Normal dan Imunitas Spiritual
Oleh: Hasibullah Satrawi
DENGAN alasan masing-masing,
sebagian besar negara di dunia mulai melonggarkan kebijakan pembatasan sosial
atau karantina wilayah yang sempat diterapkan untuk mengendalikan penularan
Covid-19, tak terkecuali di sebagian wilayah di Indonesia. Kondisi ini dikenal
dengan istilah new normal atau kenormalan baru yang bermakna segala aktivitas
tetap dilakukan, tetapi dengan kesadaran protokol kesehatan yang ketat untuk
menekan persebaran Covid-19.
Secara kesehatan, kenormalan baru bisa dibilang lebih
berbahaya bila dibandingkan kebijakan pembatasan sosial atau bahkan karantina
wilayah. Sebab aktivitas di luar rumah berpotensi menjadi media persebaran
Covid-19 akibat perjumpaan yang ada antarmanusia. Semakin banyak aktivitas di
luar rumah, semakin tinggi pula potensi terinfeksi Covid-19. Namun sebagian
besar negara di dunia secara terpaksa menerapkan kebijakan kenormalan baru
untuk menahan dampak-dampak buruk dari Covid-19, khususnya di sektor ekonomi.
Terlebih hampir dapat dipastikan vaksin dari Covid-19 tidak akan berhasil
disiapkan dalam waktu dekat ini. Berdasarkan perkembangan sementara,
kemungkinan besar vaksin Covid-19 baru akan siap pada awal tahun depan.
Oleh karenanya, dengan diterapkannya kenormalan baru
oleh banyak negara, hal ini menunjukkan bahwa tak ada negara mana pun di dunia
ini yang siap menerapkan pembatasan sosial atau bahkan karantina wilayah hingga
awal tahun depan. Itu sebabnya kenormalan baru menjadi pilihan walaupun harus
dibarengi dengan protokol kesehatan yang ketat sebagai upaya membatasi
persebaran Covid-19.
Virus spiritual
Hal yang harus dipahami Bersama adalah, dilihat dari
dampak yang ditimbulkan, Covid-19 tak hanya bisa dikategorikan sebagai virus
yang menyerang kesehatan. Lebih dari itu Covid-19 dapat disebut sebagai virus
spiritual ataupun keimanan. Sebagai virus kesehatan, Covid-19 saat ini sudah
menyerang lebih dari 7 juta orang di seluruh dunia, termasuk yang meninggal
dunia. Tentu ini adalah musibah yang sangat besar dan tak bisa dianggap ringan.
Namun juga jangan diabaikan, sebagai virus spiritual dan keimanan, Covid-19
telah menyerang hampir seluruh penduduk bumi, bahkan nyaris melumpuhkan
kehidupan. Mobilitas orang dari satu tempat ke tempat lain pernah nyaris terhenti
secara total. Entah sudah berapa pusat perbelanjaan yang pernah tutup karena
Covid-19. Begitu juga dengan perhotelan, lembaga pendidikan, dan sektor-sektor
kehidupan lainnya.
Penghentian aktivitas seperti di atas dilakukan untuk
membatasi persebaran Covid-19. Bahasa lain dari upaya pencegahan ini adalah
takut, yakni takut virus ini semakin menyebar, takut virus ini semakin banyak
memakan korban hingga akhirnya dari satu ketakutan terus berkembang menjadi
ketakutan-ketakutan yang lain, termasuk takut sakit, bahkan juga takut mati.
Imunitas spiritual
Secara spiritual, takut adalah kebalikan dari cinta. Takut bersifat negatif, sakit dan menyakitkan. Sementara cinta bersifat positif, sehat dan menyehatkan. Kehidupan orang yang penuh dengan ketakutan sejatinya berada di ambang batas kematian, bahkan mungkin terasa mati (walaupun secara fisik masih hidup). Sebaliknya kehidupan orang yang disemangati cinta sejatinya berada di pintu keabadian walaupun nanti yang bersangkutan sudah meninggal sekalipun.
Dalam pandemi Covid-19 yang disertai dengan psikologi
ketakutan global, hal-hal yang bersifat keagamaan dan spiritual bisa menjadi
sumber energi untuk meningkatkan imunitas. Dengan demikian ketakutan-ketakutan
yang muncul akibat persebaran Covid-19 bisa diubah menjadi ketenangan yang pada
tahap selanjutnya akan meningkatkan imunitas tubuh seseorang. Dalam salah satu
Hadis Nabi Muhammad SAW yang sangat kesohor, contohnya, dikatakan bahwa dalam
diri manusia terdapat segumpal daging yang sangat menentukan bagi sehat atau
tidaknya tubuh manusia. Bila segumpal daging itu sehat, maka akan sehat seluruh
tubuh orang tersebut. Pun demikian sebaliknya, apabila segumpal daging itu
sakit, maka akan sakit seluruh tubuh orang tersebut. Segumpal daging itu tak
lain adalah hati.
Itu sebabnya, dalam kajian spiritual hati senantiasa
menjadi salah satu fokus utama dalam upaya perbaikan manusia menuju titik
terdekat dari kesempurnaannya (al-insan al-kamil ). Makin sehat dan makin
jernih hati seseorang maka akan semakin mendekati titik sempurnanya sebagai
manusia. Pun demikian sebaliknya. Dalam konteks seperti ini, perang melawan
penyakit hati menjadi perang paling besar sekaligus tak mengenal waktu. Dia
menjadi perang paling mematikan walau tanpa darah. Pun dia menjadi perang paling
lama walau tak selalu disadari oleh kebanyakan orang.
Pada akhirnya salah satu nilai tertinggi dari
perjuangan spiritual adalah mencapai ketakwaan kepada Allah Swt. Salah satu
makna takwa secara terminologi adalah takut kepada Allah dengan mengerjakan
seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Oleh karenanya,
sesungguhnya ada pembebasan dalam ketakwaan. Seseorang yang bertakwa kepada
Allah sejatinya terbebas dari rasa takut kepada siapa pun dan atau apa pun.
Bila harus takut, maka hal itu hanya kepada Allah yang tak pernah dan tak akan
pernah berbuat dzalim (terlebih lagi jahat) kepada umat manusia.
Tak ada gunanya takut kepada penyakit. Tak ada
gunanya takut kepada yang belum terjadi. Tak ada gunanya takut kepada hari
besok. Bahkan tak ada gunanya takut terhadap kematian. Karena secara teologis,
semua yang harus terjadi pasti terjadi, tak peduli setebal apa ketakutan kita.
Hal yang dibutuhkan adalah waspada, usaha dan upaya. Sangat penting waspada
dari segala macam keburukan, termasuk waspada dari penyakit dan virus. Amatlah
penting berusaha agar hari esok menjadi lebih baik daripada hari-hari
sebelumnya. Dan teramat penting mengupayakan dan melakukan segala kebaikan
sebagai bekal menyongsong kematian. Karena kalau sudah waktunya tiba, kematian
akan tetap menjemput manusia, walaupun yang bersangkutan berada di dalam
benteng paling tinggi nan kokoh sekalipun (Qs. An-Nisa: 78).
Perang melawan Covid-19 pada akhirnya menjadi
peperangan dengan makhluk yang tak terlihat secara kasatmata. Perang seperti
ini biasanya memakan waktu lama, termasuk walaupun sebagian wilayah di
Indonesia mulai memberlakukan kenormalan baru. Justru perang melawan Covid-19
bisa menjadi lebih sengit dengan kebijakan normal baru; apakah kita tetap awas
dan waspada atau justru terlena?
Sejatinya umat beragama tidak terlalu gugup apalagi
salah fokus dalam menghadapi musuh tak terlihat seperti ini. Karena umat
beragama senantiasa ditempa dalam menghadapi atau bahkan menaklukkan hal-hal
tak terlihat sekalipun. Kunci untuk semua ini adalah kesehatan tubuh secara
jasmani dan kesehatan jiwa secara rohani. Mari jaga imunitas tubuh kita. Mari
jaga imunitas spiritual kita hingga kita bisa memenangi perang melawan
Covid-19. []
KORAN SINDO, 03 Juli 2020
Hasibullah Satrawi | Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar