Rambu-rambu Politik Warga NU
Judul : Pedoman Berpolitik Warga NU
Penulis : Muh. Hanif Dhakiri
Tahun Terbit : Cetakan Empat, Juli 2018
ISBN : 978-602-8995-45-0
Penerbit : Pustaka Pesantren
Tebal : xvi + 60 Halaman
Peresensi : Nuvilu Usman Alatas, pustakawan Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa sekaligus Mahasiswa Instika
“Politik itu kotor, politik itu najis”. Kalimat ini sering kita dengar dari banyak orang ketika ditanya seputar dunia politik. Tapi benarkah pernyataan tersebut? Bagaimana dengan warga NU yang berada dalam pusaran elit politik, apakah mereka juga akan kecipratan kotor? Bagaimana esensi khittah NU 1926? Buku ini hadir sebagai jawaban atas persoalan tersebut guna memberikan penerangan atas paradigma negatif yang muncul ditengah-tengah masyarakat mengenai keterlibatan warga NU dalam kancah perpolitikan.
Dalam sebuah teori klasik yang dicetuskan oleh Aristoteles, politik dimaknai
sebagai usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama. Terciptanya kebaikan ini merupakan tanggung jawab kita bersama. Bukan
semata tanggungjawab pemerintahan. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa
berpolitik adalah wajib. Tidak hanya sebatas pada politik struktural, juga
dalam skala non struktural. Selaras dengan yang disampaikan oleh KH Dimyati
Rois (Pengasuh PP Al-Fadlu Wal Fadhilah, Kaliwungu, Kendal) dalam tulisan
pengantarnya di buku ini, bahwa berpolitik hukumnya fardu ‘ain.
Pada dasarnya, jika ditelaah secara rinci dan mendalam, politik bukanlah
sesuatu yang buruk. Hanya saja karena disosialisasikan secara massif oleh
media, sehingga kesan buruk mengenai politik menjadi persepsi umum di
masyarakat (Hlm. 1). Anggapan buruk dunia politik sebenarnya merupakan asumsi
yang berasal dari pemikir barat Lord Acton, yang mengatakan power tend to
corrupt, Politik atau kekuasaan adalah cenderung korupsi (Hlm. 4).
Memang perbuatan korup dalam panggung politik bukan hal yang baru. Tapi juga
bukan alasan untuk menjustisfikasikan dunia politik adalah dunia korup. Jika
ada politisi ketahuan korup, bukan lantas dunia politik adalah dunia korup.
Perbuatan korup suatu oknum tidak bisa dijadikan alasan untuk
menggeneralisasikan dunia politik adalah buruk.
Kemudian, bagaimana agar warga NU tidak ikut terjerumus dan menjadi bagian dari parasit politik. Pertama yang perlu diluruskan adalah niat dan tujuan berpolitik. Seorang politisi ialah menyerahkan hidup secara totalitas untuk mengabdi kepada masyarakat (Hlm. 7). Pengabdian maupun pengayoman ini tidak boleh pandang bulu, baik dari segi agama, ras maupun suku. Harus bisa merangkul kemajemukan yang terkandung dan menjadi kekayaan bangsa ini, untuk kemudian dibingkai secara baik dan proporsional.
Wahana politik bagi warga NU tiada lain ialah sebagai sarana untuk jihad
mempertahankan dan memperjuangkan aqidah ahlus sunnah wal jamaah (Hlm. 10).
Dalam politik terbuka kondisi atau peluang untuk mempertahankan agama dan
aqidah. Hal ini sesuai dengan argumen al-Mawardi dalam magnum opusnya al-Ahkam
as-Shulthaniyah wal Wiladatu ad-Diniyah bahwa kekuasaan dalam politik merupakan
pengganti dari kenabian untuk menjaga agama dan mengatur dunia (Hlm. 21).
Pada zaman dahulu, agama dan ketertiban bisa dipegang oleh seorang nabi atau rasul. Setelah para nabi dan rasul telah tiada, politiklah yang menjadi estafet perjuangan dalam menjaga agama dan ketertiban tersebut.
Dalam buku ini juga disinggung mengenai esensi dari khittah NU yang seringkali
disalah pahami oleh kalangan umum, bahwa NU tidak boleh atau harus steril dari
aroma politik praktis. Namun sebelum memaknai dan memahami khittah NU, terlebih
dahulu haruslah memahami latar belakang lahirnya khittah tersebut. Memahami
khittah diluar konteksnya akan mengakibatkan pemaknaan yang fatal.
Menurut KH Hasyim Muzadi, lahirnya khittah dilatar belakangi oleh kondisi
sosial politik Orde Baru yang otoriter, sentralistik dan monolitik. Ormas
hanyalah panggung opera. Partai politik hanya penggenap saja. Inti kekuasaan
sepenuhnya ada ditangan presiden yang mendapat dukungan dari Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pada masa itu, partai politik manapun
tidak bisa membentuk kekuasaan, karena semua jaringan telah dikuasai oleh
pemerintah.
Melihat hal tersebut, kiai-kiai NU mengambil keputusan bahwa NU keluar dari
partai politik dengan doktrin kembali ke khittah. Partai politik sudah tidak
bisa dijadikan jembatan untuk menitipkan aspirasi politik, tidak akan
memberikan pengaruh terhadap kediktatoran rezim pemerintahan (Hlm. 31).
Setelah kekuasaam Orde baru runtuh, pada muktamar NU yang diletakkan di
Lirboyo, Kediri, Jawa Timur tahun 1999. Secara resmi NU memutuskan dan menganjurkan
warga NU untuk menyalurkan aspirasi politiknya (Hlm. 33). Hal ini karena dunia
politik telah terbebaskan dari belenggu-belenggu keotoriteran pemerintah Orde
Baru dan peluang menitipkan aspirasi lewat sarana politik mulai bisa
diandalkan.
Buku ini memberikan pemahaman dan pedoman kepada warga NU mengenai cara berpolitik yang baik dan benar, agar tidak melenceng dari rel NU. NU dan politik tidak saling bertentangan. Politik merupakan salahsatu sarana untuk mempertahankan agama dan aqidah Ahlussunnah wal Jamaah. Agama dan aqidah tidak akan berjalan dan bertahan dengan baik jika negara tidak baik (kacau).
Ketertiban suatu negara menjadi syarat mutlak umat Islam bisa menjalankan agama
dengan aman dan nyaman. Sudah saatnya warga NU harus menjadi pemain dalam
gelanggang politik dengan tetap memegang prinsipnya sebagai warga NU. Wallahu
a’lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar