Sejarah Ibadah Kurban dalam Islam
Ibadah kurban bukan barang baru bagi bangsa Arab. Ibadah kurban merupakan tradisi bangsa Arab yang diperkenalkan oleh nenek moyang mereka, Nabi Ibrahim AS ketika menyembelih anaknya, Nabi Ismail AS (Nabi Ishaq AS menurut sanad yang diangkat oleh Syekh Abdul Qadir Al-Jailani), atas perintah Allah.
Tradisi penyembelihan hewan kurban itu dilestarikan dari waktu ke waktu hingga masyarakat Arab jahiliyah menyembah berhala. Tradisi penyembelihan hewan kurban juga akhirnya tiba juga pada bangsa Arab di era Nabi Muhammad SAW.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa masyarakat Arab jahiliyah memiliki tradisi penyembelihan hewan kurban dari sudut pandang fisik. Masyarakat Arab di masa Jahiliyah menyembelih hewan kurban untuk berhala-berhala mereka, lalu meletakkan daging kurban itu di sekitar berhala, dan memercikkan darah kurban pada berhala.
Allah kemudian menurunkan Surat Al-Hajj ayat 37, “Daging-daging unta dan darahnya itu tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah sama sekali, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya atas kamu. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Ibnu Katsir juga mengutip cerita Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa masyarakat Arab Jahiliyah membanjiri Ka’bah dengan daging kurban dan memercikkannya dengan darah kurban. Para sahabat rasul mengatakan, “Kami lebih berhak memercikkan darah hewan kurban ke Ka’bah.” Allah kemudian menurunkan Surat Al-Hajj ayat 37, “Daging-daging unta dan darahnya itu tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah sama sekali, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” Maksudnya, Allah menerima dan membalas ibadah kurbanmu.
Ibnu katsir juga mengutip hadits Rasulullah, “Sungguh, Allah tidak melihat bentuk dan hartamu, tetapi melihat hati dan perbuatanmu.” Hadits Rasulullah riwayat Aisyah RA menyebutkan, “Sungguh, sedekah itu akan sampai di ‘tangan’ Allah yang bersifat rahman sebelum sampai di tangan pengemis. Sungguh, darah hewan kurban menetes lebih dahulu di sisi Allah sebelum tumpah ke tanah.” (HR Ibnu Majah dan At-Turmudzi).
Ayat ini disebutkan untuk menyatakan penerimaan Allah atas amal hamba-Nya yang ikhlas. Tidak ada makna lain bagi ulama yang teliti dan cermat selain makna ini. Wallahu a’lam. (Ibnu Katsir).
Syekh Ali As-Shabuni dalam Rawa’iul Bayan, Tafsiru Ayatil Ahkam minal Qur’an, ([Kairo, Darul Alamiyyah: 2015 M/1436 H], juz I, halaman 499) mengutip tafsir Ruhul Ma’ani karya Syihabuddin Al-Alusi, Majma’ul Bayan karya At-Thabrasi, dan Ad-Durrul Mantsur karya As-Suyuthi, yang menukil pendapat Mujahid bahwa para sahabat rasul awalnya ingin melakukan penyembelihan kurban, mencincang daging, menempatkannya di sekitar Ka’bah, dan memercikkannya dengan darah kurban sebagai bentuk ketakziman terhadap Ka’bah dan bentuk taqarrub kepada Allah.
Allah kemudian menurunkan Surat Al-Hajj ayat 36, “Telah Kami jadikan unta-unta itu sebagian syi'ar Allah untuk kamu. Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya. Oleh karena itu, sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Jika telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang qana’ah dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.”
Ketika bangsa Arab telah memeluk agama Islam dan ingin melakukan seperti yang mereka lakukan pada masa jahiliyah, Surat Al-Hajj ayat 36 turun dan menegur mereka atas maksud tersebut. Surat Al-Hajj ayat 36 kemudian menunjuki mereka dengan praktik ibadah kurban yang lebih layak dan patut bagi mereka. (As-Shabuni, 2015 M/1436 H: 499)
Tafsir Al-Bahrul Muhith karya Abu Hayyan menerangkan Surat Al-Hajj ayat 37 bahwa daging kurban yang disedekahkan dan darah hewan yang tumpah tidak akan mengenai keridhaan Allah. Sedangkan orang yang berkurban tidak akan membuat ridha Allah kecuali dengan menjaga niat, keikhlasan, dan kehati-hatian dalam menjaga kaidah-kaidah syariat serta kewara’an.
Jika semua itu tidak dijaga, maka ibadah kurban dan taqarrub itu tidak akan bermanfaat kepada mereka sekalipun hewan kurban yang mereka sembelih itu banyak. (Al-Bahrul Muhith, Abu Hayyan) Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar