Senin, 27 Juli 2020

Zuhairi: Pelajaran dari Krisis Politik Suriah

Pelajaran dari Krisis Politik Suriah

Oleh: Zuhairi Misrawi

 

Sembilan tahun lalu, krisis politik bergelayut di Suriah. Bermula dari badai "musim semi" yang berhasil menghempaskan rezim diktator di Tunisia dan Mesir. Kelompok oposisi Suriah yang bermukim di Homs mulai meneriakkan gerakan perlawanan untuk melengserkan rezim Bashar al-Assad. Mereka ingin nasib al-Assad seperti Ben Ali di Tunisia, dan Hosni Mubarak di Mesir yang lebih dahulu tumbang.

 

Pada mulanya, kelompok oposisi yang melakukan perlawanan politik di Suriah merupakan jaringan Ikhwanul Muslimin Suriah yang berpusat di Mesir. Hubungan mereka dengan rezim al-Assad yang berhaluan sosialis sangat buruk. Tidak hanya di Suriah, tapi hampir di seluruh negara Timur-Tengah, Ikhwanul Muslimin sebagai gerakan transnasional mempunyai ambisi kuat menggulingkan rezim, sehingga mereka dapat membangun imperium (khilafah), sebagaimana dicita-citakan oleh Hasal al-Banna dan Sayyed Quthub.

 

Di Suriah, Ikhwanul Muslimin juga kerap menggunakan kekerasan untuk melakukan perlawanan politik, bahkan pemberontakan terhadap rezim al-Assad. Sebab itu, rezim Bashar al-Assad tidak mempunyai cara lain, kecuali juga menggunakan cara-cara yang serupa untuk melawan jaringan Ikhwanul Muslimin tersebut. Dan sebagaimana di negara-negara Timur-Tengah lainnya, Ikhwanul Muslimin kerap mengalami kekalahan karena mereka tidak pernah mau belajar untuk menggunakan cara-cara yang elegan.

 

Benturan dan konflik yang dilakukan Ikhwanul Muslimin dengan rezim yang sah sangat tidak menguntungkan Ikhwanul Muslimin. Mereka selalu takluk ketika berhadapan dengan rezim yang sah, lebih-lebih ketika berhadapan dengan rezim tentara. Perjuangan Ikhwanul Muslimi yang kerap menggunakan kekerasan, termasuk melalui pembunuhan dan bom bunuh diri menyebabkan mereka tidak mempunyai nafas panjang. Perjuangan Ikhwanul Muslimin kerap layu sebelum merekah, tumbang sebelum berkembang.

 

Di Mesir, baru-baru ini Lembaga Fatwa Mesir (Dar al-Ifta' al-Mishriyyah) menyebut Ikhwanul Muslimin sebagai Neo-Khawarij (khawarij al-'ashr) dan musuh utama Mesir, karena mereka kerap menebarkan kerusakan di Mesir dengan mengatasnamakan agama. Sejak berdiri pada tahun 1928, Ikhwanul Muslimin tidak pernah mengetengahkan sumbangsih apapun bagi negara dan agama.

 

Pasca-tumbangnya rezim Hosni Mubarak, Ikhwanul Muslimin sebenarnya mempunyai kesempatan untuk memperbaiki citra mereka yang selama ini identik dengan kekerasan dan visi imperium khilafah. Tetapi mereka tidak bisa bertahan lama karena tidak mau berkompromi dengan berbagai entitas politik dan masyarakat politik di Mesir. Mereka ingin melakukan "ikhwanisasi" dalam berbagai lapisan masyarakat, termasuk al-Azhar sebagai benteng moderasi Mesir dan dunia Islam.

 

Akibatnya, rezim Ikhwanul Muslimin tumbang setelah mendapatkan perlawanan dari berbagai kelompok politik, agama, dan masyarakat sipil, yang dipelopori oleh faksi militer. Dan akhirnya Mesir kembali ke khitah, rezim militer.

 

Kembali ke Suriah, apa yang dilakukan Ikhwanul Muslimin tidak lantas membawa Suriah pada perubahan. Alih-alih mewujudkan perubahan yang lebih baik, situasi yang terjadi sekarang justru sangat miris. Suriah terlibat dalam perang sipil yang berkepanjangan. Suriah yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu primadona Timur-Tengah karena keindahan dan keramahtamahan warganya berubah menjadi kota hantu akibat perang sipil, dan perang melawan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS).

 

Propaganda dan narasi yang dibangun oleh Ikhwanul Muslimin melalui berbagai laman media sosial, khususnya Facebook, Twitter, Instagram, dan Telegram dengan membangun narasi sektarian antara Sunni dan Syiah makin memperburuk situasi. Hal tersebut menyebabkan ISIS, al-Qaeda, dan Hizbut Tahrir mengacak-acak Suriah, hingga menyebabkan Suriah berada dalam kubangan konflik dan perang yang tidak berakhir. Hampir 500.000 warga tewas akibat perang sipil, 1.000.000 warga luka-luka, dan 12.000.000 warga mengungsi.

 

Konflik politik di Suriah melebar menjadi perseteruan besar antara kubu Amerika Serikat dan kubu Rusia. Amerika Serikat menggunakan seluruh kekuatan dan jaringan, termasuk memasok senjata terhadap kelompok teroris di Suriah untuk melawan rezim Bashar al-Assad. Meskipun demikian, rezim al-Assad masih terus bertahan, bahkan semakin kuat karena mendapatkan dukungan kuat dari Rusia, China, Iran, dan Hizbullah Libanon.

 

Apa yang terjadi di Suriah di atas mestinya menjadi perhatian kita bersama. Kita harus waspada terhadap tumbuhnya kelompok-kelompok yang mengusung ideologi transnasional yang hendak mendirikan khilafah dengan agenda Neo-Khawarij. Mereka menggunakan media sosial, sebagaimana upaya untuk membangun opini publik dengan terus menciptakan kegaduhan, provokasi, dan fitnah.

 

Kita beruntung mempunyai Pancasila sebagai dasar negara yang telah mempersatukan kita sebagai bangsa. Kita telah bersama-sama mencapai kesepakatan (mitsaqan ghalidhan) untuk membangun negara untuk semua kelompok, apapun agama, keyakinan, suku, bahasa, dan aliran politik.

 

Dalam berbagai peristiwa politik yang disertai dengan friksi dan konflik yang tajam sekalipun, kita selalu mampu keluar dari problem yang mahapelik sekalipun. Dan itu karena cahaya dan pesona Pancasila yang selalu membangkitkan kesadaran kolektif dan kearifan sebagian besar warga, bahwa kita mempunyai modal ideologis-filosofis yang kuat dalam berbangsa dan bernegara.

 

Maka dari itu, kita mesti waspada terhadap berbagai upaya dari kelompok yang ingin merongrong kebersamaan dan komitmen bersama terhadap Pancasila. Di masa lalu dalam sejarah Islam ada pelajaran yang sangat berharga, yaitu Khawarij. Kelompok ini kerapkali menggunakan klaim kedaulatan Tuhan (hakimiyyatullah) untuk memuluskan ambisi kuasanya, meski kadang menggunakan jalan fitnah, kekerasan, dan provokasi. Mereka pada akhirnya tidak mampu berkembang karena gerakannya selalu melawan fitrah kemanusiaan dan kebangsaan.

 

Walhasil, kita perlu belajar dari apa yang terjadi di Suriah dan negara-negara Arab lainnya. Kita sudah mempunyai Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa. Masalah kita tidak lagi sedang menyoal ideologi dan dasar negara, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok-kelompok transnasional, seperti Ikhwanul Muslimin, al-Qaeda, ISIS, dan Hizbut Tahrir di berbagai negara Timur-Tengah, dan mereka coba lakukan di negeri ini.

 

Tugas kita sebagai warga bangsa yaitu bersama-sama dan bergotong-royong royong untuk membumikan Pancasila dalam kehidupan nyata, sehingga betul-betul dapat memberikan perlindungan bagi seluruh warga-bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan perdamaian dunia. Semoga kita terus menjadi bangsa pembelajar dan terus berjuang untuk mewujudkan kemajuan. Kita semua yakin, bahwa Indonesia bukan Suriah. []

 

DETIK, 09 Juli 2020

Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar