Jejak dan Derap Peradaban Islam
Al-Biruni: Peletak Dasar Metode Ilmiah
Oleh: Nasaruddin Umar
Al-Biruni yang bernama lengkap Abu Al-Raihan Muhammad ibn Ahmad ibn al-Biruni, lahir di Kath, Khwarismi, Iran. Ia termasuk pengembara ke berbagai pelosok dunia untuk melakukan ekpedisi ilmiah. Ia amat terkesan ketika ia mengikuti perjalanan Sultan Mahmud ke India. Di sana ia mempelajari bahasa Sansekerta dan berbagai hal mengenai India. Ia disebut oleh George Sarton (1952) sebagai Leonardo da Vinci-nya Islam. Bahkan Ajram (1992) menyebutnya jauh lebih hebat dari pada da Vinci. Menurut Ajram (1992) karya monumental Al-Biruni mencapai 13.000 halaman, belum termasuk karya-karya lainnya yang hilang. Ajran menyayangkan dunia Barat menyembunyikan atau setengah hati memberikan pengakuan para ilmuan muslin di abad pertengahan, di antara abad ke 8-14. Yang menyedihkan ialah karya-karya mereka diplagiasi oleh sejumlah ilmuan Barat, termasuk Reger Bacon, yang kredibilitas keilmuannya menurun derastis setelah ketahuan karyanya hampir terjemahan penuh dari kaerya Optik Al-Haitsam.
Al-Biruni betul-betul mengesankan dunia keilmuan Barat sehingga ia pernah diberi berbagai gelar akademik, termasuk Word's First Great Experimenter. Di antara temuan Al-Biruni dalam dunia Fisika pengukuran berat jenis (specific gravity) berbagai zat dengan hasil perhitungan yang cermat dan akurat. Namun yang lebih penting lagi ialah Piknometer, suatu alat yang digunakan untuk berat jenis cairan berupa gelas bulat. Alat ini selain murah juga cukup mudah untuk dioperasikan. Temuan lainnya, Elemen Astrologi menjadi teks standar dalam dalam Quadrivium selama berabad-abad hingga sekarang.
Prestasi paling gemilang Al-Biruni ialah jasanya meletakkan dasar-dasar metode ilmiah modern. Dasar-dasar metodologi itu meliputi bidang matematika, astronomi, geografi, geologi, kimia, sejarah, dan perbandingan agama. Cabang matematika yang dikuasai Al-Biruni ialah geometri dan trigonometri yang pernah mendapatkan pengakuan dari UNESCO (1986). Prestasi Al-Biruni diganbarkan oleh S.H.Nasr: "Tidak seorang pun dalam Islam yang menggabungkan kualitas seorang saintis besar dengan cendekiawan yang cermat, penyusun, dan sejarawan setingkat dengan Al-Biruni". Menurut Ajram, tanpa temuan-temuan Al-Biruni tidak mungkin ada Galileo, Copernikus, dan Newton.
Yang tak
kalah monumental temuan Al-Biruni ialah perhitungan keliling bumi. Sulit kita
bayangkan pada abad ke 11 M, satu millennium lalu, ada orang yang mampu
mengukur putaran keliling bumi dengan menggunakan data jari-jari bumi.
Sementara ketika itu dari kalangan gereja masih memperdebatkan apakah bumi itu
bulat atau datar. Al-Biruni saat itu sudah melakukan perhitungan keliling bumi
dengan menggunakan pendekatan perhitungan trigonometri. Karya Al-Biruni saat
itu langsung mematikan anggapan yang mengatakan bahwa bumi itu laksana tikar
terbentang luas. Karena ia mengasumsikan bumi seperti bola maka dengan data
geologi Al-Biruni dapat menentukan tinggi puncak gunung yang merupakan titik
tertinggi yang diukur dari atas permukaan laut. Ia menemukan bahwa lingkaran O
merupakan titik pusat bumi. Titik A adalah titik di permukaan bumi yang menjadi
kaki gunung yang tertinggi. Titik B adalah titik di permukaan bumi yang
merupakan titik singgung garis PS pada lingkaran permukaan bumi. Titik A dan B
yang ketinggiannya
sama pada bidang permukaan laut, yang dipilih menjadi acuan pengukuran
ketinggian suatu posisi dari permukaan bumi (h=0). Garis AP = tinggi gunung
(h). Garis OB yang ditarik dari pusat bumi (O)adalah garis tegak lurus dengan
garis PS, karena sesuai dalil geometri, garis yang menyinggung lingkaran akan
tegak lurus denagn jari-jari lingkaran yang melalui titik singgung garis
tersebut dengan lingkaran (titk B).
Teori Al-Biruni ini digunakan untuk merancang alat yang lebih memudahkan melakukan berbagai macam perhitungan dalam dunia fisika. Ia sendiri turun tangan menguji akurasi setiap peralatan yang durancangnya. Ternyata teori Al-Biruni juga digunakan untuk mengukur ketinggian pegunungan Himalaya yang rata-rata ketinggian puncaknya sekitar 6000 M, dengan puncak ketinggian Mount Everest (9000 M) dan pegunungan Hindu Kush, Afganistan yang tingginya 7000 M. (Lihat dalam Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, 2011). []
DETIK, 03 Juni 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar