Rabu, 22 Juli 2020

Kang Komar: Ketuhanan dan Kemanusiaan

Ketuhanan dan Kemanusiaan

Oleh: Komaruddin Hidayat

 

Aktor utama dalam sejarah sesungguhnya adalah manusia.


Namun, dalam perjalanan hidupnya, manusia lalu meyakini, di balik semua realitas agung yang sangat kompleks dan tak bisa dipahami serta ditaklukkan oleh nalar ini pasti ada subyek lain yang lebih tinggi, lebih kuasa, dan lebih cerdas yang disebut Tuhan.

 

Dengan demikian, yang pada mulanya manusia merasa sebagai subyek primer dan paling super serta hebat dalam semesta ini lalu menempatkan dirinya sebagai makhluk yang mengada dan diadakan (contingent being) oleh aktor lain yang mahaada, yaitu Tuhan.

 

Namun, dalam sejarah selalu saja ditemukan sosok pemikir, saintis, filsuf, dan penguasa yang tak mau mengakui Tuhan. Dengan kecerdasan otaknya, mereka berpandangan kepercayaan kepada Tuhan itu gejala kelelahan dan ketidakmampuan berpikir memahami semesta ini secara empiris dan rasional.

 

Pemikir semacam ini tak bisa serta-merta dicap anti-Tuhan. Bisa jadi karena kecerdasan otaknya belum atau tak bisa menerima berbagai argumen tentang keberadaan dan kekuasaan Tuhan sehingga tak menempatkan faktor Tuhan dalam pengembaraan intelektualnya.

 

Bagi para teolog, baik Kristen maupun Islam, pemikiran kritis yang kadang menyerang bangunan argumen ketuhanan diyakini tak akan bisa membunuh dan melenyapkan agama dari muka bumi, melainkan justru sebagai masukan untuk mendewasakan pilihan imannya. Dalam tradisi teologi, nalar kritis bekerja untuk memperkuat argumen keimanannya, sedangkan tradisi filsafat dan sains, kekuatan nalar yang diutamakan. Iman kepada Tuhan bisa menyusul atau sama sekali tak ada tempat.

 

”Homo Deus”

 

Pengembaraan nalar kritis manusia telah mengantarkan dirinya mampu keluar dari kungkungan natur, lalu naik pada tataran kultur yang membuka pintu petualangan intelektual dan riset ilmiah yang tak bertepi. Sebuah peta jalan re-search, sebuah pencarian berulang-ulang dan tak henti dalam bentangan semesta yang didorong dahaga keingintahuan (curiousity). Oleh karena itu, manusia tidak saja disebut sebagai homo sapiens, tetapi juga homo faber, yaitu penduduk bumi yang pintar dan rajin mencipta peralatan hidupnya dengan modal keunggulan nalarnya.

 

Hasil petualangan pemikiran manusia yang berhasil membangun kaidah-kaidah sains sebagian lalu diaplikasikan untuk mengembangkan perangkat teknis sehingga secara teknikal hidup menjadi nyaman dan mudah dijalani. Keterbatasan jarak pendengaran diperpanjang oleh telepon, keterbatasan mata dibantu oleh teleskop, keterbatasan langkah kaki digantikan oleh kendaraan otomotif dan pesawat terbang, kelemahan memori otak digantikan oleh kecerdasan buatan, dan seterusnya.

 

Itu semua berkat perjalanan evolusinya berkembang melejit melampaui batas-batas natural dan instingtif lalu menjadi homo sapiens. Masyarakat modern yang maunya serba rasional, kapitalistik, dan hedonistik sangat menikmati prestasi teknologi ini sehingga merasa semua problem kehidupan bisa dianalisis, diterangkan, dan dipecahkan secara saintifik, tanpa bantuan agama.

 

Bahkan muncul imajinasi suatu saat nanti dengan kecerdasannya manusia bisa berevolusi bagaikan dewa. Kematian bisa dianalisis secara saintifik, misalnya sel-sel manakah yang menjadi penyebab kematiannya sehingga setelah teridentifikasi, akan bisa diatasi akar penyebabnya.

 

Dekade belakangan ini didukung oleh kemajuan ilmu biologi modern, saintis kontemporer bicara secara fasih dan penuh percaya diri tentang temuannya dalam bidang neurosains dan segala turunannya, antara lain berupa kecerdasan artifisial yang mendorong munculnya big data dan perangkat analisis algoritmanya. Kata algoritma sendiri berasal dari kata alhawarizmi, seorang sarjana ahli matematika kelahiran Persia tahun 780. Saat ini, big data telah menggeser berbagai asumsi dan kepercayaan spekulatif dalam dunia ilmu pengetahuan.

 

Apa yang disebut kebenaran mesti bersifat empiris, obyektif, bisa diukur, diketahui hukum sebab-akibatnya, tak disusupi mitos, meski sains sendiri tetap mengakui keterbatasannya. Di balik sikap yang kadang terkesan sombong dan penuh percaya diri, sains selalu berakhir open-ended, terbuka terhadap kritik agar berlangsung berkesinambungan dari generasi ke generasi dalam memahami fenomena alam tak bertepi.

 

Saintis yang selalu berinovasi menciptakan techne juga turut berbicara topik moralitas berdasarkan kajian mendalam berdasar big data mengenai apa yang dianggap baik dan buruk, yang berikan rasa bahagia dan sengsara, bagi kehidupan manusia. Wilayah moral tak lagi monopoli agama dan filsafat, sains ikut bicara urusan moralitas berdasar pendekatan empiris.

 

Agama dan spiritualitas

 

Agama merupakan ajaran wahyu dari Tuhan, dibawa oleh rasul-Nya, lalu ajarannya dihimpun dalam kitab suci yang pada urutannya melahirkan tradisi keagamaan yang dijaga dengan setia oleh umatnya. Beberapa ajaran pokok agama: percaya pada Tuhan, percaya pada keabadian jiwa, pada janji surga dan neraka, pedoman ritual, dan etika sosial.

 

Semua agama memiliki lima dimensi itu. Adapun spiritualitas ada yang berpandangan sebagai substansi keberagamaan. Mengingat Tuhan mahagaib dan imateri, pendekatan dan penghayatan kepada-Nya mesti naik pada tataran spiritual yang juga bersifat imateri atau rohani. Bentuk dan aktivitas lahiriah beragama hanya sekadar wadah dan ekspresi lahiriah, bukan substansinya.

 

Namun, ada pula yang berpandangan spiritualitas tak mesti dan tak selalu berkaitan dengan agama formal yang telah terlembagakan, yang diatur kitab suci. Banyak kalangan pemikir humanis mengaku tak bertuhan, tetapi mengakui dan menjunjung tinggi nilai-nilai spiritualitas yang diyakini sebagai sumber kebaikan budi, kelembutan hati, membuka ruang batin yang melampaui pengalaman nalar dan indera.

 

Ada juga yang mengakui Tuhan, tetapi tak mau masuk dan terikat aturan dan doktrin agama. Agama Buddha, misalnya, sangat menjunjung tinggi perjalanan jiwa untuk memperoleh pencerahan hidup, tetapi hampir tak mau mendiskusikan Tuhan. Kita pun tak bisa menuduh Buddha tak bertuhan.

 

Baginya, apa pun yang dibahas otak mengenai Tuhan tak lebih hanya proyeksi pikiran, tetapi tak akan mampu menjangkau realitas agung yang absolut sebagai sumber pencerahan jiwa karena keterbatasan pada pikiran manusia.

 

Makhluk penafsir

 

Aktor yang bertuhan adalah manusia. Dengan kebebasan yang dimiliki, seseorang bebas adakah mau percaya kepada Tuhan ataukah tidak. Begitu pun yang membangun sistem ilmu pengetahuan dan kebudayaan juga manusia. Capaian dalam membangun sistem pengetahuan dan kebudayaan itu pada urutannya disimpan dalam sistem tanda sehingga manusia juga disebut homo symbolicum.

 

Dunia ilmu pengetahuan adalah dunia simbolik yang menyimpan informasi keilmuan agar bisa disimpan lewat dokumen tulisan, lalu disebarkan dan diwariskan secara generasional. Di sini peran sistem tanda dengan bahasa dan tulisan sangat vital. Tanpa sistem tanda dan bahasa, semesta ini sulit dijelaskan dan distrukturkan dalam pikiran kita.

 

Bayangkan andaikan manusia mundur kembali ke alam hewani yang tak mengenal bahasa dan sistem tanda, kebudayaan dan ilmu pengetahuan tak akan berkembang seperti sekarang. Dalam bahasa Arab, semesta ini disebut alam yang berarti tanda (sign) yang menuntut pemahaman dan penafsiran di balik seluruh fenomena yang muncul di permukaan.

 

Dari hasil interogasi dan eksperimentasi manusia terhadap perilaku alam tersusunlah ilmu pengetahuan yang berisi hukum sebab-akibat. Alam adalah sebuah teks terbuka yang menyimpan hukum sebab-akibat yang menciptakan harmoni, tetapi terlalu sedikit yang bisa digali manusia.

 

Pemahaman terhadap hukum sebab-akibat yang matematis dan melekat pada alam merupakan fondasi sains modern, tetapi sains terbentur pertanyaan yang sulit dijawab, apa dan siapa penyebab kehadiran semesta yang mahabesar dan memiliki keteraturan dalam geraknya ini. Menghadapi kemacetan ini ada yang kemudian menemukan jawaban pada agama, ada yang puas pada mitologi, ada yang tetap menunggu perkembangan sains untuk menjawabnya.

 

Sadar akan posisi dirinya yang teramat kecil di lautan semesta yang tidak tahu garis tepinya, saintis mesti berpuas diri terhadap seluruh capaiannya, dengan harapan semua teka-teki yang belum dipecahkan akan terjawab oleh saintis generasi mendatang. Namun, ada pula yang berpandangan, wilayah sains dan ketuhanan merupakan wilayah yang berbeda sehingga tak perlu dikompetisikan dan diperhadapkan. Masing-masing bekerja pada arasy yang berbeda.

 

Yang pasti, manusia adalah interpreter being, hewan berakal yang memiliki kemampuan dan senang menafsirkan lingkungannya. Semesta ini hiperteks sebagaimana juga kitab suci adalah hiperteks, mengundang penafsiran tak berujung. Agenda riset keilmuan tak lain adalah serial penafsiran terhadap hasil penafsiran sebelumnya sehingga sesungguhnya dunia manusia dunia simbolik yang terdiri atas serial penafsiran atas penafsiran terhadap hiperteks yang hasilnya relatif, subyektif, dan sangat terbatas. Masih terlalu banyak misteri yang belum tersingkap nalar manusia.

 

Ketuhanan berperikemanusiaan

 

Adakah peran signifikan Tuhan dalam perkembangan sains dan kebudayaan? Nalar manusia hanya mampu membuat argumentasi keterlibatan Tuhan di dalamnya, tetapi tak akan mampu membuktikan secara empiris. Bagi orang beriman, sumber kehidupan ini daya roh yang ditiupkan Tuhan ke dalam tubuh manusia. Begitulah pernyataan Alkitab dan Al Quran.

 

Jika rouh telah lepas, seluruh instrumen kehidupan dalam diri manusia tak bisa bekerja lagi. Roh ini tak saja sebagai sumber kehidupan, tetapi juga lokus pancaran dan penetrasi cahaya kebenaran Tuhan agar manusia senantiasa ingat dan terhubung dengan sumbernya.

 

Roh ini telah mendorong munculnya the will to believe bagi setiap jiwa yang ingin menangkap kesejatian hidup di luar dunia materi. Jadi, roh jalan dan penuntun iman yang berpusat di hati, agar energi iman itu memberikan penyadaran dan makna moral dalam wilayah sains dan kebudayaan.

 

Sikap kebertuhanan dan sikap kemanusiaan tak bisa dipisahkan. Pancasila menempatkan ketuhanan sebagai sila pertama dan utama, diikuti sila kemanusiaan, sungguh merupakan gagasan dan sikap yang genius dan rendah hati. Hanya dengan kebeningan hati yang dipenuhi energi kasih sayang Tuhan, seseorang akan senantiasa terhubung dengan kesadaran dan getaran iman, baik dalam pengembaraan keilmuan maupun membangun peradaban.

 

Sekian banyak monumen sejarah peradaban manusia awalnya diinspirasi dan digerakkan oleh getaran iman. Berbagai universitas di Barat yang sekuler pun banyak yang awalnya didirikan karena panggilan iman.

 

Dalam konteks berpancasila, kebertuhanan yang selalu kita ucapkan baru valid jika termanifestasikan dalam agenda dan perilaku nyata dalam membela nasib sesama manusia, apa pun etnis dan agamanya. Sikap kebertuhanan yang membuahkan perikemanusiaan dan kebudayaan menuju terwujudnya keadilan dan kesejahteraan. []

 

KOMPAS, 6 Juli 2020

Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar