Kamis, 23 Juli 2020

(Ngaji of the Day) Ini Sumber-sumber Asbab Wurud Hadits

Ini Sumber-sumber Asbab Wurud Hadits


Surat dan ayat Al-Qur’an memiliki sebab-sebab turunnya, atau biasa disebut asbab nuzulil ayat. Demikian juga dengan hadits yang biasa disebut asbab wurudil hadits. Tetapi tidak semua hadits bisa dengan mudah ditemukan asbabul wurudnya. As-Suyuthi menjelaskan bahwa ada tiga hal yang menjadi sumber asbabul wurud. (Lihat As-Suyuthi, Al-Lummāʽ fi Asbābil Ḥadīts, [Beirut, Dārul Kutb: 1984 M], halaman 18).

 

Pertama, Ayat Al-Qur’an.

 

Ayat Al-Qur’an juga bisa menjadi sumber asbabul wurud sebuah hadits. Salah satu contoh yang paling sering kita dengar dan mungkin diketahui oleh para pegiat kajian hadits adalah terkait penafsiran dari ayat yang menjelaskan bahwa kezaliman adalah perbuatan yang paling besar siksanya, yaitu Surat Al-Anʽam ayat 82.

 

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

 

Artinya, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

 

Ayat tersebut oleh para sahabat dipertanyakan, khususnya pada kata zalim. Karena mereka semua tidak bisa terlepas dari kezaliman, yakni kezaliman yang dimaksud para sahabat adalah tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya. Kemudian Rasul SAW menjelaskan bahwa yang dimaksud kezaliman dalam ayat tersebut adalah syirik, dengan menyebutkan Surat Lukman ayat 144.

 

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

 

Artinya, “Sungguh mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”

 

Asbabul wurud dalam konteks hadits ini adalah berfungsi untuk takḥṣīṣhul ʽam. Atau bisa juga berupa menjelaskan hal yang masih musykil sebagaimana hadits Aisyah tentang hisab di atas.

 

Kedua, Hadits.

 

Selain Asbabul wurud bersumber dari Al-Qur’an, juga bisa bersumber dari hadits, baik dari hadits yang masih satu redaksi atau satu riwayat atau hadits lain yang masih setema. Misalnya dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Ḥākim dalam Al-Mustadrak-nya bahwa malaikat yang ada di bumi akan berbicara dengan bahasa manusia.

 

إن لله ملائكة تنطق على ألسنة بني آدم بما في المرء من الخير والشر.

 

Artinya, “Sungguh Allah SWT memiliki malaikat yang berbicara dengan bahasa manusia atas hal yang baik dan buruk.”

 

Hadits ini bagi para ulama tentu musykil, bagaimana bisa seorang malaikat berbicara dengan bahasa manusia? Ternyata dalam riwayat yang lebih lengkap, Rasul SAW mendoakan dua jenazah dengan doa yang berbeda. Jenazah yang pertama didoakan agar selamat sedangkan jenazah yang kedua sebaliknya. Namun Rasul SAW hanya menggunakan kata “wajabat” saja, (Lihat Al-Ḥākim, Al-Mustadrak, [Beirut, Dārul Marifah: tanpa tahun], juz II, halaman 118).

 

Maka dari itu, yang dimaksud berbicara dengan bahasa manusia adalah bahasa “wajabat” yang diucapkan Rasul untuk mendoakan dua jenazah yang berbeda tersebut dapat ditangkap oleh malaikat walau hanya diucapkan sepotong.

 

Ketiga, Pendapat atau Kisah dari Sahabat.

 

Hal ini bisa dilihat dari kaul sahabat yang berkaitan dengan hadits tersebut, seperti hadits yang menunjukkan tentang keutamaan melakukan shalat di Masjidil Haram Makkah.

 

صلاة في هذه المسجد أفضل من مائة ألف صلاة فيما سواه من المسجد.

 

Artinya, “Melakukan salat di masjid ini lebih utama daripada seratus ribu salat yang dilakukan di masjid yang lain.” (Lihat Abdur Razzāq, Muṣannaf Abdir Razzāq, [Beirut, Muasasatur Risālah: tanpa tahun], juz II, halaman 139).

 

Munculnya hadits ini bukan dari ruang kosong. Suatu hari, seorang sahabat bernama As-Sarīd datang kepada Nabi SAW dan menceritakan nazarnya, yaitu jika Fatḥu Makkah terjadi ia akan melakukan salat di Baitul Maqdis. Nabi mencegahnya dengan mengatakan bahwa shalat di masjid ini lebih pantas dan lebih layak. Rasul kemudian mengucapkan hadits di atas. Wallahu a’lam. []

 

Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi, Pegiat Kajian Tafsir dan Hadits

Tidak ada komentar:

Posting Komentar