Cara Bersuci tatkala Kondisi Banjir
Banjir merupakan salah satu musibah yang cukup mengganggu keberlangsungan aktivitas keseharian masyarakat. Tak heran jika banjir ini sampai menyebabkan kerugian yang cukup besar, bahkan sampai memakan korban jiwa.
Penggolongan bencana banjir dalam kategori musibah selaras dengan arti kata musibah yang diungkapkan oleh Syekh Ismail Haqqy dalam kitabnya, Tafsir Ruh al-Bayan:
مُصِيبَةٌ هى ما يصيب الإنسان من مكروه
“Apa saja yang menimpa manusia, berupa sesuatu yang tidak menyenangkan” (Syekh Ismail Haqqy, Tafsir Ruh al-Bayan, juz 1, hal. 260)
Pengertian musibah di atas, sejatinya diambil dari salah satu hadits yang diriwayatkan oleh sahabat ‘Ikrimah:
روى عكرمة أن مصباح رسول الله صلى الله عليه وسلم انطفأ ذات ليلة فقال: "إنا لله وإنا إليه راجعون" فقال: "أمصيبة هي يا رسول الله؟" قال: "نعم كل ما آذى المؤمن فهو مصيبة"
Artinya: Ikrimah meriwayatkan bahwa pada suatu malam lampu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mati, lalu beliau membaca “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn”. Lantas para sahabat bertanya, “Apakah ini termasuk musibah, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Iya, apa saja yang menyakiti (menyusahkan) orang mukmin disebut musibah” (HR Ahmad)
Meski dalam kondisi banjir, hendaknya seseorang tidak sampai melupakan kewajiban-kewajiban kesehariannya selaku umat Islam, misalnya ibadah shalat yang wajib dilakukan lima kali dalam sehari.
Lantas sebenarnya bagaimana cara bersuci bagi korban banjir? Mengingat sebelum melaksanakan shalat tentu perlu bagi mereka untuk bersuci, baik dari hadats kecil, yakni dengan wudhu; dan dari hadats besar, yakni dengan mandi besar.
Terkait hal ini, para korban banjir hendaknya tetap berupaya mencari air yang bersih dan jernih di sekelilingnya jika masih memungkinkan, misalnya dari keran yang berfungsi, bantuan air PDAM, dan sumber-sumber air lain yang layak untuk dibuat bersuci.
Meski begitu, tetap boleh bagi para korban banjir berwudhu dengan air banjir yang keruh sebab terkena tanah dan debu, selama air yang digunakan untuk bersuci tidak ditemukan komponen najis atau komponen selain tanah dan debu (mukholith) yang sampai mengubah warna, rasa, atau bau dari air. Sebab perubahan air karena faktor tercampur tanah atau debu tidak sampai mencegah kemutlakan nama air. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam kitab al-Muqaddimah al-Hadramiyah:
وَلَا يضر تغير بمكث وتراب وطحلب وَمَا فِي مقره وممره
“Perubahan air sebab diamnya air (dalam waktu lama), sebab debu, lumut, dan sebab sesuatu yang menetap dalam tempat menetapnya air dan tempat berjalannya air merupakan hal yang tidak dipermasalahkan” (Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Bafadhal, al-Muqaddimah al-Hadramiyah, Hal. 21)
Alasan tetap diperbolehkannya bersuci dengan menggunakan air banjir yang keruh adalah untuk mempermudah masyarakat dalam bersuci, sebab air keruh yang bercampur tanah dan debu merupakan hal yang sering kita temukan sehari-hari. Jika air demikian dihukumi tidak dapat digunakan untuk bersuci, tentu banyak masyarakat yang merasa terbebani dalam bersuci.
Selain itu, air yang tercampur debu sejatinya hanya sebatas memperkeruh warna air, tidak sampai mengubah nama air hingga memiliki nama tersendiri. Hal ini seperti disampaikan dalam kitab Fath al-Wahhab:
لا تراب وملح ماء وَإِنْ طُرِحَا فِيهِ " تَسْهِيلًا عَلَى الْعِبَادِ أَوْ لِأَنَّ تَغَيُّرَهُ بِالتُّرَابِ لِكَوْنِهِ كُدُورَةً وَبِالْمِلْحِ الْمَائِيِّ لِكَوْنِهِ مُنْعَقِدًا مِنْ الْمَاءِ لَا يَمْنَعُ إطْلَاقَ اسْمِ الْمَاءِ عَلَيْهِ وَإِنْ أَشْبَهَ التَّغَيُّرُ بِهِمَا فِي الصُّورَةِ التَّغَيُّرَ الْكَثِيرَ بِمَا مَرَّ
“Air tidak dikatakan berubah sebab bercampur debu atau bercampur garam air, meskipun keduanya (sengaja) dilemparkan pada air, (hukum demikian) bertujuan untuk memudahkan masyarakat dan karena debu hanya memperkeruh air dan garam air merupakan gumpalan yang berasal dari air yang tidak sampai mengubah kemutlakan nama air, meskipun perubahan dengan dua komponen ini secara bentuk menyerupai perubahan pada air yang banyak sebab benda-benda yang melebur (mukhalith)” (Syekh Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhab, juz 1, hal. 5)
Berbeda halnya jika seseorang yakin bahwa perubahan air banjir yang berada di sekitarnya lebih dominan karena faktor benda selain tanah yang mencampuri air (mukhalith), seperti sampah, najis dan benda lainnya, sehingga sampai mengubah terhadap bau, rasa dan warna air, maka air tersebut sudah tidak dapat digunakan untuk bersuci. Berbeda jika seseorang masih ragu, apakah air banjir yang ada di sekitarnya perubahannya karena murni tercampur tanah atau lebih dominan karena tercampur benda yang lain, maka dalam kondisi demikian, air tetap berstatus suci dan menyucikan. Sebab hukum asal dari air adalah suci, dan kesucian tersebut tidak menjadi hilang hanya disebabkan suatu keraguan. Hal ini seperti dijelaskan dalam kitab Busyra al-Karim:
وخرج بزيادتي (يقيناً): ما لو شك - هل التغير بمخالط أو مجاور؟ - فلا يضر؛ إذ الأصل تيقن طهوريته، فلا تزول بالشك.
“Keluar dari cakupan ‘yakin berubah’, yakni ketika seseorang masih ragu, apakah perubahan air disebabkan benda yang mencampuri air (mukhalith, larut) atau sebab benda yang menyandingi air (mujawir, tak larut), maka keraguan demikian tidak berpengaruh dalam kemutlakan air, sebab hukum asalnya adalah yakin atas kesucian air, maka keyakinan ini tidak hilang sebab adanya keraguan” (Syekh Said bin Muhammad Ba’aly, Busyra al-Kariem, hal. 74)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebaiknya dalam kondisi banjir seseorang tetap memprioritaskan mencari air yang bersih dan jernih dalam bersuci agar ia tidak terkena dampak-dampak negatif dari penggunaan air yang kotor. Namun meski begitu tetap diperbolehkan menggunakan air banjir yang keruh, selama perubahan dari air banjir bukan karena faktor selain tanah dan debu, seperti najis, sampah, limbah pabrik, dan benda lain yang dapat mencampuri air. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar