Wabah Korona: Kontestasi Ideologis (2)
Oleh: Azyumardi Azra
Kontestasi ideologis laten yang bangkit kembali karena kontroversi RUU HIP pada masa wabah korona secara substantif dan historis tidak baru. Fenomena itu sangat menonjol selama masa Orde Lama (Orla) dan separuh masa Orde Baru (Orba).
Berbagai perubahan sosiologi keagamaan dan sosiologi politik pada masa Orba. Tumbuhnya ‘kedekatan baru’ pada Islam, termasuk di kalangan kelompok Muslim yang pernah disebut ‘abangan’ membuat semakin hilangnya kontestasi ideologis.
Dalam masa reformasi sampai penyebaran wabah korona, kontestasi ideologi muncul sewaktu-waktu saja. Ini terlihat, misalnya dengan kemunculan ‘Gerakan 212’ anti-Ahok dalam Pilkada Provinsi DKI Jakarta (2017-2018) yang sering tidak tepat disebut kalangan ahli sebagai indikasi kebangkitan ‘politik identitas’ Islam.
Kedua pasang cagub dan cawagub DKI Jakarta masing-masing diusung parpol berbasis Pancasila. Pasangan calon gubernur pejawat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat diusung PDIP. Lawannya, pasangan calon gubernur Anies Baswedan dan wagub Sandiaga Uno yang dicalonkan Partai Gerindra.
Parpol-parpol Islam hanya menjadi pendukung pelengkap. Namun, banyak ahli politik domestik dan mancanegara memandang pasangan Anies-Sandiaga sebagai representasi ‘politik identitas Islam’, seperti ditampilkan ‘Gerakan 212’; atau setidaknya ‘pasangan calon Islam’. Ada euforia politik ideologis Islam di kalangan kaum Muslim.
Kekalahan dialami pasangan Ahok-Djarot yang memperoleh 42,04 persen dari total pemilih. Jika suara mereka dikurangi pemilih non-Muslim dan warga keturunan sekitar 15 persen (91,3 persen memilih Ahok-Djarot) berarti mayoritas suara (sekitar 27 persen) berasal dari pemilih Muslim.
Anies-Sandiaga memenangkan pilgub yang berlangsung dua ronde. Mereka mendapat 57,96 persen suara. Kemenangan pasangan ini diperoleh secara absolut dari para pemilih Muslim. Keberhasilan Ahok-Djarot meraih 27 persen suara pemilih Muslim tidak cukup membendung Anies-Djarot.
Sekali lagi, apakah ada pembelahan ideologis berdasarkan ‘politik aliran’ dalam kontestasi Pilgub Provinsi DKI Jakarta itu?
Boleh jadi bagi ‘Gerakan 212’, Pilgub Provinsi DKI mencerminkan kemenangan ‘politik identitas Islam’ atau ‘politik ideologis Islam’ vis-à-vis politik yang tidak merepresentasikan Islam. Tetapi, ‘politik Islam’ secara keseluruhan tidak bisa disederhanakan, misalnya, bagaimana menjelaskan fakta dua per tiga pemilih Ahok-Djarot adalah penganut Islam.
Gejala ‘politik identitas Islam’ di Jakarta yang disebut sebagian pengamat bisa menular ke daerah-daerah lain; ‘barisan 212’ tidak berhasil menggalang kekuatan politik solid di tingkat lokal dan nasional. Terjadi ‘pemencaran’ (dispersal) kekuatan ‘Gerakan 212’.
Pertama, KH Ma’ruf Amin, ketua umum MUI dijadikan sebagai salah satu figur sentral oleh Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI dalam ‘Gerakan 212’, kemudian menjadi bakal cawapres Joko ‘Jokowi’ Widodo. Pada pihak lain, beberapa nama ulama bakal cawapres yang diajukan ‘Gerakan 212’ ditolak bakal capres Prabowo yang ternyata memilih Sandiaga Uno sebagai running mate-nya dalam Pilpres April 2019.
Dengan perkembangan seperti itu, politik identitas tidak bertumbuh untuk mampu memengaruhi hasil Pilkada 2018 di berbagai daerah; juga Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019. Kebanyakan pemilih memilih partai atau calon bukan berdasarkan politik aliran atau politik ideologis.
Kebangkitan kontestasi ideologis justru terjadi pada masa sulit, ketika warga berhadapan dengan wabah korona. Kontestasi itu bangkit dari RUU HIP. Dari sudut ini, mereka yang mendorong atau menyebabkan kebangkitan kontestasi ideologis itu telah berbuat tidak pada tempatnya.
Seperti wabah korona, pihak pengusul RUU HIP telah menimbulkan disrupsi kehidupan politik Indonesia. Politik Indonesia ‘normal’ adalah politik demokratis berkeadaban, yang tidak memecah-belah warga dalam kontestasi ideologis panas. Jelas, jika konflik ideologis tidak terkendali, bisa menyuburkan benih-benih disintegrasi.
Kontestasi ideologis pada masa wabah korona sekarang setidaknya melibatkan tiga atau empat kelompok ideologis. Kemunculan berbagai kelompok itu mengingatkan orang pada ‘politik aliran’ yang membelah jagat politik Indonesia sampai terjadinya perubahan sosiologi keagamaan dan sosiologi politik yang cepat, luas, dan berdampak panjang sejak 1980-an.
Kelompok-kelompok itu tidak sama besar; juga karakter masing-masing kelompok berbeda; ada yang pada dasarnya nonpolitis, tapi lebih merupakan religious-based political interest groups; ada pula yang merupakan kekuatan politik resmi; ada pula yang merupakan kelompok terlarang, tapi masih bebas beroperasi; dan ada pula kelompok terlarang yang diduga aktif beroperasi di bawah tanah. []
REPUBLIKA, 17 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar