Kamis, 23 Juli 2020

(Ngaji of the Day) Renungan Imam al-Ghazali atas Ritus Ibadah Haji

Renungan Imam al-Ghazali atas Ritus Ibadah Haji


Musim haji belum lama berlalu. Jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia menyemut memenuhi Tanah Haram dan sekitarnya. Seluruhnya datang demi melengkapi rukun Islam kelima mereka. Meskipun, diakui atau tidak, tak sedikit orang zaman sekarang yang pergi haji bukan semata untuk beribadah, tetapi juga dilatari motif lain, semisal demi menaikkan elektabilitas ataupun status sosialnya. Akibatnya, ibadah haji yang begitu sakral jadi seolah kehilangan makna.

 

Ada ratusan ribu orang dari Indonesia yang melakukan ritual tahunan ini. Sebagian kecil dari mereka bahkan menunaikannya untuk yang ke sekian kali. Namun, apakah ibadah ini meningkatkan kualitas keberislaman pelaksananya? Agar tak sebatas menjadi ritus kosong, seseorang perlu merenungkan makna serangkaian ritual haji itu untuk kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Setali tiga uang dengan apa yang pernah dikatakan Imam al-Ghazali, fa inna kulla ahwâl al-hajj dalîl ‘alâ ahwâl al-âkhirah (setiap keadaan yang terdapat di dalam ibadah haji merupakan gambaran tentang keadaan di akhirat kelak). Karena itu, di dalam kitab Asrâr al-Hajj, beliau menyingkap beberapa rahasia di balik manasik haji.

 

Berazam Hendak Naik Haji

 

Imam al-Ghazali menyarankan setiap Muslim hendaklah memiliki keinginan kuat (azam) untuk berkunjung ke Baitullah dan dengan disertai niatan yang baik. Bukan dilandasi asa ingin dipuji orang atau menggapai popularitas sosial. Sebab, harus disadari betul bahwa ikhtiar menuju Baitullah berarti usaha untuk meraih suatu hal yang agung, sehingga wajar manakala cobaannya pun akan sedemikian berat. Dengan demikian, tanamkanlah azam ke Baitullah yang kokoh di dalam hati dan hati-hati jangan sampai salah niat.

 

Ber-tajarrud saat Berhaji

 

Al-tajarrud adalah tindakan meninggalkan atau melepaskan diri dari perkara-perkara zalim dan maksiat. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa jika orang yang berhaji tidak ber-tajarrud, talbiyah yang ia ucapkan menjadi nirmakna dan akan dipertanyakan: apa yang engkau tuju?

 

Sebab, kezaliman dan kemaksiatan berkebalikan dengan spirit lafal talbiyah yang berbunyi: Labbaikallâhumma labbaik, labbaika lâ syarîka laka labbaik, innal hamda wan ni‘mata laka wal mulk lâ syarîka lak (aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sungguh, segala puji, nikmat, dan segala kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu).

 

Seorang yang berhaji yang melepaskan dirinya dari kezaliman dan kemaksiatan, sebenarnya sedang melepaskan beban-beban yang menghambat perjalanannya menuju kedekatan dengan Tuhannya, dan itulah yang sebenarnya dia tuju.

 

Bekal yang Dibawa Berhaji

 

Selayaknya musafir pada umumnya, Anda yang pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sudah barang tentu mempersiapkan bekal perjalanan secukup mungkin. Gambaran bekal yang Anda bawa berhaji itu seumpama amal yang akan Anda bawa menempuh perjalanan akhirat di kemudian hari. Sebuah perjalanan yang jauh lebih lama dan amat berat daripada perjalanan haji Anda di kehidupan dunia ini.

 

Imam al-Ghazali mengandaikan, jikapun Anda minus bekal haji barangkali Anda tak begitu mencemaskannya, karena masih ada harapan Anda dibantu ataupun meminta bantuan orang lain. Akan tetapi, bagaimana jika Anda kekurangan amal di kala menempuh perjalanan akhirat nanti, niscaya tidak ada lagi yang dapat menolong Anda kecuali syafaat dari orang-orang tertentu yang Allah perkenankan.

 

Kendaraan yang Digunakan Berhaji

 

Imam al-Ghazali mengajak kita bersyukur kepada Allah yang telah menyediakan (menciptakan) kendaraan untuk kita pergunakan berangkat haji. Apalagi moda transportasi yang tersedia saat ini semakin memudahkan para jamaah haji. Namun, bagaimana perasaan kita apabila kendaraan yang kita gunakan tidak berhasil mengantarkan kita sampai ke tempat tujuan, atau kalau saja kendaraan tersebut justru membuat kita celaka?

 

Nah, kendaraan haji ini sebagaimana halnya jasad sebagai tunggangan ruhnya menuju alam akhirat. Jadi malang sekali ruh yang jasadnya tidak berhasil membawanya dekat kepada Tuhannya, malah menjerumuskannya ke dalam mara bahaya akhirat. Itu sebabnya Imam al-Ghazali mengingatkan kita supaya senantiasa ingat kepada Allah di sepanjang perjalanan hidup ini karena perihal kapan ajal itu tiba kita tidak tahu menahu. Siapa tahu sudah dekat.

 

Pakaian Ihram

 

Pakaian ihram merupakan kain putih polos tanpa jahitan yang dikenakan oleh para jamaah haji selama dalam pelaksanaan ibadah haji. Pakaian ihram itu serupa dengan kain kafan yang sama-sama polos tanpa jahitan. Cara pakainya juga hampir sama; bilamana kain ihram Anda kenakan dengan cara melilitkannya, pada saatnya nanti Anda dipakaikan kain kafan juga dengan cara dililitkan dan diikat. Makanya Imam al-Ghazali berpesan kepada Anda ketika membeli kain ihram, ingatlah bahwa kelak ketika Anda mati Anda akan dibungkus dengan kain kafan yang polos tak berjahit dan nihil kebanggaan serupa kain ihram itu.

 

Berangkat Haji

 

Pada waktu Anda berangkat haji, untuk sementara waktu Anda merelakan diri berpisah dengan sanak keluarga dan orang-orang terkasih Anda, serta meninggalkan harta benda dan jabatan yang Anda emban. Momen ini menjadi iktibar di kala ajal sudah menjemput Anda suatu saat nanti, Anda akan membiarkan tinggal semua itu selamanya. Saat itu tidak ada lagi yang patut Anda harapkan selain berhasil al-wushûl wa al-qabûl ila Allâh. Jadi, tanamkanlah dalam jiwa Anda tentang hakikat apa-siapa-ke mana tujuan Anda, tandas Imam al-Ghazali.

 

Masuk Miqat

 

Gambaran orang yang berhaji saat memasuki miqat sama dengan ilustrasi awal perjalanan akhirat di saat dia memasuki pos pemberhentian pada hari kiamat. Lalu, setelah itu dia akan memulai kehidupan pasca-kematian sebagaimana dia memulai prosesi ibadah hajinya. Di samping itu, dalam bahasan ini Imam al-Ghazali juga menyinggung gangguan-gangguan di jalan yang acap dijumpai para jamaah haji tempo silam. Seperti gendala para penyamun yang beliau ibaratkan sebagai pertanyaan Munkar dan Nakir, serta alangan binatang buas yang beliau takwilkan seumpama siksa kubur. Barangkali untuk konteks kekinian gangguan semacam penyamun dan binatang buas masih tetap ada tetapi tentu dalam bentuk yang berbeda.

 

Masuk Makkah

 

Imam al-Ghazali mengumpamakan jamaah haji manakala memasuki Makkah laksana orang-orang yang sedang memasuki jalan menuju Tuhan mereka sembari mengharap selamat dari segala siksa-Nya. Sebuah syair Arab mengatakan, al-kurm ‘amîm (kedermawanan adalah kesempurnaan), wa al-rabb rahîm (Tuhan ialah Yang Mahapengasih), wa sharaf al-bayt ‘adhîm (kemuliaan Baitullah amatlah besar), wa haqq al-zâ’ir mar‘iyy (hak para peziarah dijaga selalu), wa dimâm al-mustajîr al-lâ’iz ghayr mud}î‘ (dan darah orang yang meminta perlindungan tidak pernah disia-siakan).

 

Melihat Ka’bah

 

Di kala orang yang berhaji kesampaian melihat Baitullah secara langsung, di situlah momentum baginya membatinkan harapannya dapat melihat Allah di hari kiamat. Karena menurut Imam al-Ghazali, sesungguhnya orang itu bagaikan orang yang sudah hampir masuk surga tapi kemudian dia kadang kala terlalaikan dunia hingga berujung neraka. Dari itu maka ada orang yang ibadah hajinya diterima (mabrûr) dan ada yang ditolak (mardûd).

 

Tawaf Mengelilingi Ka’bah

 

Orang yang sedang tawaf memutari Ka’bah diserupakan dengan malaikat muqarrabîn yang tawaf mengelilingi ’arsy. Sesuai dengan hadis, man tashabbaha biqawm fahuwa minhum (siapa saja yang menyerupai suatu kaum, dia termasuk bagian dari mereka). Adapun tawaf yang baik, kata Imam al-Ghazali, adalah yang dilakukan dengan raga sekaligus jiwa yang mengingat Sang Penguasa Jagat Raya sehingga yang tawaf bukan badaniahnya saja.

 

Istilâm Hajar Aswad

 

Melakukan istilâm (mencium atau mengusap) Hajar Aswad itu ibarat Anda sedang berbaiat kepada Allah. Imam al-Ghazali menegaskan bahwa barang siapa yang tidak melakukan baiat, berhak mendapat siksa-Nya.

 

Menyentuh Penutup Ka’bah dan Menempel di Multazam

 

Sebetulnya menyentuhkan tangan pada penutup Ka’bah dan menempelkan diri di multazam dilakukan atas dasar cinta dan kerinduan terhadap Yang Empunya Ka’bah dan multazam, serta dalam rangka ngalap berkah. Bahkan, Imam al-Ghazali mengibaratkannya semisal seseorang yang memiliki salah pada orang lain, lalu dia mendekati orang itu untuk meminta maafnya. Mafhumnya berarti seharusnya Anda melakukan kedua hal itu sambil memohon ampunan Allah selaku Yang Empunya Ka’bah dan multazam.

 

Sai dari Safa ke Marwa

 

Orang yang melaksanakan sai dari Safa ke Marwa ibarat orang yang mondar-mandir di antara kedua ujung mizan (neraca Tuhan) pada hari perhitungan amal manusia. Dia ragu atas apa yang akan diputuskan Tuhan terhadap dirinya; apakah amalnya akan diterima ataukah ditolak; apakah dosanya akan diampuni atau tidak. Begitu penjelasan Imam al-Ghazali.

 

Melempar Jumrah

 

Seyogianyanya niat melempar jumrah sebagaimana ketulusan niat Nabi Ibrahim tatkala didatangi dan digoda iblis pada peristiwa penyembelihan Nabi Ismail, putranya. Lantas, Allah memerintahkan beliau agar melempari iblis dengan batu sebagai simbol penolakan beliau atas godaan dan ajakan maksiat dari iblis tersebut. Oleh karena itu, Imam al-Ghazali menekankan supaya Anda melempar jumrah itu lantaran Anda semata-mata mematuhi perintah Allah.

 

Wukuf di Arafah

 

Wukuf di arafah merupakan inti atau penentu kesahihan haji seseorang. Di sisi lain, berkumpulnya seluruh jamaah haji sewaktu wukuf di Arafah sebagai gambaran situasi kelak di padang mahsyar. Ketika itu seluruh umat manusia berkumpul di sana mengikuti nabinya masing-masing sambil mengharap-harap syafaat dari mereka. Maka itu takutlah kepada Allah dan bertakwalah kepada-Nya agar Dia menakdirkan kita tergolong orang-orang yang selamat dari siksa-Nya. Demikian pungkas Imam al-Ghazali. Wallâhu a‘lam bi al-shawâb. []

 

Ahmad Rijalul Fikri, Santri Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Mahasiswa di Pascasarjana Universitas Ibrahimy Sukorejo Situbondo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar