Apakah Tetap Wajib Shalat Jumat bagi Mereka yang Telah Shalat Id?
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh Redaksi NU Online, hari raya idul
adha pada tahun 2020 ini bertepatan dengan hari Jumat. Sedangkan sebagian orang
seperti penduduk pedalaman boleh meninggalkan shalat Jumat karena telah shalat
id pada pagi harinya. Mohon penjelasannya atas masalah ini? Terima kasih.
Abdul Fatah – Bogor
Jawaban:
Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah SWT. Pada tahun 2020 ini, kita mendapati hari raya idul adha bertepatan dengan hari Jumat. Sedangkan pelaksanaan shalat id memiliki kemiripan dengan pelaksanaan shalat Jumat.
Dalam hadits, kita mendapati keringanan (rukhshah) atas kewajiban shalat Jumat bagi orang pedalaman yang menghadiri pelaksanaan shalat id di kota pada pagi hari. Hadits rukhshah ini diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam berikut ini:
قال: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَصَ فِي الْجُمْعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
Artinya, “Rasulullah menjalankan shalat Id kemudian memberikan keringanan (rukhshah) perihal tidak mengikuti shalat Jumat. Rasulullah kemudian bersabda, ‘Siapa yang ingin shalat Jumat, silakan!’" (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Hakim).
Dari hadits ini, ulama dari mazhab syafi’i kemudian berpendapat bahwa agama memberikan keringanan bagi penduduk pedalaman yang telah bersusah payah menghadiri pelaksanaan shalat id pada pagi hari untuk kembali ke kediaman mereka di pedalaman tanpa perlu kembali lagi untuk mengikuti shalat Jumat pada siang harinya.
إذا وافق يوم العيد يوم جمعة وحضر أهل القرى الذين يبلغهم لصلاة العيد وعلموا أنهم لو انصرفوا لفاتتهم الجمعة فلهم أن ينصرفوا ويتركوا الجمعة في هذا اليوم على الصحيح المنصوص في القديم والجديد وعلى الشاذ عليهم الصبر للجمع
Artinya, “Bila hari Id berbarengan dengan hari Jumat–sementara penduduk pedalaman yang sampai kepada mereka untuk shalat id itu mengadiri shalat id serta mereka mengerti bila bergeser ke pedalaman (kembali) akan luput dari shalat Jumat–maka mereka boleh bergeser sejak pagi dan boleh meninggalkan shalat Jumat pada hari tersebut menurut pendapat shahih yang tersebut nashnya pada qaul qadim dan jaded. Tetapi menurut qaul syadz yang tidak umum, mereka wajib bersabar menahan diri untuk menghadiri gabungan keduanya (shalat id dan Jumat),” (Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz II, halaman 9-10).
Pandangan Mazhab Syafi’i ini juga dapat kita temukan dari keterangan Imam As-Sya’rani berikut ini:
ومن ذلك قول الشافعي إذا وافق يوم العيد يوم جمعة فلا تسقط صلاة الجمعة بصلاة العيدعن أهل البلد بخلاف أهل القرى إذا حضروا فإنها تسقط
عنهم ويجوز لهم ترك الجمعة والإنصراف
Artinya, “Salah satunya adalah pendapat Imam As-Syafi’i, ‘Jika hari Id berbarengan dengan hari Jumat, maka kewajiban shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kota dengan sebab pelaksanaan shalat id. Lain halnya dengan penduduk pedalaman, bila mereka menghadiri shalat Id, maka kewajiban shalat Jumat gugur dari mereka. Mereka boleh meninggalkan Jumat dan bergeser menuju kediaman mereka di pedalaman’” (Imam As-Sya’rani, Al-Mizanul Kubra, [Beirut, Darul Fikr: 1981 M/1401 H], juz I, halaman 202).
As-Sya’rani menambahkan bahwa ada pandangan lain yang lebih berat dan bahkan lebih ringan ketika hari raya id dan hari Jumat berbarengan di hari yang sama. Imam Abu Hanifah mewajibkan shalat Jumat bagi penduduk kota dan penduduk pedalaman.
Ahmad bin Hanbal menyatakan ketidakwajiban shalat Jumat bagi penduduk kota dan penduduk pedalaman. Kewajiban shalat Jumat telah gugur sebab pelaksanaan shalat id pada pagi hari. Penduduk kota dan pedalaman dapat menggantinya dengan shalat zuhur. Sementara Imam Atha mengatakan, kewajiban shalat Jumat atau shalat zuhur telah gugur sehingga setelah pelaksanaan shalat Id tidak ada shalat lain selain ashar.
Pendapat As-Syafi’i meringankan orang pedalaman. Pendapat Abu Hanifah membebani orang kota dan orang pedalaman. Pendapat Ahmad bin Hanbal meringankan orang kota dan orang pedalaman. Pendapat Imam Atha sangat meringankan orang kota dan orang pedalaman. Tetapi pilihan atas pelbagai pendapat itu dikembalikan pada pertimbangan yang proporsional. (As-Sya’rani, 1981 M/1401 H: I/202).
Dalam konteks Indonesia, terutama di pulau Jawa, di mana hampir setiap desa memiliki masjid yang menyelenggarakan Jumat, maka konsep penduduk kota dan penduduk pedalaman yang sulit mengakses masjid karena problem jarak atau geografis yang menyulitkan dalam kajian fiqih tidak kontekstual pada sebagian besar daerah di Indonesia.
Dengan demikian, kita dapat mengembalikan shalat idul adha dan shalat Jumat pada hukum asalnya. Kita tetap melaksanakan shalat sunnah idul adha dan shalat Jumat yang wajib.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. []
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar