Senin, 27 Juli 2020

(Buku of the Day) Pedoman Berpolitik Warga NU

Rambu-rambu Politik Warga NU

 

Judul                : Pedoman Berpolitik Warga NU

Penulis             : Muh. Hanif Dhakiri

Tahun Terbit      : Cetakan Empat, Juli 2018

ISBN                 : 978-602-8995-45-0

Penerbit            : Pustaka Pesantren

Tebal                : xvi + 60 Halaman

Peresensi          : Nuvilu Usman Alatas, pustakawan Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa sekaligus Mahasiswa Instika

 

“Politik itu kotor, politik itu najis”. Kalimat ini sering kita dengar dari banyak orang ketika ditanya seputar dunia politik. Tapi benarkah pernyataan tersebut? Bagaimana dengan warga NU yang berada dalam pusaran elit politik, apakah mereka juga akan kecipratan kotor? Bagaimana esensi khittah NU 1926? Buku ini hadir sebagai jawaban atas persoalan tersebut guna memberikan penerangan atas paradigma negatif yang muncul ditengah-tengah masyarakat mengenai keterlibatan warga NU dalam kancah perpolitikan.


Dalam sebuah teori klasik yang dicetuskan oleh Aristoteles, politik dimaknai sebagai usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Terciptanya kebaikan ini merupakan tanggung jawab kita bersama. Bukan semata tanggungjawab pemerintahan. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa berpolitik adalah wajib. Tidak hanya sebatas pada politik struktural, juga dalam skala non struktural. Selaras dengan yang disampaikan oleh KH Dimyati Rois (Pengasuh PP Al-Fadlu Wal Fadhilah, Kaliwungu, Kendal) dalam tulisan pengantarnya di buku ini, bahwa berpolitik hukumnya fardu ‘ain.


Pada dasarnya, jika ditelaah secara rinci dan mendalam, politik bukanlah sesuatu yang buruk. Hanya saja karena disosialisasikan secara massif oleh media, sehingga kesan buruk mengenai politik menjadi persepsi umum di masyarakat (Hlm. 1). Anggapan buruk dunia politik sebenarnya merupakan asumsi yang berasal dari pemikir barat Lord Acton, yang mengatakan power tend to corrupt, Politik atau kekuasaan adalah cenderung korupsi (Hlm. 4).


Memang perbuatan korup dalam panggung politik bukan hal yang baru. Tapi juga bukan alasan untuk menjustisfikasikan dunia politik adalah dunia korup. Jika ada politisi ketahuan korup, bukan lantas dunia politik adalah dunia korup. Perbuatan korup suatu oknum tidak bisa dijadikan alasan untuk menggeneralisasikan dunia politik adalah buruk.

 

Kemudian, bagaimana agar warga NU tidak ikut terjerumus dan menjadi bagian dari parasit politik. Pertama yang perlu diluruskan adalah niat dan tujuan berpolitik. Seorang politisi ialah menyerahkan hidup secara totalitas untuk mengabdi kepada masyarakat (Hlm. 7). Pengabdian maupun pengayoman ini tidak boleh pandang bulu, baik dari segi agama, ras maupun suku. Harus bisa merangkul kemajemukan yang terkandung dan menjadi kekayaan bangsa ini, untuk kemudian dibingkai secara baik dan proporsional.


Wahana politik bagi warga NU tiada lain ialah sebagai sarana untuk jihad mempertahankan dan memperjuangkan aqidah ahlus sunnah wal jamaah (Hlm. 10). Dalam politik terbuka kondisi atau peluang untuk mempertahankan agama dan aqidah. Hal ini sesuai dengan argumen al-Mawardi dalam magnum opusnya al-Ahkam as-Shulthaniyah wal Wiladatu ad-Diniyah bahwa kekuasaan dalam politik merupakan pengganti dari kenabian untuk menjaga agama dan mengatur dunia (Hlm. 21).

 

Pada zaman dahulu, agama dan ketertiban bisa dipegang oleh seorang nabi atau rasul. Setelah para nabi dan rasul telah tiada, politiklah yang menjadi estafet perjuangan dalam menjaga agama dan ketertiban tersebut.


Dalam buku ini juga disinggung mengenai esensi dari khittah NU yang seringkali disalah pahami oleh kalangan umum, bahwa NU tidak boleh atau harus steril dari aroma politik praktis. Namun sebelum memaknai dan memahami khittah NU, terlebih dahulu haruslah memahami latar belakang lahirnya khittah tersebut. Memahami khittah diluar konteksnya akan mengakibatkan pemaknaan yang fatal.


Menurut KH Hasyim Muzadi, lahirnya khittah dilatar belakangi oleh kondisi sosial politik Orde Baru yang otoriter, sentralistik dan monolitik. Ormas hanyalah panggung opera. Partai politik hanya penggenap saja. Inti kekuasaan sepenuhnya ada ditangan presiden yang mendapat dukungan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pada masa itu, partai politik manapun tidak bisa membentuk kekuasaan, karena semua jaringan telah dikuasai oleh pemerintah.


Melihat hal tersebut, kiai-kiai NU mengambil keputusan bahwa NU keluar dari partai politik dengan doktrin kembali ke khittah. Partai politik sudah tidak bisa dijadikan jembatan untuk menitipkan aspirasi politik, tidak akan memberikan pengaruh terhadap kediktatoran rezim pemerintahan (Hlm. 31).


Setelah kekuasaam Orde baru runtuh, pada muktamar NU yang diletakkan di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur tahun 1999. Secara resmi NU memutuskan dan menganjurkan warga NU untuk menyalurkan aspirasi politiknya (Hlm. 33). Hal ini karena dunia politik telah terbebaskan dari belenggu-belenggu keotoriteran pemerintah Orde Baru dan peluang menitipkan aspirasi lewat sarana politik mulai bisa diandalkan.

 

Buku ini memberikan pemahaman dan pedoman kepada warga NU mengenai cara berpolitik yang baik dan benar, agar tidak melenceng dari rel NU. NU dan politik tidak saling bertentangan. Politik merupakan salahsatu sarana untuk mempertahankan agama dan aqidah Ahlussunnah wal Jamaah. Agama dan aqidah tidak akan berjalan dan bertahan dengan baik jika negara tidak baik (kacau).


Ketertiban suatu negara menjadi syarat mutlak umat Islam bisa menjalankan agama dengan aman dan nyaman. Sudah saatnya warga NU harus menjadi pemain dalam gelanggang politik dengan tetap memegang prinsipnya sebagai warga NU. Wallahu a’lam. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar