Rabu, 15 Juli 2020

(Ngaji of the Day) Ternyata Istri Sudah Tak Perawan, Bolehkah Pernikahan Dibatalkan?

Ternyata Istri Sudah Tak Perawan, Bolehkah Pernikahan Dibatalkan?

 

Menikah dengan seorang gadis yang masih perawan (virgin) merupakan dambaan kebanyakan pria yang pertama kali menikah. Pertanyaannya, bagaimana bila setelah menikah, si pria baru mengetahui bahwa kekasih yang baru dinikahinya sudah tidak virgin. Bolehkah, ia membatalkan pernikahan dan menarik mahar yang telah diberikannya?

 

Jumhur ulama memang membolehkan pasangan yang menikah untuk melakukan fasakh (pembatalan) nikah akibat penyakit akut, seperti lepra, tunagrahita, impotensi, cacat kemaluan si istri karena tertutup daging atau tulang, dan sebagainya.

 

 

Namun, mereka berbeda pendapat mengenai keperawanan seorang perempuan. Apakah ketidakperawanannya, baik karena perzinaan atau sebab lain, dianggap sebuah cacat atau bukan. Imam al-Syafi‘i sendiri mengemukakan dalam al-Umm bahwa ketidakkeperawanan perempuan bukan satu cacat yang membolehkah seorang suami menarik mahar atau membatalkan perkawinannya (khiyar fasakh). Hanya saja, secara tidak langsung, ia memberikan khiyar lain, di mana suami boleh memilih, antara melanjutkan pernikahan atau mengakhirinya dengan talak.

 

لَوْ نَكَحَ امْرَأَةً لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهَا زَنَتْ فَعَلِمَ قَبْلَ دُخُولِهَا عَلَيْهِ أَنَّهَا زَنَتْ قَبْلَ نِكَاحِهِ أَوْ بَعْدَهُ لَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَخْذُ صَدَاقِهِ مِنْهَا وَلَا فَسْخُ نِكَاحِهَا وَكَانَ لَهُ إنْ شَاءَ أَنْ يُمْسِكَ وَإِنْ شَاءَ أَنْ يُطَلِّقَ

 

Artinya, “Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang tidak diketahui bahwa perempuan itu sudah pernah berzina, tapi belakangan sebelum bergaul, sang suami tahu bahwa ia telah berzina sebelum atau setelah menikah, maka perempuan tersebut tidak haram baginya. Selain itu si suami juga tidak ada hak untuk mengambil mahar darinya, tidak pula ada hak fasakh baginya. Hanya saja, jika mau, si suami boleh meneruskan pernikahan, atau mencerainya,” (Al-Syafi‘i, al-Umm, [Beirut: Darul Ma‘rifah], 1990, cetakan pertama, jilid 5, hal. 13).

 

Sementara Ibnu Shalah, salah seorang ulama Syafi‘iyah, dalam Fatâwâ-nya menganggap hilangnya keperawanan sebelum akad dianggap sebuah cacat yang membolehkan suami membatalkan pernikahannya (fasakh).

 

إِذا تزوج امْرَأَة على أَنَّهَا بكر فَلم يكن فَفِي صِحَة النِّكَاح قَولَانِ أصَحهمَا أَنه يَصح وَللزَّوْج الْخِيَار

 

Artinya, “Jika ada laki-laki menikahi seorang perempuan karena perempuan itu masih perawan, tapi ternyata sudah tidak, maka mengenai keabsahan pernikahannya ada dua pendapat. Namun, menurut pendapat yang paling kuat, pernikahannya tetap sah. Hanya saja, si suami memiliki hak khiyar fasakh.” (Lihat: Fatâwâ Ibn al-Shalah, [Maktabah al-‘Ulum: Beirut], cetakan pertama, 1407 H, jilid 2, hal. 660).

 

Pendapat Ibnu Shalah ini sejalan dengan pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal yang dikutip Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu. Bahkan, tidak saja menetapkan hak fasakh, tetapi juga menetapkan ketiadaan mahar bagi si perempuan bilamana fasakh dilakukan sebelum bergaul.

 

يثبت خيار الفسخ بفوات الوصف المرغوب في عقد الزواج أيضاً، كمن يتزوج امرأة جميلة فيظهر أنها دميمة، أو على أنها متعلمة فإذا هي جاهلة، أو على أنها بكر فإذا هي ثيب فيثبت للزوج حق الفسخ، ولا مهر للمرأة إن حدث الفسخ قبل الدخول، أو بعد الدخول وكان التغرير من المرأة نفسها. فإن كان التغرير من غيرها رجع الزوج على ذلك الغير بما دفعه للمرأة

 

Artinya, “Hak faksakh juga ditetapkan akibat tak terpenuhinya kriteria yang diinginkan sewaktu akad. Contohnya, laki-laki yang ingin menikah dengan perempuan cantik, tapi ternyata ia tidak cantik. Atau, orang yang ingin menikah dengan perempuan terpelajar, ternyata ia orang awam. Atau, orang yang ingin menikah dengan perawan, ternyata ia seorang janda (tak perawan). Maka suami memiliki hak fasakh. Selain itu, si istri juga tidak memiliki hak mahar jika fasakh dilakukan sebelum bergaul suami-istri, atau setelah bergaul tapi penyebab penipuan datang dari si perempuan sendiri. Sedangkan jika penipuan datang dari orang lain maka si suami boleh menarik apa yang diberikan kepada si perempuan melalui orang lain tersebut.

 

Kemudian jika dilakukan fasakh, maka fasakh-nya—menurut pendapat yang paling sahih—disyaratkan harus diajukan lebih dahulu kepada hakim (pengadilan), agar hakim mengambil keputusan setelah menimbang perkaranya. Namun ada pula yang membolehkan fasakh tanpa melalui hakim, sebagaimana khiyar dalam jual-beli, terlebih jika keduanya sudah merelakan fasakh karena cacatnya jelas-jelas dianggap fatal dan membatalkan pernikahan (lihat: Hasyiyah Qalyubi, [Darul Fikr: Beirut], 1995, jilid 2, hal. 265).

 

Kendati sang suami memiliki hak khiyar (opsi) untuk membatalkan pernikahan, tetapi hak itu bisa gugur bilamana dirinya meridhai kekurangan istrinya, sebagaimana yang dikemukakan Syekh Zakariya al-Anshari. “Siapa saja rela akan cacat atau kekurangan istrinya, maka gugurlah khiyar fasakh-nya walaupun kekurangan itu terus bertambah. Sebab, keridhaan atas kekurangan pertama, berarti keridhaan atas kekurangan yang lahir darinya. Lain hanya jika muncul kekurangan yang lain, maka khiyar fasakh akibat kekurangan lain itu tidak gugur,” (Syekh Zakariya ibn Muhammad ibn Zakariya al-Anshari, Asnâ al-Mathâlib fî Syarh Raudh al-Thalib, [Beirut: Darul Kutub], t.t., jilid 3, hal. 178).

 

Dari uraian petikan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan dan pelajaran, antara lain:

 

• Menurut Imam al-Syafi‘i, sah hukumnya menikahi perempuan yang pernah berzina. Namun, sebagian ulama mempersyaratkan, menikahinya setelah si perempuan bertobat. Sebab, pernikahan bukan sekadar memenuhi kebutuhan naluri dan fitrah, tetapi juga melahirkan generasi yang baik, merajut kebahagiaan, dan diorientasikan untuk meraih kebahagiaan akhirat.

 

• Masih menurut al-Syafi‘i, ketidakperawanan bukan sebuah cacat bagi pernikahan, sehingga suami tidak berhak melakukan fasakh, tidak pula ada hak untuk menarik mahar. Hanya saja ia boleh memilih untuk melanjutkan atau mengakhirinya dengan perceraian. Hak cerai ini, sejatinya memberikan hak-hak lain kepada istri yang dicerai, seperti hak nafkah, tempat tinggal, pakaian, dan hak rujuk, semasa iddah.

 

• Berbeda dengan al-Syafi‘i, Ibnu Shalah dan Syekh Zakariya al-Anshari, yang keduanya juga pengikut mazhab al-Syafi‘i, secara tegas memasukkan ketidakperawanan sebagai cacat yang memperbolehkan suami melakukan fasakh. Silang pendapat ini harusnya membuat kita semakin dewasa, toleran dalam menyikapi perbedaan, dan leluasa memilih pendapat paling mungkin dan lebih sesuai dengan kemaslahatan bersama.

 

• Pendapat yang membolehkan suami melakukan fasakh setelah menikah dengan perempuan yang tidak sesuai dengan keinginannya, juga memberi pelajaran kepada para gadis dan remaja putri untuk menghormati institusi pernikahan. Pergaulan bebas yang menyebabkan mereka hilang keperawanan sebelum saatnya berimbas pada kekecewaan suami sah mereka kelak yang bisa saja si suami memanfaatkan hak fasakh-nya. Akibatnya, wanita kehilangan kehormatan dan mengalami kerugian akibat pernikahannya dibatalkan dan maharnya dikembalikan.

 

Fasakh nikah sebaiknya melalui lembaga pengadilan, menurut pendapat kuat, kecuali sebab fasakh-nya kuat dan mendapat kerelaan dari kedua belah pihak.

 

• Hak fasakh suami menjadi gugur bilamana ia meridhai kekurangan atau cacat yang dimiliki istrinya.

 

Demikian diskusi singkat dan ragam pendapat tentang hak fasakh suami yang mendapati ketidakperawanan istri yang baru dinikahinya. Semoga, ketika hak ini diambil, suami bisa menggunakannya secara bijak, berasaskan maslahat, dan tak disalah-gunakan untuk merendahkan martabat atau melukai perasaan siapa pun. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a’lam. []

 

Ustadz M. Tatam Wijaya, Alumni Pondok Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi; Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar