Muktamar Ke-10 NU (1): Muktamar di Solo Ditopang Tiga Cabang
85 tahun silam, atau tepatnya pada tanggal 13-19 April 1935 M/9-14 Muharram 1354 H, Kota Solo yang kala itu masih menjadi ibu kota Kerajaan Kasunanan Surakarta dan dipimpin Paku Buwana X, terpilih sebagai tuan rumah penyelenggara Congres atau Muktamar Nahdlatul Ulama ke-10.
Proses persiapan dan dinamika penyelenggaraan Muktamar kesepuluh ini tercatat
lengkap dalam buku Poeteosan Congres Nahdlatoel ‘Oelama’ ka 10 di Solo
Soerakarta Tanggal 13-19 April 1935 yang diterbitkan oleh Hoofd-Bestuur
Nahdlatoel Oelama’ (HBNO).
Catatan mengenai kongres di Solo, dimulai dari pembahasan rumah (lokasi)
penyelenggaraan muktamar, yakni di rumah Kanjeng Gusti Surya Sugiyantan
Mangkunegaran. Rumah Kanjeng Gusti Surya Sugiyanta putra KPPA Mangkunegara V
(Lahir 1887 M), terletak di Giyantan. Kemudian juga Masjid Agung Kasunanan dan
Masjid Mangkunegaran yang digunakan untuk acara lokasi Openbaar (pengajian
umum).
Meskipun penyelenggaraan muktamar dilaksanakan di Kota Solo, namun beberapa
cabang terdekat seperti Klaten dan Boyolali juga ikut membantu cabang Solo
dalam melayani para tamu serta kelancaran pelaksanaan muktamar.
Kemudian untuk memudahkan koordinasi, dibentuklah sebuah kepanitiaan (lajnah/komite) lokal kongres yang terdiri dari 3 cabang, yakni Solo, Boyolali, dan Klaten. Adapun sebagai voorzitter (ketua) panitia dipilihlah nama KH Masthur, dengan didampingi Kiai Habib (Mangkunegaran) sebagai wakil ketua, dan Mas Ngabehi Mohd. Soleh (Pengulu/Ketua Tanfidziyah NU Boyolali).
Masing-masing perwakilan dari ketiga cabang ini kemudian membagi tugas, baik
waktu jadwal (shift) tugas maupun penyediaan fasilitas. Untuk pembagian waktu,
selama hampir seminggu pelaksanaan muktamar, ada yang hanya mengambil tugas
untuk satu hari saja, ada yang dua hingga tiga hari, serta adapula yang siap
mengambil tugas pelayanan penuh selama muktamar berlangsung.
Bermacam keperluan yang disiapkan untuk para tamu, di antaranya bantal guling
disediakan dari cabang Boyolali, Klaten dan Solo. Sedangkan untuk tikar, babut
(karpet), dampar, dan lain-lainnya diusahakan oleh cabang Solo. Semuanya ini
disediakan dengan gratis.
Syahdan, ada sebuah kisah menarik terkait tempat penginapan para peserta
muktamar. Ketika itu, para tamu undangan, telah disediakan tempat penginapan.
Pihak panitia sendiri sudah memesan beberapa tempat penginapan untuk menjadi
tempat istirahat para peserta dari luar kota.
Meski demikian, banyak pula dari para kiai, yang justru lebih memilih untuk
tinggal di rumah sahabat mereka, atau pondok pesantren yang ada di dekat lokasi
muktamar. Salah satunya KH Bisri Syansuri pengasuh pesantren Denanyar Jombang,
yang lebih memilih tinggal di pesantren yang diasuh KH Ahmad Siradj Panularan.
Singkat cerita, rupanya pondok pesantren tersebut belum memiliki nama, dan
akhirnya, atas usulan dari Kiai Bisri, pesantren tersebut diberi nama Pesantren
“Nahdlatul Ulama 001”. Pada perkembangannya, Pesantren “NU 001” tersebut lebih
dikenal dengan nama Pesantren As-Siradj, dinisbatkan kepada nama sang pendiri
pesantren, Kiai Ahmad Siradj. []
(Ajie Najmuddin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar