Krisis Kepemimpinan Memerlukan Kabinet Krisis
Oleh: Fadli Zon
TERUS terang saya prihatin menonton pidato kemarahan
Presiden di hadapan para menteri dan beberapa pimpinan lembaga tinggi negara.
Kemarahan itu sebenarnya disampaikan pada pembukaan sidang kabinet paripurna di
Istana Negara, 18 Juni 2020 lalu. Namun, rekamannya baru diunggah oleh
Sekretariat Presiden pada 28 Juni 2020 kemarin.
Ada dua sumber keprihatinan saya.Pertama, sebagai
pemimpin, Presiden mestinya mengerti bahwa adab seorang pemimpin adalah
bertanggung jawab atas kesalahan anak buahnya. Dengan mengumbar pidato
marah-marah tersebut, Presiden bukan hanya telah mempermalukan anak buahnya,
tapi juga sedang mempermalukan dirinya sendiri sebagai pemimpin.
Kalau dia menyebut menterinya tak becus bekerja,
sementara Presiden sendiri tidak melakukan langkah apapun untuk menghentikan,
atau memutus ketidakbecusan itu, bahkan sesudah lebih dari seminggu rapat
kabinet tadi berlangsung, secara tak langsung Presiden sedang menunjukkan
ketidakcakapannya dalam memilih, mengelola, serta mengontrol kinerja para menterinya.
Apalagi, sejak awal Presiden sudah menegaskan tidak
ada yang disebut visi/misi menteri, yang ada hanyalah visi/misi Presiden.
Artinya, semua menteri seharusnya berada di bawah pengawasan dan kendalinya.
Kedua, masih terkait prinsip dasar kepemimpinan,
mengkritik, menegur, atau memarahi anak buah di muka publik bukanlah sebuah
tindakan yang patut. Pemimpin memang boleh menegur, bahkan hingga
sekeras-kerasnya pada anak buah, atau memarahi mereka sekasar-kasarnya, namun
semua itu seharusnya dilakukan di ruang tertutup.
Sebaliknya, dalam urusan prestasi, jika anak buahnya
cakap maka seorang pemimpin seharusnya memuji anak buahnya di ruang terbuka.
Selain sebagai bentuk apresiasi, hal itu juga untuk mendongkrak wibawa
kepemimpinannya. Dengan kata lain, cara seorang pemimpin meninggikan dirinya
sendiri adalah dengan meninggikan anak buahnya. Sebaliknya, jika seorang
pemimpin merendahkan anak buahnya, maka sebenarnya dia sedang merendahkan diri
sendiri.
Kenapa isu adab kepemimpinan ini perlu kita anggap penting,
karena kunci utama menghadapi dan menangani krisis adalah kepemimpinan. Seperti
pernah saya singgung beberapa waktu lalu, saya setuju dengan pernyataan Jeffrey
Sachs bahwa untuk menghadapi pandemi dan krisis yang mengikutinya, dibutuhkan
sebuah kepemimpinan yang cakap, yaitu para pemimpin yang bisa memobilisasi
sumber daya nasional untuk merespon bencana dan krisis. Hanya pemimpin cakap
yang akan bisa membawa sebuah negara keluar dari krisis dan pandemi.
Itulah yang menjelaskan kenapa Jerman dan Selandia
Baru, misalnya, berhasil mengatasi pandemi, sementara Amerika Serikat nampak
kalang kabut menghadapi Covid-19. Itu tak terlepas dari soal kepemimpinan.
Menurut saya kemarahan dalam rapat paripurna kabinet
itu merupakan ekspresi rasa frustrasi Presiden dalam menghadapi situasi krisis
saat ini. Tapi kemarahan itu tidak ada gunanya buat rakyat, kecuali hanya bagi
pribadi Presiden.
Ketika Presiden mengeluhkan tak adanya langkah
‘extraordinary’ dalam mengatasi krisis, atau menganggap anggota kabinetnya
tidak memiliki ‘sense of crises’, maka persoalan itu bukan hanya ada pada
satu-dua orang menteri saja, namun melekat pada seluruh pemerintahannya. Sebab,
dengan ataupun tanpa Covid-19, sejak awal pemerintahan ini selalu menyangkal
bakal datangnya krisis.
Bagaimana bisa memitigasi krisis, jika posisi
Pemerintah selalu menyangkal potensi dan ancaman krisis? Mari kita lihat
buktinya.
Pertama, Pemerintah lambat merespon krisis. Saat
kasus pertama Covid-19 diakui Pemerintah untuk pertama kalinya pada awal Maret
lalu, Presiden menolak menerapkan status darurat nasional. Padahal, sejak 10
Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyurati Presiden agar
menetapkan status darurat nasional. Rekomendasi status darurat nasional itu
bukan hal yang mengada-ada, sebab WHO sendiri sudah menetapkan status darurat
global untuk menghadapi Covid-19.
Ketika Gubernur DKI Jakarta dan sejumlah kepala
daerah lain mengutarakan inisiatif melakukan ‘lockdown’ wilayah untuk mencegah
terjadinya penularan, pemerintah mementahkan usulan tersebut. Padahal kebijakan
“lockdown” dimungkinkan oleh UU No. 6/2018 tentang Karantina Kesehatan.
Bukannya mendukung, pemerintah pusat malah mengganjal usulan-usulan tersebut.
Bayangkan, ekspose kasus pertama terjadi awal Maret,
namun kebijakan pertama mengatasi pandemi sebagaimana yang dipandu UU Karantina
Kesehatan, baru diambil Pemerintah pada pertengahan April 2020, yaitu berupa
kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Ada jeda satu setengah
bulan.
Jadi, kalau Presiden baru marah-marah soal ‘sense of
crises’ di akhir bulan Juni, menurut saya justru Presiden yang tak peka dengan
keadaan.
Kedua, organisasi kerja dalam mengatasi krisis ini
tidak jelas. Ini adalah bencana nasional kesehatan, namun kita tak melihat di
mana Menteri Kesehatan sejak pandemi ini ditetapkan sebagai bencana nasional?
Kita juga tidak melihat ada anggota kabinet yang diberi tanggung jawab jelas
dalam organisasi kerja penanganan pandemi. Semua menteri memang dimasukkan
dalam struktur Dewan Pengarah, namun struktur semacam itu kan hanya pajangan.
Jika Pemerintah menganggap pandemi ini serius,
Presiden seharusnya menunjuk salah seorang menterinya sebagai penanggung jawab
tim. Apalagi, tim ini harus mengkoordinasikan Gubernur, Pangdam, Kapolda,
Korem, Bupati/Walikota, Dandim, Danrem, atau Kapolres, maka butuh seorang
dengan jabatan setingkat menteri agar koordinasi bisa jalan. Kasihan sekali
Letjen Doni Monardo berjibaku di lapangan, tanpa bekal back-up kekuasaan yang
cukup di pundaknya.
Jika Presiden tak mempercayai menteri kesehatannya,
misalnya, dia bisa saja menunjuk menteri lainnya. Kalau pandemi ini dianggap
dekat dengan isu pertahanan, misalnya, maka Presiden bisa menunjuk Menteri
Pertahanan sebagai penanggung jawab. Atau, jika kunci penanganan pandemi ini
dianggap ada di pemerintahan daerah, maka Presiden bisa menunjuk Menteri Dalam
Negeri.
Ketiga, Pemerintah gagal menetapkan prioritas.
Bencana ini adalah bencana kesehatan, namun portofolio kebijakan Pemerintah
dalam tiga bulan terakhir didominasi oleh kebijakan bisnis. Coba baca lagi
Perppu No. 1/2020. Jika kita pelajari, isinya bukanlah tentang penanganan
Covid-19, sebab yang diberi kewenangan ‘extraordinary’ di tengah pandemi ini
bukanlah Menteri Kesehatan, bukan Kepala BNPB, atau Ketua Gugus Tugas,
melainkan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia.
Dan keempat, sejak awal disusun, pemerintahan ini
memang tak menyiapkan diri untuk menghadapi krisis. Di dalam kabinet ini tidak
ada teknokrat di pos-pos yang akan berhadapan secara langsung dengan krisis.
Semua posisi itu diberikan ke politisi. Bahkan, BUMN yang seharusnya steril
dari orang partai politik, di pemerintahan ini justru diisi oleh orang-orang
partai politik.
Padahal, sejak dua tahun lalu beberapa ekonom,
seperti Nouriel Roubini, misalnya, telah memperingatkan tahun 2020 dunia akan
menghadapi krisis finansial. Jadi, sebelum ada Covid-19 sekalipun, krisis sudah
diramalkan akan terjadi. Apalagi dengan kini adanya pandemi Covid-19.
Dengan catatan-catatan itu, saya kira yang kita
butuhkan untuk menghadapi dampak krisis ke depan bukan hanya ganti satu atau
dua menteri sebagaimana yang mungkin saat ini sedang dibayangkan oleh Presiden,
tapi harus mengganti struktur kabinet secara besar-besaran. Jika serius dengan
kemarahannya, Presiden harus menjadikan kabinetnya sebagai “Kabinet Krisis”.
Krisis ini adalah panggilan bagi para pemimpin. Kita
berharap Presiden Joko Widodo bisa menunjukkan kepemimpinannya. []
KORAN SINDO, 01 Juli 2020
Dr. Fadli Zon, M.Sc. | Anggota DPR RI Dapil Jawa Barat V, Alumnus LSE (London School of Economics) Inggris bidang Studi Pembangunan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar